Rubrik
Olahraga
Berita Utama
Inspirasi
Finansial
Dikbud
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Jawa Tengah
Berita Yang lalu
Rumah
Kesehatan
Audio Visual
Otonomi
Dana Kemanusiaan
Wisata
Musik
Sorotan
Ekonomi Internasional
Telekomunikasi
Perbankan
Pergelaran
Ilmu Pengetahuan
Esai Foto
Makanan dan Minuman
Properti
Swara
Teknologi Informasi
Muda
Teropong
Pendidikan Dalam Negeri
Investasi & Perbankan
Agroindustri
Furnitur
Otomotif
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Jendela
Pustakaloka
Ekonomi Rakyat
Fokus
Bentara
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Kamis, 14 Agustus 2003

Kabupaten Sarolangun

JALANNYO buruk, Bang. Begitu rata-rata pesan untuk mereka yang pertama kali pergi ke Sarolangun melalui Terminal Simpang Rimbo di Kota Jambi. Pilihan untuk mencapai ibu kota kabupaten ini cuma dua, Muaro Tembesi dan Batanghari-Muara Bungo. Yang pertama lebih cepat, lebih rusak, dan cuma ada sampai jam 5 sore. Dengan angkutan umum satu-satunya, yaitu bis ukuran sedang, penumpang harus siap diguncang-guncang lebih kurang lima jam. Yang kedua, walaupun jalannya mulus, sangat jauh dan makan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam.

ORANG kebanyakan memilih rute Muaro Tembesi-Sarolangun (182 kilometer) yang juga merupakan jalan provinsi. Hutan yang berbaur dengan perkebunan boleh dibilang menjadi pemandangan sepanjang jalan. Tak sedikit lahan hutan yang sudah dibuka terkesan ditelantarkan dan tidak dibangun apa-apa. Pusat keramaian sebagian besar terpusat di ibu kota kabupaten dan juga Kecamatan Pelawan Singkut. Yang terakhir ini kebetulan berada di jalur tengah lintas Sumatera.

Sarolangun merupakan daerah pertanian dengan konsentrasi pada perkebunan 19 persen dan tanaman pangan 15 persen. Dari total luas perkebunan 539.200 hektar, baru separuh diupayakan. Sebanyak 30 persen dari 81.078 tenaga kerja terserap pada bidang pekerjaan ini. Selain perkebunan, industri pengolahan-terutama penggergajian kayu-dan pertambangan juga cukup menonjol. Yang terakhir adalah eksplorasi minyak di Dusun Sri Pelayang, Kecamatan Pauh.

Dua hasil kebun yang pokok dari kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten Sarolangun Bangko (1999) ini adalah kelapa sawit dan karet. Boleh dibilang segala keperluan hidup petani banyak berasal dari keduanya. Dari luas lahan keseluruhan 20.330 hektar, sampai Juli tahun ini dihasilkan 534.063 ton sawit dengan produktivitas 26.269 ton per hektar. Ini berlangsung dengan kondisi harga tandan buah segar (TBS) Januari-Juli Rp 350-Rp 400. Hanya saja kabupaten ini bukan penghasil utama sawit di Jambi. Biji sawit yang kebanyakan dihasilkan Kecamatan Sarolangun dan Pauh masih kalah dibandingkan dengan sentra lain, Muaro Jambi dan Batanghari.

Bagaimana dengan karet? Dengan produksi rata-rata 800 kilogram per hektar per tahun dan luas lahan 118.343 hektar, prospek tanaman bergetah ini tampaknya lebih baik. Sebagai daerah nomor dua penghasil karet terbesar di provinsi setelah Kabupaten Tebo, produksi di tahun 2000 49.277 ton, dan sampai Juli 2003 tercatat 61.767 ton. Sarolangun, Pelawan Singkut, dan terutama Mandiangin penghasil karet utama.

Ibarat air karet adalah segalanya bagi petani di sini. Secara sederhana, tanpa perlu kerja keras batangnya menghasilkan getah karet. Faktor hama pun relatif kecil. Di samping itu, dengan harga berapa saja hasilnya bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan dilihat dari kesempatan kerja, tanaman ini selalu memerlukan tenaga kerja tanpa batas waktu. Ini berlaku untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) dengan umur 0-6 tahun, maupun tanaman menghasilkan (TM) dengan usia 6-25 tahun. Artinya, jika penyadapan dilakukan secara tertib dan konsisten, termasuk pemeliharaan, satu batang karet bisa bertahan sampai 25 tahun!

Sayangnya, karena karet pula petani selalu berada dalam kedudukan yang lemah. Harga karet yang sering tidak menentu membuat mereka terbiasa menjual hasil sadapan dalam keadaan bersih maupun kotor. Sementara itu, kebanyakan petani menjual kepada tengkulak yang akan membeli berapa saja hasil yang ada. Ketergantungan ini kerap membuat petani hanya mendapat keuntungan 40-50 persen dari yang seharusnya. Misalnya, getah kotor (crumb rubber) dihargai Rp 2.000-2.100 dari "harga bersih" Rp 4.000 per kilogram. Tanpa melihat harga pun para tengkulak melakukan "potong basi" (pemotongan) 10 persen terhadap hasil kotor. Tidak jarang getah kotor yang banyak tercampur sampah kulit pohon tetap dibeli tengkulak!

Faktor harga yang tak stabil erat terkait dengan lokasi pabrik pengolahan yang sampai sekarang berada di Jambi. Pabrik-pabrik pun rata-rata menerima karet kualitas apa adanya. Itu sebabnya tengkulak bisa menekan harga di tingkat petani agar mendapat keuntungan besar ketika menjual ke pabrik. Pemda maupun dinas perkebunan tak bisa berbuat apa-apa terhadap semrawutnya harga karet. Kalaupun ada patokan harga, katakanlah tahun ini Rp 3.000 (Januari-Maret) atau Rp 2.600 (April-Juni), kenyataannya pasti berbeda.

Memang, bukan cuma soal harga yang jadi masalah. Sikap dan kemampuan teknologi petani juga mempengaruhi produksi. Karena pasti menghasilkan uang, pohon-pohon karet sering kali disadap tanpa memperhatikan kondisi pohon, termasuk peremajaan, maupun musim. Akibatnya, usia produktif 25 tahun akan lebih cepat habis. Padahal, agar karet tetap berproduksi, petani juga memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk membeli bibit maupun peremajaan.

Masalah sikap dan teknologi itu diatasi melalui berbagai proyek pembinaan. Salah satu adalah program Small Holder Rubber Development Project tahun 1981 sampai 1992 yang dibiayai Bank Dunia. Dengan bantuan kredit, peralatan, dan penyuluhan, program ini untuk membantu petani agar lebih teratur dan efisien dalam perkebunan karet. Termasuk juga bekerja sama dalam kelompok untuk mendapat hasil yang lebih bermutu. Walaupun tidak lagi disokong Bank Dunia, pembinaan tersebut terus dipertahankan. Pemda Sarolangun kini sedang berencana membangun pabrik getah kotor dalam pola kemitraan dengan petani.

Selain bantuan program, kini juga sedang dilakukan usaha budidaya rotan dan lada di dalam perkebunan karet. Rotan rupanya bisa ditanam di selasela karet tanpa mengganggu pertumbuhannya, sementara lada diupayakan pada sisa lahan yang kosong. Rotan yang mulai dipanen pada usia 10-12 tahun bisa menghasilkan keuntungan lumayan. Dengan harga sekitar Rp 6.000 per 3 meter, satu batang menghasilkan sekitar 60 meter. Untuk satu hektar, bisa ditanam sekitar 400-500 batang dengan keuntungan sekitar Rp 48 juta. Adapun lada bisa mencapai panen pada usia 4-10 tahun, dengan harga sekitar Rp 30.000 per kilogram.

Krishna P Panolih/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Sarolangun

·

Menggenjot Produksi Beras



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS