Rubrik
Berita Utama
Inspirasi
Finansial
Jawa Tengah
Olahraga
Dikbud
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Berita Yang lalu
Dana Kemanusiaan
Teknologi Informasi
Rumah
Kesehatan
Audio Visual
Otonomi
Fokus
Ekonomi Rakyat
Ilmu Pengetahuan
Pendidikan
Sorotan
Teropong
Ekonomi Internasional
Pixel
Bahari
Pendidikan Luar Negeri
Pendidikan Dalam Negeri
Investasi & Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Telekomunikasi
Wisata
Pergelaran
Didaktika
Esai Foto
Makanan dan Minuman
Properti
Swara
Bentara
Muda
Musik
Agroindustri
Furnitur
Otomotif
Jendela
Pustakaloka
Perbankan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Rabu, 01 Oktober 2003

Kabupaten Bireuen

AWAL Maret 2003. Komite Keamanan Bersama atau Joint Security Committee (JSC) Aceh "meresmikan" Kecamatan Peusangan di Kabupaten Bireuen sebagai zona damai di Aceh. Daerah ini bersama Kecamatan Tiro di Kabupaten Pidie dan Kecamatan Indrapuri, di Kabupaten Aceh Besar menjadi zona damai menyusul pemberlakuan demiliterisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan relokasi prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tujuannya jelas: mewujudkan damai di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

NAMUN, kenyataan berbicara lain. Tiga bulan setelah kesepakatan damai diteken, pemerintah negeri ini memberlakukan darurat militer di NAD. Tak lama kemudian, kendaraan umum di Bireuen perlahan tersisih oleh kemunculan kendaraan tentara yang berpatroli rutin. Suara deru mesin panser dan letusan bedil yang mewarnai kontak senjata antara pasukan TNI dengan GAM mulai merasuki gendang telinga warga Bireuen.

Dalam peta GAM, Bireuen termasuk wilayah Batee Iliek dalam kekuasaan Panglima Perang Dawis Djeunieb. Tidak heran bila aparat keamanan pemerintah pusat kerap menyambangi daerah ini. Empat dari 10 kecamatan yang ada, yakni kecamatan Juli, Jangka, Peudada, dan Makmur malah mendapat predikat "daerah hitam". Dibanding kecamatan lain, berbagai tindak kekerasaan-pengrusakan dan pembakaran bangunan permanen, penculikan hingga pembunuhan- kerap terjadi di keempat kecamatan itu.

Salah satu bangunan permanen yang menjadi sasaran pembakaran adalah bangunan sekolah. Selama darurat militer diberlakukan, 139 gedung sekolah di Bireuen terbakar. Dari catatan yang ada, Bireuen memiliki 280 gedung sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas. Dalam APBD 2002 pemerintah kabupaten menganggarkan Rp 27,17 miliar guna menunjang kegiatan pendidikan. Alokasi itu sekitar 40 persen dari seluruh belanja pembangunan Rp 68,77 miliar.

Kabupaten Bireuen yang lahir pada 12 Oktober tahun 1999 merupakan pemekaran Kabupaten Aceh Utara. Bireuen terletak pada 40.54’ – 50.18’ Lintang Utara dan 960.20’-970.21’ Bujur Timur. Kabupaten ini berada pada jalur Banda Aceh dan Medan serta berbatasan dengan Takengon, Aceh Tengah. Sebagian besar permukaan jalan yang menghubungkan Bireuen dengan daerah-daerah tetangganya beraspal hotmix. Waktu tempuh dari Banda Aceh ke Bireuen lima jam perjalanan darat. Sedangkan dari Medan sekitar 10-11 jam. Dari seluruh luas lahan di kabupaten ini, 54,2 persen untuk usaha pertanian.

Lapangan usaha pertanian menjadi mata pencaharian utama penduduk Bireuen. Dari seluruh penduduk, 33,05 persen bekerja di sektor agraris. Sisanya tersebar di berbagai lapangan usaha seperti jasa (21,62 persen), perdagangan (10,20 persen), industri (5,50 persen). Nilai kegiatan ekonomi masyarakat di lapangan usaha pertanian Rp 1,07 triliun. Dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2001, nilai yang dihasilkan sekitar 65 persen dari seluruh PDRB yang berjumlah Rp 1,65 triliun.

Dari lima kegiatan pada lapangan usaha pertanian, tanaman pangan memberi kontribusi terbesar dengan nilai Rp 445 miliar. Produk andalan bidang ini adalah padi dan kedelai. Padi di tanam di seluruh kecamatan dengan luas tanaman 26.047 hektar. Bireuen menghasilkan 136.578 ton padi dari areal panen 29.814 hektar. Sentra produksi padi terdapat di Kecamatan Samalangan, Peusangan, dan Gandapura. Untuk pengairan sawah, kabupaten ini memanfaatkan tujuh sungai yang semua bermuara ke Selat Malaka. Salah satunya, irigasi Pandelhong yang memanfaatkan air Krueng–sebutan untuk sungai–Peusangan.

Seperti padi, tanaman kedelai dijumpai di seluruh kecamatan. Dari areal panen 27.033 hektar, diperoleh 41.793 ton kacang kedelai. Angka ini merupakan produksi terbesar di seluruh Provinsi NAD. Kecamatan Juli menjadi sentra kedelai dengan produksi 17.202 ton. Sedangkan sembilan kecamatan lain menghasilkan 300 ton hingga 7.000 ton. Selain untuk konsumsi lokal, kacang kedelai (Glycine max) dipasarkan dalam bentuk butiran hingga ke Medan, Sumatera Utara. Di kota ini, biji kedelai yang mengandung 48 persen protein, 24 persen karbohidrat, dan 19 persen lemak digunakan untuk bahan baku tempe, tahu, dan susu. Ampasnya untuk pakan ternak. Di Bireuen, kedelai menjadi bahan baku kecap, tahu, dan tempe.

Kabupaten ini juga menjadi daerah penghasil pisang. Dari 151.933 batang pisang, dihasilkan 3.792 ton buah pisang. Pisang ini diolah menjadi keripik. Industri keripik pisang terbanyak di Kecamatan Jeumpa dengan 80 sentra produksi. Di kecamatan Peusangan dan Juli masing-masing terdapat 40 dan 10 sentra produksi. Masing-masing sentra rata-rata memiliki empat tenaga kerja, sehingga pembuatan keripik pisang setidaknya menyerap 500 tenaga kerja. Keripik pisang Bireuen menjadi buah tangan dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 12.000 per kilogram.

Komoditas khas lainnya adalah giri matang, sejenis jeruk bali. Buah ini hanya terdapat di Matang, ibu kota Kecamatan Peusangan yang berjarak 10 kilometer dari Bireuen arah ke Medan. Dari luas lahan tanam 675 hektar, masyarakat di kecamatan ini memperoleh 3.584 ton giri matang. Di pasar kecamatan, dijual satuan dengan harga Rp 5.000. Pemerintah kabupaten menyediakan lahan 1.500 hektar untuk pengembangan buah khas Bireun ini.

Berbatasan dengan Selat Malaka di bagian utara memungkinkan Bireuen memiliki potensi perikanan dan kelautan yang siap dimanfaatkan dengan andalan ikan cakalang dan tuna. Setiap tahun hasil tangkapan ikan cakalang rata-rata 1.410 ton. Sedangkan ikan tuna 665 ton. Dari hasil budidaya, Bireuen mengunggulkan udang windu dan bandeng. Dengan budidaya intensif diperoleh lima ton udang windu per bulan. Harga udang windu berkualitas ekspor berkisar Rp 60.000–Rp 90.000 per kilogram. Sedangkan harga bandeng sekitar Rp 12.000 per kilogram.

B E Julianery/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Bireuen

·

Menggeliat Memajukan Daerah



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS