Rubrik
Jawa Tengah
Berita Utama
Inspirasi
Finansial
Olahraga
Dikbud
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Liputan Lebaran
Berita Yang lalu
Jendela
Pustakaloka
Fokus
Dana Kemanusiaan
Teknologi Informasi
Rumah
Audio Visual
Otonomi
Furnitur
Agroindustri
Didaktika
Telekomunikasi
Teropong
Ekonomi Internasional
Wisata
Bentara
Bingkai
Pixel
Ilmu Pengetahuan
Pergelaran
Sorotan
Otomotif
Ekonomi Rakyat
Kesehatan
Pendidikan
Bahari
Pendidikan Luar Negeri
Pendidikan Dalam Negeri
Investasi & Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Perbankan
Esai Foto
Makanan dan Minuman
Properti
Swara
Muda
Musik
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Rabu, 03 Desember 2003

Kabupaten Kutai Barat

BAGAIKAN anak ayam kehilangan induknya. Begitulah gambaran masyarakat Desa Tutung Jaya, Kecamatan Linggang Bigung, menjelang tahun 2004. Selama 12 tahun, kegiatan ekonomi mereka bergantung pada kegiatan penambangan emas PT Kelian Equatorial Mining (PT KEM), namun pada 2004 nanti PT KEM harus mengakhiri kontrak karyanya di Kutai Barat.

MEMANG tidak semua masyarakat berprofesi sebagai penambang. Sekitar 60 persen bermata pencarian di sektor pertanian tanaman pangan. Tetapi, kehadiran PT KEM sedikit banyak menghidupkan perekonomian Linggang Bigung. Hasil pertanian dan peternakan masyarakat ditampung oleh PT KEM. Selanjutnya digunakan memasok kebutuhan pangan karyawan KEM. Perputaran uang yang cepat di sekitar daerah pertambangan membuat sebagian masyarakat menangkap peluang yang ada. Mereka menjadi penyuplai barang-barang yang dibutuhkan karyawan KEM.

Sebenarnya tidak hanya masyarakat Linggang Bigung yang diuntungkan dengan keberadaan PT KEM. Kabupaten Kutai Barat juga mendapat keuntungan. Pendapatan daerah ikut terdongkrak. Bagi hasil bukan pada pajak sumber daya alamnya, tapi pada realisasi anggaran 2002 yang menyumbang Rp 221 miliar. Belum lagi pendapatan asli daerah (PAD), 36 persen pajaknya merupakan pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C.

Pertambangan mendominasi kegiatan ekonomi Kutai Barat. Pada 2001, pertambangan memberi kontribusi Rp 825 miliar. Pertambangan tidak hanya emas. Masih ada pertambangan perak dan batubara, namun produksinya cenderung turun. Tahun 2001, produksi batubara sebesar 2,06 juta ton, menurun 84 persen dari tahun sebelumnya. Begitu juga produksi tahun 2002 yang 726.000 ton.

Sebenarnya Kutai Barat tidak hanya terdiri atas tambang emas, perak, atau batubara. Masih ada sektor primer lain yang berpotensi untuk dikembangkan. Lihat saja kegiatan ekonomi pertanian. Pada 2001 pertanian memberi kontribusi Rp 421 miliar dan menjadi sektor andalan kedua.

Pertanian kabupaten yang bermoto Tanai Purai Ngeriman yang artinya tanah subur makmur melimpah ruah ini masih mengandalkan kehutanan. Tahun 2001 lapangan usaha yang didukung 2,9 juta hektar hutan (93,5 persen luas wilayah) ini menyumbang Rp 243 miliar atau 60 persen dari total kegiatan pertanian. Kayu bulat yang dihasilkan adalah meranti, keruing, kapur, bangkirai, nyatah, ulin, dan agathis. Sayang, produksi kayu bulat tahun 2001 hanya 303.768 m³, turun 16 persen dari tahun sebelumnya.

Tidak hanya kayu bulat yang terkandung di hutan Kutai Barat. Masih ada hasil hutan ikutan lain seperti rotan dan sarang burung walet. Masyarakat Dayak yang bermukim di sekitar hutan memanfaatkan rotan sebagai alat-alat rumah tangga. Namun, barang-barang dari rotan tersebut hanya untuk konsumsi sendiri. Belum menjadi komoditas perdagangan yang bernilai tinggi.

Sarang burung walet banyak dihasilkan di Kecamatan Long Apari dan Long Pahangai. Sarang burung yang mempunyai nilai ekonomis tinggi ini banyak terdapat di gua-gua. Produksi per tahunnya adalah 6,5 ton yang dipanen 2-3 bulan sekali. Akan tetapi, hasilnya belum optimal karena dikelola secara tradisional.

Pengelolaan potensi hutan yang cukup luas tersebut diserahkan kepada hak pengusahaan hutan (HPH). Izin HPH yang dikeluarkan menteri kehutanan ini sebagian besar ada yang berumur lebih 30 tahun. Dan sudah beroperasi sebelum kabupaten ini memisahkan diri dari Kabupaten Kutai Kartanegara. Sampai tahun 2002, tercatat 12 HPH yang aktif.

Emas hijau Kutai Barat juga memberi kontribusi besar pada PAD. Sebanyak 46 persen disumbang oleh retribusi yang didominasi retribusi hasil hutan. Bahkan, retribusi ini mengangkat PAD Kutai Barat mencapai Rp 35 miliar pada realisasi anggaran 2002. Ini melebihi total PAD kabupaten induknya.

Sayang potensi yang melimpah tersebut tidak ditunjang oleh keberadaan industri pengolahan kayu. Banyak kayu bulat yang diangkut keluar wilayah. Pemrosesan menjadi barang jadi di Samarinda, Balikpapan, atau kota-kota lainnya. Tetapi masih ada kayu yang diolah di Kutai Barat, meski hanya menjadi barang-barang setengah jadi. Kayu olahan tersebut diproses di industri sawmill di pinggir Sungai Mahakam.

Meski hampir seluruhnya areal hutan, kabupaten yang berbatasan dengan Malaysia ini menyisakan wilayahnya untuk areal perkebunan seluas 2.845 hektar. Karet sebagai komoditas andalan perkebunan memberikan produksi cukup besar se-Kalimantan Timur. Tahun 2001, produksi getah karet 8.406 ton. Hampir semua kecamatan memiliki kebun karet, kecuali Long Pahangai dan Linggang Bigung. Dua kecamatan ini wilayahnya didominasi daerah pertambangan dan hutan.

Pertanian tanaman pangan meski tidak bisa mengandalkan padi, tanaman hortikultura buah berpotensi besar. Durian Kutai Barat dengan varietas ligit dan mawar menjadi varietas unggulan nasional. Produksi tahun 2002 mencapai 19.594 ton. Buah berduri ini menjadi bahan baku lempok yang diolah di Samarinda. Selain itu, petani Barong Tongkok mengembangkan tanaman nanas dan hasilnya dijadikan keripik Nanas.

Kutai Barat, empat tahun lalu memisahkan diri dari Kutai Kartanegara. Layaknya daerah baru, pembangunan, terutama fasilitas umum, terus dilakukan. Realisasi anggaran belanja pembangunan tahun 2002, 21 persen untuk sektor pembangunan daerah dan permukiman. Hal ini yang membuat sektor bangunan memberi kontribusi Rp 207 miliar pada kegiatan ekonomi tahun 2001.

Selain itu juga masalah transportasi. Belum semua wilayah terjangkau transportasi darat, seperti kecamatan Long Pahangai dan Long Apari yang hanya bisa dijangkau transportasi sungai dan udara. Kualitas jalannya juga cukup buruk. Dari 685,21 km panjang jalan, hanya 7 persen yang diaspal. Dengan demikian, 25 persen belanja pembangunan juga untuk sektor transportasi, khususnya peningkatan jalan dan jembatan.

M Puteri Rosalina/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Kutai Barat

·

Ladang Emas Kalimantan Timur



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS