Rubrik
Berita Utama
Finansial
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Opini
Olahraga
Pemilihan Umum 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Jawa Barat
Berita Yang lalu
Pustakaloka
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Fokus
Jendela
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Dana Kemanusiaan
Esai Foto
Swara
Sorotan
Pergelaran
Ekonomi Internasional
Wisata
Properti
Telekomunikasi
Teropong
Interior
Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Ekonomi Rakyat
Pendidikan
Didaktika
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Bentara
Kesehatan
Makanan dan Minuman
Bahari
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Opini
Jumat, 12 Maret 2004

Menakar Karier Politik SB Yudhoyono

Oleh J Kristiadi

KAMPANYE pemilu, selain disemarakkan kampanye pawai partai politik, dimeriahkan pula oleh konfrontasi terbuka antara Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Megawati, atau lebih tepatnya Pemerintah Megawati.

Disebut konfrontasi karena apa yang disampaikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pembantu dekat Presiden Megawati mungkin dianggap lebih tepat bila dilakukan secara kedinasan atau pribadi, tidak terlalu melibatkan publik. Lebih-lebih dalam siaran persnya, SBY secara eksplisit menyebut Menteri Sekretariat Negara sebagai menteri yang mementahkan permohonan SBY bertemu Presiden Megawati. Namun, mungkin cara SBY mengundurkan diri juga disertai motivasi politik, setidak-tidaknya melayani pernyataan yang disampaikan Taufik Kiemas yang menyebutkan SBY sebagai jenderal bintang empat yang kekanak-kanakan. Pernyataan itu tidak hanya membuat berang SBY, tetapi jenderal lain juga merasa gerah. Harap diketahui, bagi seorang militer, mendapatkan pangkat jenderal taruhannya adalah nyawa.

CARA pengunduran diri SBY sendiri amat menarik karena dilakukan dengan komunikasi yang justru dapat menyebabkan kusutnya persoalan yang sebenarnya sederhana, yaitu dengan melakukan surat-menyurat. Sebagai seorang pembantu terdekat dan terpercaya, SBY sewaktu-waktu seharusnya dapat bertemu Presiden Megawati dan dengan mudah menyampaikan keinginannya meniti karier politik sebagai calon presiden. Cara pengunduran diri sebagaimana dilakukan SBY dapat memberi kesan, SBY sebenarnya mengakui bahwa dia telah melakukan langkah-langkah cukup intensif dalam menggalang dukungan. Hambatan psikilogis semacam itu yang mungkin menyebabkan proses pengunduran diri SBY berkembang menjadi konfrontasi

Bila dicermati, potensi konflik SBY dengan Presiden Megawati tidak lepas dari kompetisi politik yang sedang terjadi di negara ini, khususnya perebutan kursi kepresidenan. Sebagaimana diketahui, sistem pemerintahan saat ini meski sistem presidentil, tetapi de facto adalah koalisi dari berbagai partai politik. Konsekuensinya, para menteri yang menjadi pembantu presiden sekaligus berpotensi menjadi lawan politiknya sehingga tidak mustahil bila berbagai kebijakan amat dipengaruhi agenda–agenda subyektif dari para pejabat bersangkutan, termasuk figur SBY yang berminat menjadi calon presiden.

Sementara itu, keinginan SBY menjadi calon presiden bukan tanpa alasan. Beberapa kalangan, terutama purnawirawan TNI, mantan petinggi birokrasi, dan akademisi, cukup tertarik dengan figur SBY yang cakap, santun, dan gagah sehingga dianggap sebagai alternatif dari calon-calon presiden lain.

Sebagai seseorang yang mempunyai potensi menjadi presiden, sebenarnya publik sudah mulai mencermati sejak Ryaas Rasyid mendirikan partai politik (Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan/Partai PDK), kira-kira awal tahun 2003. Secara internal, ada semacam kesepakatan. Bila status partainya telah jelas, SBY bersedia menjadi calon presiden dari Partai PDK dan akan mengundurkan diri sebagai Menko Polkam. Namun, tampaknya kesepakatan itu tidak menjadi kenyataan karena pengunduran diri tidak kunjung datang. Sikap SBY itu membuat para tokoh Partai PDK dan simpatisannya menjadi kecewa.

PERKEMBANGAN lebih lanjut adalah munculnya partai baru, Partai Demokrat, pimpinan S Budhisantoso yang juga mencalonkan SBY sebagai Presiden RI. Meski SBY tidak menjadi pengurus partai, ia menempatkan Ny Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu pengurus partai itu. Namun, partai ini juga mengalami nasib sama. Rencana pengunduran diri SBY dari kedudukan Menko Polkam, yang diharapkan lebih memperkuat konsolidasi, tidak kunjung datang. Selain itu, SBY juga diharapkan dapat dijadikan magnet politik bagi partai itu. Proses pencalonan Partai Demokrat kian menguat, terutama sejak Rakernas September 2003.

Kabar yang beredar saat itu, SBY akan mengundurkan diri setelah puasa ( sekitar November 2003), namun harapan para simpatisan dan pendukungnya tidak mendapat respons memuaskan karena SBY masih tetap sebagai Menko Polkam. Sementara itu, antusiasme para pengurus dan kader partai kian meningkat. Mereka mulai mencetak kartu nama dengan gambar sendiri dan gambar calon presidennya (SBY). Bahkan gambar-gambar itu juga tersebar di wilayah yang cukup jauh dari keramaian kota, misalnya, di lereng Pegunungan Menoreh, Kulon Progo, DIY. Partai Demokrat berupaya melakukan konsolidasi sambil menunggu keputusan sang calon presiden untuk mundur, namun tak ada tanda–tanda mau mundur.

Kegiatan yang dilakukan tokoh-tokoh dan pendukung Partai Demokrat, termasuk kegiatan incognito SBY, pasti termonitor Presiden Megawati. Presiden sudah selayaknya merasa tidak nyaman menyaksikan pembantunya sudah melakukan langkah-langkah politik yang dapat dianggap mengancam kedudukannya. Ketidaknyamanan Megawati kian memuncak (kira-kira) setelah ada iklan di banyak televisi, yang menayangkan SBY mengajak rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan dalam pemilu, meski banyak kalangan menganggap iklan itu wajar-wajar saja karena sebagai Menko Polkam, sudah selayaknya SBY berusaha menciptakan suasana damai dalam pemilu mendatang. Namun, oleh kalangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, suasana kompetisi politik semakin dekat sehingga segala gerak-gerik SBY amat mudah ditafsirkan sebagai langkah-langkah yang ingin memanfaatkan jabatan untuk kepentingan politik. Jadi, sampailah cerita ini ke pernyataan Taufik Kiemas sebagaimana disebutkan di atas.

LALU bagaimana karier politik SBY pasca-pengunduran dirinya? Hal itu dapat memunculkan beberapa kemungkinan. Pertama, bila Megawati akan terus mempolitisasi kasus ini dengan tidak mengambil putusan apa-apa, SBY akan menjadi tokoh yang serba kikuk. Mempunyai posisi resmi, tetapi tidak mendapat tugas apa-apa. Ibarat seperti duduk di bara api. Bila ini yang terjadi dan SBY tidak melakukan langkah apa-apa, karier politik SBY akan selesai di sini. Selesai dalam arti, simpatisan dan pendukungnya kian yakin bila SBY terlalu berat didukung untuk menjadi Presiden RI. Kedua, SBY bertindak lebih tegas. Setelah mengajukan surat dan tidak dijawab, SBY mengirim surat lagi dan mohon restu Presiden Megawati bahwa dia akan ikut bertanding dalam pemilihan presiden mendatang. Bila SBY melakukan pilihan ini, karier politik masih dapat tertolong. Artinya, persepsi masyarakat yang sudah telanjur menganggap SBY seorang tokoh yang potensial tetapi peragu ( pemalu mudah ragu-ragu), akan terhapus.

Masalah lain, apakah pengunduran diri SBY akan mengubah konstelasi politik atau persaingan politik dalam pemilihan presiden? Tampaknya, hal itu amat tergantung upaya dan kiprah para pendukung dan simpatisannya. Untuk dapat ikut dalam kompetisi pencalonan presiden sampai memperoleh dukungan yang signifikan, tampaknya masih terlalu berat.

Mengenai kekhawatiran tugas masalah penanganan keamanan dalam penyelenggaraan pemilu, tampaknya tidak perlu dirisaukan. Tugas itu secara operasional sudah menjadi bagian dari tugas Kepolisian RI, dan lebih-lebih keamanan telah menjadi komitmen semua unsur masyarakat, baik para politisi, tokoh-tokoh agama dan masyarakat, mahasiswa, dan sebagainya. Bila perlu Menko Polkam, Presiden dapat mengangkat Menteri Dalam Negeri untuk merangkap sebagai Menko Polkam.

Jadi, pelajaran yang dapat dipetik dari kasus ini adalah untuk menjadi pemimpin, tidak harus disenangi atau dapat menyenangkan semua orang. Pemimpin harus mempunyai sifat kepemimpinan, visi, misi, dan berani mengambil putusan dengan risiko yang diperhitungkan. SBY mempunyai potensi untuk itu. Karena itu, semboyannya seyogyanya: sekali terjun dalam politik, tidak boleh pernah merasa kalah. Kekalahan harus ditafsirkan sebagai kemenangan yang tertunda, atau dianggap belum menang.

J Kristiadi Peneliti CSIS, Jakarta

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

TAJUK RENCANA

·

REDAKSI YTH

·

SOS Pemilu 2004

·

Pemilu (Memang) Tidak Boleh Gagal

·

Setiaki Protes

·

Menakar Karier Politik SB Yudhoyono

·

POJOK



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS