Rubrik
Olahraga
Berita Utama
Inspirasi
Finansial
Jawa Tengah
Dikbud
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Berita Yang lalu
Audio Visual
Pergelaran
Otonomi
Rumah
Teknologi Informasi
Investasi & Perbankan
Esai Foto
Makanan dan Minuman
Ekonomi Internasional
Sorotan
Ilmu Pengetahuan
Properti
Swara
Telekomunikasi
Bentara
Muda
Kesehatan
Pendidikan Dalam Negeri
Teropong
Agroindustri
Furnitur
Otomotif
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Jendela
Pustakaloka
Ekonomi Rakyat
Fokus
Wisata
Dana Kemanusiaan
Musik
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Kamis, 03 Juli 2003

Kabupaten Muna

TENDANGAN kaki belakang, terkaman, dan saling gigit sepasang kuda yang sedang berlaga pernah jadi tradisi di Muna. Kapogiraha adhara, istilah untuk perkelahian kuda, adalah permainan khas rakyat Muna di masa lalu. Acara ini konon tak hanya digelar untuk menyambut tamu raja, tetapi juga hajatan atas hasil panen yang melimpah. Selebihnya sebagai ajang penentuan daerah kekuasaan.

SAKING melekatnya dalam keseharian hidup masyarakat Muna, gambar sepasang kuda berhadapan yang siap berkelahi sempat lama dipampang di lambang daerah. Tetapi sejak dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2002, gambar tersebut resmi dihilangkan. Hewan ini tak lagi sebagai ciri khas Kabupaten Muna. Selain tidak sesuai lagi dengan zaman, adu kuda ini lambat laun dirasa terlalu sadis dan tidak patut dipertontonkan. Jadilah pemerintah kabupaten mengganti gambar kuda dengan kayu jati.

Niat menonjolkan jati sebagai ciri khas daerah sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Luas wilayah Muna yang sebagian besar berupa hutan rupanya cukup memberikan alasan. Dari seluruh lahan 488.700 hektar hampir separuh (48,2 persen) berupa hutan produksi, hutan lindung, dan hutan wisata. Jati menjadi primadona.

Bagi daerah yang awal 2003 jumlah kecamatan berubah dari 18 menjadi 29 ini, kuli dawa yang artinya kayu jawa atau kayu jati cukup tergolong istimewa. Pasalnya tidak banyak daerah di Indonesia yang mampu menghasilkan tanaman ini. Di wilayah Muna yang tergolong kering dan tandus, jati diperkirakan tumbuh dan berkembang sejak abad ke-14 sebagai hutan jati alam. Sebaliknya, hutan jati tanaman (kultur) mulai dikembangkan tahun 1911.

Meski memiliki potensi besar, nasib baik ternyata tidak berpihak pada Muna. Selama ini kekayaan hutan Muna tak pernah dinikmati masyarakatnya. Ketika status otonom belum berlaku bagi kabupaten dan kota, otomatis hak pengelolaan jatuh ke tangan provinsi.

Membandingkannya dengan potensi yang ada sungguh menyedihkan hati. Pasalnya, sumbangan sektor kehutanan tergolong sangat kecil. Setidaknya dalam kurun waktu 1997-2001, rata-rata 1,9 persen dari total kegiatan ekonomi Muna. Total PDRB tahun 2001 adalah Rp 896,4 miliar.

Hingga tahun 2000, hanya terdapat tegakan jati alam yang menempati areal 20.000 hektar. Itupun tinggal 15 persen yang tergolong produktif. Hutan jati kultur (tanaman) lebih parah lagi. Dari areal 14.000 hektar, tak sampai 10 persen yang produktif. Padahal, tahun 1980-an potensi hutan jati di Muna pernah mencapai 28.000 hektar.

Buat Muna menikmati hasil hutan jati masih sebatas mimpi. Jangankan bicara pemasukan daerah, dana reboisasi pun tidak pernah terlintas di pikiran para pengelola. Untuk itu, ke depan pemerintah kabupaten menargetkan penanaman kembali hutan jati 2.000 hektar per tahun.

Karena belum bisa berharap pada hasil hutan, mau tak mau tanaman pangan masih menjadi perhatian. Apalagi 74,6 persen dari 133.133 pencari nafkah di wilayah ini menyandarkan hidup di bidang pertanian. Padi, palawija, sayuran, dan buahbuahan seperti kacang panjang, tomat, terung menjadi tumpuan sebagian besar masyarakat.

Hasil panen yang berfluktuasi setiap tahun jauh dari memuaskan. Padi misalnya, memang bisa tumbuh dan menghasilkan, tapi jumlahnya tidak memadai. Dalam kurun waktu 1998-2002, produktivitas ratarata tak lebih 2,3 ton per hektar. Tahun 2002 produksi padi Muna 8.029 ton, kurang lebih separuh dari kebutuhan setempat 15.100 ton per tahun.

Kondisi tanah yang sebagian besar (55,2 persen) terdiri dari format batuan seperti molesi sulawesi sarasin, gamping koral, dan sedimen laut menjadi salah satu biang keladi ketidaksuburan. Beberapa sungai besar, seperti Katangana, Wandosa, Lanoumba, dan Tabangka Balano pun belum kelihatan perannya.

Salah satu produk pertanian yang memberi secercah harapan adalah hasil perkebunan. Ditilik dari kontribusinya belum seberapa. Rata-rata dalam kurun waktu lima tahun sejak 1998 nilainya tidak lebih dari 5,5 persen. Tetapi, bidang ini patut dirintis mengingat potensinya ke depan.

Kelapa, kopi, kapuk, jambu mete, dan kakao adalah beberapa produk perkebunan yang diupayakan oleh petani. Jambu mete menempati urutan pertama sebagai hasil perkebunan yang paling menguntungkan.

Tidak sulit menjumpai tanaman ini saat menyusuri setiap sudut wilayah Muna. Awalnya, tahun 1952 jambu mete ditanam untuk menaklukkan alam Muna yang terbilang tandus, panas, dan gersang. Ternyata upaya itu cukup berhasil. Mete tidak hanya menghijaukan Muna, melainkan sekaligus menambah pendapatan petani.

Kecamatan Tongkuno, tempat dipeloporinya penanaman komoditas ini, adalah wilayah dengan areal tanam terluas. Tahun 2002 dari 6.916 hektar lahannya diperoleh 2.375 ton biji mete. Disusul Kecamatan Bonegunu dengan 1.037 ton dan Kecamatan Lawa 880 ton.

Produksi jambu mete Muna 8.785 ton tahun 1999, setahun kemudian anjlok menjadi 3.365 ton. Tahun 2001 meningkat lagi menjadi 7.015,9 ton. Penyebab ketidakstabilan ini adalah perubahan iklim. Jambu mete sangat rentan terhadap hujan, khususnya saat berbunga.

Bagi petani, menanam jambu mete lumayan menguntungkan ketimbang bergantung pada hasil padi. Harga biji mete gelondongan saat ini Rp 6.500-Rp 7.000 per kilogram, lebih rendah dibanding mete kupas Rp 25.000–Rp 30.000 per kilogram.

Nila Kirana/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Muna

·

Jagung Tak Kunjung Mekar



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS