Rubrik
Olahraga
Inspirasi
Finansial
Berita Utama
Dikbud
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Jawa Tengah
Berita Yang lalu
Teknologi Informasi
Rumah
Kesehatan
Audio Visual
Otonomi
Fokus
Muda
Investasi & Perbankan
Sorotan
Teropong
Pengiriman & Transportasi
Telekomunikasi
Perbankan
Pergelaran
Ilmu Pengetahuan
Esai Foto
Makanan dan Minuman
Properti
Dana Kemanusiaan
Bentara
Wisata
Musik
Pendidikan Dalam Negeri
Agroindustri
Furnitur
Otomotif
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Jendela
Pustakaloka
Ekonomi Rakyat
Ekonomi Internasional
Swara
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Selasa, 02 September 2003

Kabupaten Nganjuk

AWAS gerandhong! Peringatan ini harus selalu ada di benak petani Nganjuk. Jika lengah sedikit saja, penghidupan mereka bisa hancur seketika. Mengabaikan gerandhong sama dengan mempertaruhkan penghasilan keluarga.

GERANDHONG yang dimaksud bukan tokoh jahat seperti dalam film serial di televisi. Itu adalah hama tanaman bawang merah yang jika menyerang sama jahatnya dengan tokoh dalam film tersebut. Hama Lyriomyza sp tersebut berasal dari Amerika Selatan. Sejenis lalat kecil ini sampai ke Indonesia tahun 1996 setelah menyebar ke negara-negara di Eropa, Cina, Taiwan, dan Jepang melalui tanaman bunga-bungaan. Sebelum masuk ke Jatim, yaitu Pasuruan, Probolinggo, Kediri, dan Nganjuk, hama ini ditemukan di Jabar menyerang tanaman kentang, tomat, bawang merah, melon, dan cabai.

Di Nganjuk, bawang merah termasuk komoditas unggulan. Bahkan di Jawa Timur produksinya menempati urutan pertama, mengalahkan Probolinggo dan Kediri. Dibandingkan dengan Kabupaten Brebes di Jawa Tengah, Nganjuk belum seberapa. Paling banter baru 30 persen dari total produksi bawang merah Brebes. Tahun 2001 Brebes menghasilkan 169.309 ton bawang merah.

Dalam lima tahun ke belakang, kenaikan produksi bawang merah rata-rata 30 persen per tahun. Puncak melimpahnya hasil panen terjadi tahun 2002, yaitu 50.563 ton. Saat musim tuai tiba, di kanan kiri jalan yang melintasi sentra komoditas ini tampak daun-daun bawang yang direbahkan, siap dipetik hasilnya.

Budidaya tanaman bawang dapat dijumpai hampir di tiap kecamatan, tetapi sentranya di Rejoso, Wilangan, Bagor, Gondang, dan Sukomoro. Di antaranya, Rejoso adalah penghasil terbesar. Kecamatan ini pada tahun 2002 memasok 36 persen total produksi bawang merah Nganjuk.

Proses pemasaran pun tidak sulit. Selain sering didatangi langsung oleh pembeli, bawang merah dibawa ke Pasar Sukomoro. Di tempat ini arus keluar masuk bawang merah lebih ramai. Saat panen raya transaksi bisa 200 ton per hari. Jika rata-rata per kilogram Rp 3.000, setiap hari terkumpul tak kurang dari Rp 600 juta.

Pangsa pasar bawang merah Nganjuk tergolong luas. Di lingkup Pulau Jawa, komoditas ini merambah ke Jakarta, Bandung, Serang, Brebes, Cirebon, Semarang, Purwokerto, dan Surabaya. Bahkan sebarannya hingga ke luar pulau, seperti Bali, Kalimantan, dan Sumatera, khususnya ke Palembang.

Bawang merah banyak ditanam petani karena nilainya yang menggiurkan. Sepanjang 2002, misalnya, harga per kilogram bawang merah di tingkat petani paling rendah di atas Rp 2.000 dan tertinggi Rp 5.200. Dengan rata-rata Rp 3.600/kg, petani meraup tak kurang dari Rp 72 juta sekali panen.

Meski ongkos tanam tergolong tinggi, Rp 20 juta per hektar, secara teknis menanam bawang merah tetap lebih menguntungkan ketimbang menanam padi. Dengan rata-rata 5,1 ton padi per hektar serta harga jual gabah kering giling per kilogram Rp 1.500, paling-paling petani hanya memperoleh Rp 7,7 juta. Waktu pengerjaan pun lebih singkat, yaitu 60-70 hari.

Untuk sementara ini Nganjuk belum bisa sepenuhnya bergantung pada bibit lokal seperti bauji, bethok, atau ampenan. Meskipun di musim penghujan daya tahannya tinggi terhadap cendawan, produksi ketiga bibit itu tergolong rendah. Per hektar maksimum 9-11 ton. Sebaliknya di musim kemarau, dengan bibit impor seperti phillips dan thailand, petani bisa menuai bawang hingga 20 ton per hektar. Memang modalnya lebih mahal, tetapi tingkat penyusutan rendah, sehingga hasilnya bisa mencapai 20 ton per hektar.

Pola tanam padi-kedelai-bawang merah-bawang merah paling ideal untuk mendapat hasil optimal. Sayangnya, cara itu sering kali tidak dipatuhi karena petani lebih memburu keuntungan besar dari bawang merah. Padahal, jika dihitung-hitung kerugian juga lebih banyak. Selain hasilnya tidak memuaskan karena kondisi tanah makin rusak, siklus kehidupan hama pun tidak terputus. Wajar saja jika hama tanaman seperti gerandhong setiap saat mengancam tanaman bawang merah.

Cara kerja petani yang sak karepe dhewe-semaunya sendiri dalam bahasa Jawa-untuk sementara menjadi perhatian dinas pertanian setempat. Petani harus selalu diingatkan agar tidak menanam satu jenis tanaman sepanjang tahun mengingat risiko munculnya hama tanaman.

Roda kehidupan Nganjuk tak hanya diputar oleh majunya hasil pertanian seperti bawang merah. Ada pula sektor lain yang cukup besar kontribusinya terhadap perekonomian. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran memberi andil Rp 993,4 miliar. Angka tersebut mengimbangi kontribusi total pertanian Rp 1,07 triliun di tahun 2002.

Dunia perdagangan di kabupaten ini belum banyak diramaikan oleh para pedagang besar. Dari 223 pemilik tanda daftar usaha perorangan, 97 persen adalah golongan usaha kecil. Mereka bergerak di bidang yang masih berkaitan dengan pertanian dan tersebar di ibu kota kabupaten serta di Kecamatan Kertosono.

Urusan menarik kunjungan wisata, Nganjuk punya sarana. Melalui jalan beraspal yang total panjangnya 806,3 kilometer, wisatawan dituntun mendatangi berbagai obyek wisata.

Air Terjun Sedudo menjadi andalan. Salah satu dari sembilan air terjun di Nganjuk, obyek wisata ini terletak di lereng Gunung Wilis, sekitar 28 kilometer dari ibu kota kabupaten. Hotel dan restoran yang ikut berkembang menyumbang Rp 30,6 miliar pada kegiatan ekonomi Nganjuk.

Nila Kirana/ Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Nganjuk

·

Jatuh Bangun Seni Tayub



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS