Rubrik
Jawa Tengah
Berita Utama
Inspirasi
Finansial
Olahraga
Dikbud
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Liputan Lebaran
Berita Yang lalu
Jendela
Pustakaloka
Fokus
Dana Kemanusiaan
Teknologi Informasi
Rumah
Audio Visual
Otonomi
Furnitur
Agroindustri
Pendidikan
Bingkai
Pixel
Wisata
Ekonomi Internasional
Teropong
Ilmu Pengetahuan
Pergelaran
Sorotan
Bentara
Kesehatan
Otomotif
Didaktika
Bahari
Pendidikan Luar Negeri
Pendidikan Dalam Negeri
Investasi & Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Telekomunikasi
Perbankan
Esai Foto
Makanan dan Minuman
Properti
Swara
Muda
Musik
Ekonomi Rakyat
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Selasa, 11 November 2003

Kota Batu

KOTA apel. Julukan itu telah lama melekat pada kota yang resmi berdiri dua tahun lalu. Apel khas produksi dataran yang berada di ketinggian tak kurang dari 600 meter di atas permukaan laut serta dikelilingi banyak gunung, antara lain Gunung Panderman, Gunung Banyak, Gunung Welirang, dan Gunung Bokong, tersebut puluhan tahun menjadi andalan hasil pertanian Kota Batu.

NAMUN, beberapa tahun belakangan ini apel batu yang memiliki empat varietas-manalagi, romebeauty, anna, dan wangling-tak lagi dapat diunggulkan menjadi primadona. Selain terjadi penurunan produksi antara 0,8 hingga 2,1 persen tiga tahun terakhir, apel batu juga harus bersaing dengan apel- apel impor dari Amerika, Australia, dan Selandia Baru yang deras membanjiri pasar.

Beban terberat dari persaingan pasar bebas tersebut ditanggung petani, terutama di Kecamatan Bumiaji, sentra penghasil apel terbesar di Kota Batu dengan 2.186.075 pohon. Di samping bersaing dengan produk luar, para petani yang rata- rata memiliki lahan 0,25 sampai tiga hektar di kecamatan ini juga menghadapi kesulitan dana karena harga obat-obatan untuk memacu produksi apel sangat mahal. Sementara itu, apel produksi mereka yang berkisar 2,5 hingga tiga ton per 0,25 hektar lahan hanya dihargai Rp 2.500-Rp 3.000 per kilogram -tergantung pada besarnya buah-penampung yang kemudian menyalurkan apel-apel itu ke berbagai kota di Pulau Jawa, seperti Jakarta dan Semarang.

Namun, apel hanyalah salah satu tumpuan ekonomi riil masyarakat Kota Batu. Selain apel, Batu menghasilkan berbagai jenis buah lain, seperti jeruk, avokad, nangka, dan pisang. Memang dibandingkan dengan tanaman pangan, tanaman perkebunan lebih menonjol hasilnya. Hal ini terjadi seperti di Kecamatan Bumiaji yang produktif menghasilkan bermacam-macam buah-buahan, juga menjadi sentra produksi jeruk keprok batu, jeruk keprok punten, dan jeruk manis. Dengan nilai produksi 23.152 ton dari 24.205 pohon, jeruk-jeruk batu tersebut didistribusikan ke Surabaya, Bali, dan Jakarta.

Di samping pendistribusian dalam bentuk buah langsung ke luar daerah, beberapa produksi buah-buahan di Batu juga sudah diolah. Apel, misalnya, sudah diolah menjadi jenang, wingko, sirup, keripik, selai, sampai minuman brem dan sari apel. Begitu pula nangka dan kentang diolah menjadi keripik. Namun, industri olahan di Kota Batu masih terbilang sedikit, tak sampai 25 perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan hasil pertanian.

Sementara untuk seluruh Kota Batu tercatat sekitar 55 perusahaan formal, termasuk industri rumahan yang beroperasi mengolah berbagai komoditas, mulai dari produk pertanian hingga industri pengawetan, pengemasan, dan pengalengan makanan. Padahal, Kota Batu dengan kekayaan hasil bumi yang terkandung di dalamnya, produksi buah-buahan, sayurmayur, hingga berbagai jenis bunga yang tengah dikembangkan di Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, dan Desa Punten, Kecamatan Bumiaji, membuka peluang bisnis yang cukup luas untuk berbagai jenis industri dan jasa.

Berbeda dengan kabupaten atau kota di Pulau Jawa umumnya yang banyak bersandar pada sektor pertanian, Kota Batu justru bersandar pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebagai penyangga sekitar 45 persen kegiatan ekonomi daerah. Keindahan alam dan berbagai tempat tujuan wisata di sekitar Batu menjadi komoditas ekonomi yang mampu menyedot pemasukan tersendiri. Sekitar 24 obyek wisata resmi, mulai dari bumi perkemahan, pemandian air dingin dan panas, agrowisata, hingga wisata dirgantara (paralayang) yang tersebar di tiga kecamatan menghadirkan puluhan ribu wisatawan lokal dan mancanegara setiap bulan.

Tentu pemasukan utama bukanlah dari tanda masuk obyek wisata, tetapi lebih pada sektor akomodasi yang menjadi pendukung utama sektor pariwisata tersebut. Saat ini Kota Batu memiliki 64 tempat penginapan resmi berupa losmen, hotel, maupun vila, dengan 159 rumah makan. Terbukti, dalam pendapatan daerah sampai Oktober 2003, pajak hotel dan restoran menyumbang 55,3 persen dari keseluruhan pajak daerah.

Sebagai kota baru dengan lahan tanah yang sebagian besar berupa hutan, Batu sedang giat membangun. Dalam usia kedua, penggunaan tanah untuk kawasan permukiman masih sangat kecil. Tercatat, peruntukan tanah bagi pemukiman adalah 14,9 kilometer persegi atau sekitar 7,5 persen dari luas wilayah Batu yang merupakan kota dengan luas kedua terbesar di Jawa Timur setelah Kota Surabaya. Tak heran realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2002 cukup banyak-13,8 persen-tersedot ke sektor pembangunan daerah dan permukiman.

Sektor transportasi juga mendapat porsi cukup besar dalam APBD 2002. Sekitar 11,9 persen belanja rutin pembangunan dialokasikan untuk pembangunan sektor yang relatif vital bagi pengembangan Kota Batu. Memang jalan utama menuju Batu selebar kurang lebih empat meter saat ini merupakan "warisan" ketika kota itu masih tergabung dalam wilayah Kabupaten Malang. Untuk pengembangan prasarana jalan, Pemerintah Kota Batu berencana melebarkan jalan menjadi sembilan meter dan membuat jalan lingkar (outer ring road) selatan dari Kecamatan Junrejo ke Kecamatan Batu sepanjang 12 kilometer melewati Desa Tlekung. Menyusul akan dibangun outer ring road utara.

Meskipun dalam realisasi APBD 2002 tertera alokasi belanja pembangunan 66,5 persen dari keseluruhan anggaran, bukan berarti belanja untuk aparatur pemerintahan berkurang. Sebab, sektor aparatur pemerintah dan pengawasan mengambil hampir separuh anggaran belanja pembangunan. Kota Batu, seperti halnya banyak daerah lain, ternyata masih lebih banyak menghabiskan anggaran belanja untuk keperluan aparat ketimbang pembangunan masyarakat. Jika Wali Kota Batu beserta jajaran aparatnya tak segera memprioritaskan penggunaan anggaran untuk belanja pembangunan, niscaya pembangunan Kota Batu yang membutuhkan biaya tidak sedikit tersebut akan tertatih- tatih.

Nurul Fatchiati/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kota Batu

·

Bersolek Menjadi Agropolitan



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS