Rubrik
Olahraga
Finansial
Berita Utama
Dikbud
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Jawa Tengah
Berita Yang lalu
Dana Kemanusiaan
Teknologi Informasi
Rumah
Kesehatan
Audio Visual
Otonomi
Ekonomi Rakyat
Esai Foto
Teropong
Pixel
Bahari
Pendidikan Luar Negeri
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidkan
Sorotan
Investasi & Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Telekomunikasi
Perbankan
Wisata
Ilmu Pengetahuan
Fokus
Makanan dan Minuman
Properti
Swara
Bentara
Muda
Musik
Agroindustri
Furnitur
Otomotif
Jendela
Pustakaloka
Ekonomi Internasional
Pergelaran
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Rabu, 24 September 2003

Kabupaten Alor

NAMA kabupaten yang terletak di bagian timur Pulau Flores ini tak terpisahkan dari citra keindahan bawah laut yang mengitarinya. Bagi para penyelam luar negeri, perairan Alor merupakan salah satu lokasi menyelam terbaik di dunia, bahkan dianggap sebagai surga bagi penyelam. Jernihnya air, indahnya terumbu karang, dan aneka hayati laut yang belum rusak, menjadi pesona yang memukau.

SEKURANGNYA terdapat 26 titik selam di perairan Selat Pantar –laut yang memisahkan Pulau Alor dan Pulau Pantar-yang diminati penyelam mancanegara. Tercatat rata-rata 100 wisatawan asing per tahun datang menyelam di perairan Alor. Sejak krisis ekonomi melanda, tahun 2001 tercatat 187 penyelam, namun tahun berikutnya hanya 109 penyelam. Angka ini boleh dibilang kecil mengingat potensi yang sangat besar. Citra yang melekat ternyata belum diimbangi dengan promosi dan pengelolaan wisata bawah laut untuk menarik wisatawan.

Dilihat dari sudut pandang ekonomi, dampak yang dibawa para turis terhadap kesejahteraan penduduk dan penerimaan daerah masih sangat minim. Potensi wisata bawah laut yang belum dikelola secara profesional belum mampu mengisi kas daerah atau penyedia lapangan usaha ikutan yang bisa menyerap tenaga kerja lokal. Usaha rumah makan, penginapan, pemandu wisata, dan perdagangan suvenir, bisa menjamur bila turis berdatangan. Setiap tahun, kontribusi sektor pariwisata-termasuk kegiatan menyelam para turis-untuk kas daerah berkisar Rp 15 juta- Rp 17 juta.

Minimnya kontribusi ini bisa dimaklumi karena minim pula pelayanan dan jasa yang diberikan pengelola sektor pariwisata daerah. Kontribusi yang didapat lebih banyak dari tiket masuk kapal dan turis yang singgah di Pelabuhan Laut Kalabahi. Itu seandainya singgah. Kenyataannya, banyak kapal motor yang membawa turis menyelam di Selat Pantar menggunakan kapal motor sendiri, bahkan kapal motor berbendera asing berhari-hari tanpa menyinggahi pelabuhan.

Keterbatasan sarana dan prasarana menjadi topik yang harus diakui pemerintah daerah dalam mengelola wisata laut. Niat sudah ada, tetapi dana belum memadai. Promotor untuk kegiatan menyelam belum ada, kapal motor dan sarana komunikasi seperti radio panggil, juga belum ada. Selain itu, pengawasan dan pengendalian di laut juga belum dapat diupayakan. Tidak heran bila turis asing datang membawa perlengkapan sendiri atau memanfaatkan jasa penyewaan dari luar daerah seperti Denpasar atau Kupang.

Potensi perairan Alor yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan penduduk baru sebatas menangkap ikan. Di sini terdapat sekitar 3.650 rumah tangga perikanan. Biasanya dalam satu rumah tangga terdapat tiga orang yang turun ke laut menangkap ikan, sehingga ada sekitar 10.950 nelayan di Alor.

Tapi, karena sistem penangkapan masih tradisional dan armada terbatas, nelayan Alor belum optimal meraup potensi ikan. Produksi tangkapan ikan rata-rata per tahun sekitar 8.500 ton. Ikan terbanyak yang diperoleh antara lain ikan layang, paperek, kerapu, ekor kuning, layur, selar, teri, tembang, tongkol, cakalang, tuna, julung- julung, cendro, kembung, dan kakap.

Hasil tangkapan ini langsung dikonsumsi oleh penduduk lokal. Untuk dipasarkan antardaerah di Pulau Flores atau bahkan antarpulau, nelayan atau pemerintah daerah belum memiliki tempat pengawetan ikan (cold storage). Setelah didaratkan, ikan yang diperoleh biasanya diharapkan langsung habis terjual. Jika tidak, ikan langsung diawetkan dengan cara dijemur atau diasap hingga kering. Usaha lanjutan dari menimba hasil laut yang mengarah pada industri pengolahan di Alor masih belum ada. Budi daya ikan, mutiara atau rumput laut, belum berkembang.

Sektor perikanan menjadi tumpuan hidup penduduk Kabupaten Alor, terutama di daerah pesisir. Namun demikian, karena menangkap ikan tergantung musim, diperlukan pekerjaan lain untuk mencukupi kebutuhan hidup. Banyak nelayan yang juga bertani.

Bertani tanaman pangan menjadi mata pencarian yang paling banyak digeluti penduduk (75 persen), meskipun topografi tanah Alor yang tandus dan berbukit-bukit sangat sulit dikembangkan sebagai basis pertanian. Yang paling mungkin adalah untuk lahan perkebunan. Menanam padi di ladang dilakukan sejak dahulu, terutama ketika pola konsumsi makanan pokok masyarakat mulai beralih dari jagung dan singkong ke beras. Adapun menanam padi sawah baru dilakukan di Alor sejak tahun 1970-an setelah diperkenalkan oleh petani Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.

Menanam padi di ladang dilakukan sekali setahun dan hampir merata di setiap kecamatan. Luas panen 4.442 hektar. Sementara luas panen padi sawah sekitar 270 hektar, atau 8% dari potensi yang bisa ditanami (3.354 hektar). Masih rendahnya lahan yang termanfaatkan untuk persawahan tak lain karena saluran irigasi di Alor lebih mengandalkan embung-istilah penduduk untuk tempat menampung air-yang praktis bergantung pada curah hujan. Sementara curah hujan di Alor rendah. Penanaman padi sawah ini antara lain di Kecamatan Alor Timur Laut, Alor Barat Laut, dan Alor Selatan.

Produksi padi rata-rata 9.918 ton per tahun. Jumlah ini belum mencukupi kebutuhan beras penduduk yang setiap tahun 28.000 ton. Kekurangannya disuplai dari Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Selain mengharap suplai beras dari luar, penduduk masih mengonsumsi jagung dan singkong sebagai makanan pokok.

Bercocok tanam di Alor tidak bersifat monokultur. Lahan petani ditanami beberapa jenis tanaman, selain padi. Tanaman sebagai substitusi antara lain jambu mete, kemiri, vanili, cengkeh, pinang, dan asam. Bila satu komoditas terganggu, petani masih memiliki komoditas lain yang bisa diandalkan. Hasil perkebunan itu, selain dikonsumsi penduduk lokal juga diserap pasar luar pulau, seperti Surabaya dan Makassar.

Gianie/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Alor

·

Sehati Sejiwa Membangun



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS