Rubrik
Berita Utama
Inspirasi
Finansial
Jawa Tengah
Olahraga
Dikbud
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Berita Yang lalu
Dana Kemanusiaan
Teknologi Informasi
Rumah
Kesehatan
Audio Visual
Otonomi
Fokus
Ekonomi Rakyat
Ilmu Pengetahuan
Ekonomi Internasional
Didaktika
Pendidikan
Teropong
Pixel
Bahari
Pendidikan Luar Negeri
Pendidikan Dalam Negeri
Investasi & Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Telekomunikasi
Wisata
Pergelaran
Sorotan
Esai Foto
Makanan dan Minuman
Properti
Swara
Bentara
Muda
Musik
Agroindustri
Furnitur
Otomotif
Jendela
Pustakaloka
Perbankan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Selasa, 07 Oktober 2003

KABUPATEN Kepulauan Mentawai

BAGAIKAN batu intan yang belum terasah. Demikian perumpamaan yang layak disandang oleh Kabupaten Kepulauan Mentawai. Potensi kehutanan, keunikan budaya seperti tato, dan keindahan alamnya membuat orang-orang dari dalam negeri dan mancanegara berkunjung.

POTENSI kehutanan di Kepulauan Mentawai merupakan daya tarik yang sangat menggiurkan bagi kalangan pengusaha dari Padang maupun Jakarta. Kabupaten ini memiliki areal hutan paling luas di Sumatera Barat (Sumbar). Luas hutan di Kepulauan Mentawai 22,5 persen luas hutan Sumbar. Dari luas itu hutan produksi tetap 407.000 hektar atau 67 persen dari total luas hutan produksi tetap di Sumbar. Lahan hutan ini tersebar di pulau-pulau besar seperti Pulau Pagai, Sipora, dan paling luas di Siberut. Menurut penggunaannya, lahan hutan merupakan 42 persen luas wilayah Kepulauan Mentawai.

Kayu bulat dari hutan Mentawai diproses melalui prosedur izin pengusahaan kayu (IPK). Wilayah hutan yang sudah diambil kayunya dijadikan areal perkebunan seperti kelapa hibrida, kelapa sawit, dan nilam. Penggunaan pola IPK ini didasarkan kerja sama koperasi masyarakat dengan perusahaan sebagai penyandang dana. Sampai tahun 2000 dikeluarkan 23 IPK, masing-masing 20 IPK di Kecamatan Pagai Utara Selatan dan tiga di Kecamatan Siberut Selatan.

Konsep IPK ternyata tidak sepenuhnya menguntungkan masyarakat setempat. Lahan yang digunakan untuk kelapa sawit ternyata merusak habitat tanaman obat langka di hutan Mentawai. Tanaman tersebut jarang ditemui dan sekarang hampir punah. Padahal, masyarakat asli banyak memanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Masyarakat belum dapat mengandalkan sarana kesehatan seperti pusat kesehatan masyarakat atau rumah sakit karena terbatas.

Pemasukan kas daerah dari kehutanan juga belum sebanding. Keuntungan dari hasil hutan dalam target APBD 2002 di antaranya masuk dalam retribusi izin pengambilan hasil hutan ikutan Rp 200.000, bagi hasil kehutanan Rp 3,1 miliar dan dana alokasi khusus reboisasi Rp 2,9 miliar.

Padahal, kontribusi sektor kehutanan dalam membentuk struktur perekonomian kabupaten paling besar. Pada tahun 2001 kehutanan menyumbang Rp 106,6 miliar dari total nilai perekonomian Rp 393,6 miliar.

Penduduk Kepulauan Mentawai sebagian besar hidup dari bertani tanaman pangan. Mereka lebih banyak bertanam talas, pisang dan sagu dibandingkan dengan mengusahakan sawah. Makanan pokok suku asli Mentawai yang merupakan 87 persen penduduk Kabupaten Kepulauan Mentawai terbuat dari talas, pisang atau sagu.

Talas dan sagu tumbuh liar di hutan-hutan Mentawai. Pemda merencanakan untuk meningkatkan kualitas talas tersebut lewat budidaya talas jenis unggul di areal 100 hektar. Tanaman pisang tahun 2001 mencapai 2.900 hektar dengan produksi 1.870 ton. Selama ini diversifikasi makanan yang terbuat dari talas, pisang, dan sagu belum dilirik oleh masyarakat. Padahal jenis tanaman ini potensial untuk dikembangkan dan dapat dijadikan oleh-oleh bagi wisatawan yang berkunjung.

Tanaman padi pun sebenarnya banyak dijumpai di Kepulauan Mentawai. Pada mulanya padi diperkenalkan oleh transmigran dari Jawa. Pada tahun 2001 luas panen 219 hektar dengan produksi 734 ton. Lahan sawah tersebar di seluruh kecamatan terutama Kecamatan Pagai Utara Selatan.

Potensi pariwisata juga tidak kalah menarik. Perairan Mentawai dikenal sebagai tempat paling menantang untuk pecinta olahraga selancar air atau surfing. Potensi pantai yang terkenal untuk olah raga selancar ini menjadi incaran wisatawan mancanegara. Lokasi selancar terdapat di Nyangnyang, Karang Bajat, Karoniki, dan Pananggelat Mainuk di Kecamatan Siberut Selatan, Katiet Bosua di Kecamatan Sipora, serta pantai selatan dan barat Kecamatan Pagai Utara.

Kabupaten yang memiliki garis pantai 758 kilometer ini memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Di perairan sepanjang pantai itulah tersimpan kekayaan laut yang cukup potensial seperti kerapu, kakap, tongkol, teripang, dan rumput laut. Kerapu dari perairan Kepulauan Mentawai bahkan menjadi komoditas ekspor. Tahun 1993-1999 Kepulauan Mentawai mengekspor kerapu rata-rata 20 ton setiap berlayar selama 20 hari. Daerah penangkapan di sepanjang pesisir Pagai Utara Selatan sampai Siberut. Sekarang produksinya turun menjadi lima ton per tiga bulan. Kerapu hasil tangkapan dalam bentuk beku segar dibawa ke Padang dan dikapalkan melalui pelabuhan Dumai, Riau menuju Malaysia.

Masalah utama yang dihadapi pemerintah daerah adalah minimnya sarana transportasi dan komunikasi. Jarak dari Kota Padang menuju Kepulauan Mentawai 90-120 mil ditempuh 10-14 jam dengan kapal laut, dan 40-45 menit dengan pesawat udara perintis. Kapal laut tidak setiap hari berkunjung ke setiap pulau. Kapal berlabuh di Pelabuhan Tua Pejat hanya pada hari Senin, Rabu, dan Sabtu. Itu pun kalau cuaca di laut cerah. Apabila gelombang besar datang, kapal tidak berani berlayar sehingga pelayaran ditunda untuk jadwal berikutnya.

Mengandalkan pelayaran saja sebagai sarana melepaskan diri dari keterisolasian dengan wilayah lain di Sumbar sepertinya sangat sulit diharapkan karena selalu terhambat cuaca. Kehadiran sarana perhubungan udara bisa menjadi salah satu alternatif. Kepulauan Mentawai memiliki bandara perintis di Rokot, Pulau Sipora. Sebelumnya, perusahaan penerbangan SMAC (Sabang Merauke Air Charter) membuka rute dari Tabing ke Rokot. Namun, sejak Maret 1999 perusahaan ini tidak menjalankan rutenya lagi.

Sarana jalan di setiap pulau masih terbatas pada jalan aspal beton sepanjang 39 kilometer atau lima persen dari panjang jalan di Kepulauan Mentawai. Ini pun hanya ada di setiap ibu kota kecamatan, sedangkan 94 persen dari seluruh jalan masih berupa jalan kerikil dan tanah.

Beranjak dari kesulitan tersebut dalam target APBD 2002 pemda mengalokasikan belanja pembangunan pada sektor transportasi 42 persen dari total anggaran pembangunan Rp 77,08 miliar. Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk program pembangunan jalan dan jembatan. Pemerintah pusat juga memberi bantuan berupa dana alokasi khusus nonreboisasi Rp 5,9 miliar untuk prasarana jalan dan jembatan.

Yuliana Rini DY/ Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

KABUPATEN Kepulauan Mentawai

·

Banyak Peluang Terbentang



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS