Rubrik
Olahraga
Inspirasi
Finansial
Berita Utama
Dikbud
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Jawa Tengah
Berita Yang lalu
Dana Kemanusiaan
Teknologi Informasi
Rumah
Kesehatan
Audio Visual
Otonomi
Ekonomi Rakyat
Esai Foto
Teropong
Pixel
Bahari
Pendidikan Luar Negeri
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidkan
Sorotan
Investasi & Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Telekomunikasi
Perbankan
Wisata
Ilmu Pengetahuan
Fokus
Makanan dan Minuman
Properti
Swara
Bentara
Muda
Musik
Agroindustri
Furnitur
Otomotif
Jendela
Pustakaloka
Ekonomi Internasional
Pergelaran
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Kamis, 25 September 2003

Kabupaten Sikka

BERANJAK dari kemiskinan dan ketertinggalan menjadi keinginan setiap daerah terutama sejak otonomi daerah dilaksanakan, tak terkecuali bagi Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, gambaran sosial penduduk Sikka masa kini tak jauh berbeda dengan dekade- dekade sebelumnya. Mereka harus berkelit dengan nasib dan berkutat dengan persoalan mencukupi kebutuhan dasar.

LAJU pembangunan sempat menyurut ketika gempa dengan gelombang tsunami berkekuatan 6,8 richter memorakporandakan fisik dan psikologis daerah di penghujung tahun 1992. Tak sedikit kerugian yang diderita, juga tak sedikit dana yang dikeluarkan untuk memperbaiki rumah dan bangunan lainnya. Di luar itu, berita dari Sikka masih silih berganti mengenai kekeringan. Sepanjang tahun, bulan Mei hingga November, menjadi masa-masa sulit bagi penduduk karena hujan jarang turun. Kekeringan menyebabkan penduduk sulit mendapatkan air bersih, sulit pula mengolah lahan yang kering, sehingga kondisi rawan kesehatan dan pangan dihadapi sewaktu-waktu.

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih ada tiga sumber air yang lazim digunakan penduduk. Yakni, memanfaatkan air hujan, air tanah, dan air permukaan. Pemanfaatan air hujan dengan curah rata-rata 1.000- 1.500 mm/tahun dengan hari hujan 60-120 hari/tahun biasanya dilakukan dengan membuat bak-bak penampung air hujan. Selain itu, air tanah ikut membantu ketersediaan air, meski debit yang 50 liter/detik baru mampu melayani sekitar seperempat penduduk kota dan pedesaan. Penduduk dan pemerintah daerah masih terus mengupayakan penemuan sumber-sumber mata air baru. Adapun air permukaan yang bisa dimanfaatkan berasal dari sungai yang juga tidak banyak.

Di musim kering, penduduk di daerah-daerah tertentu seperti Kecamatan Maumere, Kewapante, dan Nita, memenuhi kebutuhan air bersih dengan membeli air per tangki (kapasitas 3.000 atau 5.000 liter) rata-rata Rp 50.000–Rp 70.000, tergantung jarak lokasi rumah dengan sumber air. Mengambil air dari batang pisang, akar pohon ara, atau akar batang bambu pun sering dilakukan.

Belum lepas dari persoalan hari-hari mendapatkan air bersih, penduduk masih harus bekerja keras mengolah tanah kering menjadi tanah produktif. Hasilnya cukup lumayan, tanaman palawija dan perkebunan dapat menghasilkan nilai ekonomi lebih tinggi, meskipun belum sepenuhnya mencukupi kebutuhan pangan lokal.

Produksi pangan meliputi beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kacang-kacangan, keseluruhan menghasilkan 45.748 ton ekuivalen beras. Dengan keperluan konsumsi per kapita per tahun 181,2 kilogram, ditambah keperluan benih dan lainnya 4 persen dari masing-masing komoditas pangan, total keperluan pangan penduduk Sikka sebanyak 49.829 ton. Berarti kekurangan pangan Kabupaten Sikka sebanyak 4.081 ton.

Daerah yang sering kekurangan pangan adalah Kecamatan Palue, Alok, Maumere, Bola, Kewapante, Lela, dan Talibura. Kekurangan ini tertutupi dari stok beras Dolog dan pasokan beras dari daerah tetangga, seperti Kabupaten Manggarai, Ngada, dan Ende. Upaya mencukupi kebutuhan pangan secara nyata memperlihatkan dominasi kegiatan pertanian pada ekonomi daerah. Sekitar dua per tiga penduduk bekerja sebagai petani, yang menghasilkan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan.

Di sektor perkebunan, Kabupaten Sikka menjadi penghasil sejumlah komoditas terbesar di NTT. Tanaman kakao contohnya, dari lahan 19.714 hektar dihasilkan 4.059 ton. Jumlah ini menyumbang 79 persen dari total produksi kakao NTT. Sebagai daerah yang dikelilingi laut, Sikka memiliki lahan kelapa 28.255 hektar dengan hasil 16.720 ton, yang terbanyak di NTT. Selain itu, produksi pala, lada, dan tembakau Sikka juga yang terbanyak di NTT dan diandalkan untuk memenuhi pasar luar daerah.

Untuk kebutuhan protein hewani, penduduk Sikka bergantung pada perolehan ikan laut. Daerah yang berbatasan dengan Laut Flores dan Sawu ini memiliki perairan penangkapan ikan 5.821,33 kilometer persegi dengan garis pantai 379,3 kilometer. Hasil tangkapan sekitar 13.400 nelayan rata-rata 7.400 ton per tahun. Meski penangkapan ikan masih tradisional dengan armada yang terbatas dan banyak menggunakan alat pancing biasa, hasil tangkapan nelayan Sikka tidak hanya untuk konsumsi lokal, tapi juga dipasarkan antarkabupaten, antarpulau, bahkan diekspor. Hasil laut yang diekspor, kerapu segar ke Hongkong dan tuna beku ke Jepang.

Peluang mendapatkan nilai ekonomi yang tinggi dengan melakukan ekspor mengundang minat mengembangkan budi daya hasil laut. Apalagi tersedia luas laut sekitar 6.000 hektar yang bisa dimanfaatkan untuk budi daya. Untuk investasi yang bersifat padat modal, baru dua perusahaan yang bergerak di budi daya mutiara, satu perusahaan dari dalam negeri dan lainnya dari Jepang. Sementara itu, budi daya yang banyak dilakukan oleh penduduk adalah rumput laut oleh sekitar 387 rumah tangga perikanan atau sekitar 1.500 nelayan. Hasilnya bisa dipasarkan hingga ke Pulau Jawa. Pemerintah daerah juga mengembangkan budi daya kerapu dengan keramba jaring apung, dua keramba masing-masing 8 x 8 meter.

Potensi sektor kelautan diakui pemerintah daerah sebagai salah satu andalan. Upaya mengundang investasi agaknya masih belum seperti diharapkan. Infrastruktur yang mendukung perlahan-lahan mulai dibenahi. Setidaknya, dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sikka pada tahun 2002 terlihat anggaran pembangunan untuk sektor transportasi mendapat porsi terbesar kedua setelah sektor industri, yakni Rp 15,7 miliar. Untuk transportasi darat, tinggal beberapa ruas jalan di Kecamatan Paga, Mego, Talibura, dan Waigete, yang belum diaspal. Jalur distribusi komoditas perikanan dan perkebunan antarpulau selama ini dilayani melalui Pelabuhan Sadang Bui dan Bandara Wai Oti di Maumere. Adapun perjalanan bisnis bisa dilakukan setiap hari dengan menggunakan pesawat udara.

Gianie/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Sikka

·

Gembira dan "Moret Empang"



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS