Rubrik
Berita Utama
Inspirasi
Finansial
Jawa Tengah
Olahraga
Dikbud
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Berita Yang lalu
Fokus
Wisata
Dana Kemanusiaan
Teknologi Informasi
Rumah
Audio Visual
Otonomi
Jendela
Otomotif
Pengiriman & Transportasi
Sorotan
Bentara
Kesehatan
Ekonomi Rakyat
Didaktika
Pendidikan
Teropong
Pixel
Bahari
Pendidikan Luar Negeri
Pustakaloka
Investasi & Perbankan
Ekonomi Internasional
Telekomunikasi
Perbankan
Pergelaran
Ilmu Pengetahuan
Esai Foto
Makanan dan Minuman
Properti
Swara
Muda
Musik
Agroindustri
Furnitur
Pendidikan Dalam Negeri
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Selasa, 28 Oktober 2003

Kota Pagaralam

MEMBAYANGKAN suatu kehidupan di sebuah kaki gunung pada masa lampau, sekitar 2.500 hingga 3.000 tahun lalu, sangatlah menarik. Sebaran rumah dari batu untuk tempat tinggal, lesung batu hingga patung-patung berukuran besar di Pagaralam menunjukkan tingginya kemampuan penataan dan seni, jauh sebelum tahun masehi hadir.

TAK hanya peninggalan-peninggalan megalitikum yang ada di pecahan Kabupaten Lahat ini, kebun teh dengan latar belakang Gunung Dempo menghampar memanjakan mata. Lahan hijau seluas 18.000 hektar ini dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII dan hasilnya kemudian dikemas siap ekspor ke negara-negara Eropa melalui pelabuhan di Lampung.

Begitu pula dengan produk lain, kopi. Tanaman kopi yang 90 persen berjenis robusta juga menghasilkan komoditas ekspor. Hanya saja, rantai perdagangannya tak sesederhana teh yang proses ekspornya langsung ditangani oleh PTPN VII. Perjalanan kopi ke luar negeri harus lewat mata rantai panjang. Mulai dengan petani menjual biji kopi kepada pedagang, kemudian berpindah tangan ke pedagang tingkat kota yang jumlahnya sekitar 30 orang, selanjutnya diangkut ke Lampung dengan kendaraan selama kurang lebih delapan jam.

Pelabuhan di Lampung diakui lebih populer untuk mengirim dagangan ke luar negeri dibandingkan dengan Palembang karena pelabuhan di Lampung lebih tinggi tingkat kepastiannya. Pelabuhan di Palembang yang sangat bergantung pada ketinggian air sungai pasang.

Di Lampung, biji kopi akan diseleksi, antara lain menurut kadar air dan penampakan. Apabila warna biji kuning dan kadar air mencapai 10 hingga 12 persen, bolehlah dijual ke luar negeri. Bila tidak, cukup dijadikan konsumsi dalam negeri saja yang miring harganya.

Kopi telah menjadi andalan perekonomian kota. Tanaman yang tersebar di seluruh kecamatan inilah yang memacu sektor perkebunan menjadi tulang punggung perekonomian Pagaralam. Sebesar 38,7 persen kegiatan ekonomi dihasilkan dari sektor ini. Mayoritas penduduk atau tepatnya 26,2 persen pun mencari nafkah lewat penanaman kopi. Pada tahun 2002, panen menghasilkan 19.640 ton dari kebun kopi seluas 37.675 hektar.

Penanaman kopi di kota ini sudah dilaksanakan sejak zaman penjajahan Belanda. Dahulu, Belanda membudidayakan jenis arabika. Ternyata, jenis ini rentan penyakit. Setelah penyakit karat daun mewabah dan merusak tanaman kopi, diputuskan untuk mengganti semua tanaman kopi dengan jenis robusta yang lebih tahan penyakit.

Sebenarnya, tak semua lahan di Pagaralam cocok untuk kopi. Ada lahan-lahan yang cenderung dipaksa dengan tanaman kopi hanya karena mengejar untung. Maklum, petani kopi pernah mengalami masa kejayaan di sekitar tahun 1987-an. Saat itu, harga kopi mencapai Rp 20.000 per kilogram di tingkat petani. Sekarang, harga sudah menyusut jauh, antara Rp 4.100 hingga Rp 4.500 per kilogram. Bahkan, harga pernah anjlok sampai Rp 3.000 per kilogram.

Selain kopi, hasil budidaya hortikultura juga menambah deretan produk pertanian kota yang tanahnya berjenis latosol dan andosol ini.

Letak Pagaralam di dataran tinggi dikombinasi dengan tanah subur dijadikan modal utama petani memanen sayuran dan buah yang laku di kabupaten dan kota lain di Sumatera Selatan.

Tahun 2002, sekitar 7.600 ton kubis, 960 ton sawi, 4.200 ton kentang, 1.640 ton bawang daun, serta 298.000 ton avokad dihasilkan dan dijual hingga ke Muara Enim, Lahat, Ogan Komering Ulu, dan Palembang.

Setelah perkebunan, perdagangan menjadi penyangga ekonomi terkuat selanjutnya. Dengan dukungan Pasar Dempo Permai berskala pelayanan kota, dibantu enam pasar berskala pelayanan lebih sempit, 21,3 persen dari total kegiatan ekonomi tercipta. Di samping itu, juga hadir pasar khusus hasil pertanian berorientasi niaga ke luar daerah. Lokasi fasilitas ini ada di dekat terminal kendaraan umum antarkota dalam provinsi sehingga memudahkan pengangkutan komoditas pertanian.

Sayangnya, meski kaya akan berbagai hasil pertanian, nama Pagaralam belum cukup mencuat. Kopi yang diracik di Lampung tak akan menggunakan label Pagaralam, melainkan dicap sebagai kopi Lampung. Teh juga mengalami nasib yang sama. Daun teh petikan dari Pagaralam tak pernah dibuka identitasnya. Padahal, diakui baik teh maupun kopi dari kota ini memiliki aroma yang khas karena tempat penanamannya yang unik: di lereng Gunung Dempo di bagian timur. Konon, dengan mendapatkan kualitas penyinaran yang bagus akibat tanaman menghadap ke timur, aroma spesial pun muncul pada biji kopi dan daun teh.

Di masa mendatang Pagaralam akan diarahkan menjadi kota berbasis pertanian, perdagangan, dan pariwisata. Namun, bukan berarti sektor sekunder boleh dilupakan. Pengolahan berarti memperbesar nilai tambah sehingga melambungkan keuntungan. Pemrosesan hasil panen akan meningkatkan nilai kegiatan ekonomi kota. Selama ini, industri yang tumbuh hanya industri kecil yang mengolah hasil hutan. Sampai 2002, ada 30 industri rotan di Kecamatan Dempo Selatan dan 12 industri pulun yang menghasilkan tikar di Kecamatan Pagaralam Utara.

Pengelolaan yang profesional dibutuhkan bila ingin pariwisata menjadi andalan. Gunung Dempo setinggi 3.159 meter di atas permukaan laut adalah bagian utama wisata di Pagaralam. Panorama alam, patung- patung batu besar, danau, air terjun, dan rumah-rumah tradisional Pasemah berhubungan dengan keberadaan gunung di bagian barat kota. Sementara itu, pusat kota berada di utara yang lahannya lebih landai dibandingkan dengan bagian lain yang umumnya berkemiringan lebih dari 40 derajat. Ruang terbuka hijau masih luas karena penduduk cenderung berkumpul di daerah dekat jalan raya dan berlereng rendah.

Proporsi untuk pengeluaran rutin daerah juga layak mendapat perhatian. Sebagai kota baru, Pagaralam butuh banyak pengembangan kualitas dan kuantitas aparat sehingga anggaran untuk aparatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan keperluan pembangunan sektor lainnya. Sebagian besar pendapatan asli daerah tersedot untuk membiayai aparat.

Dengan demikian, tak salah bila pemerintah kota harus memberikan pelayanan terbaik bagi warganya yang telah membayar pajak dan retribusi daerah.

Ratna Sri Widyastuti Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kota Pagaralam

·

Banyak Unggulan, Belum Ada Andalan



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS