Rubrik
Finansial
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Opini
Olahraga
Jawa Tengah
Humaniora
Politik & Hukum
Berita Yang lalu
Pustakaloka
Swara
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Fokus
Jendela
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Dana Kemanusiaan
Properti
Muda
Pergelaran
Didaktika
Teropong
Ekonomi Rakyat
Telekomunikasi
Wisata
Sorotan
Pendidikan
Makanan dan Minuman
Esai Foto
Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Kesehatan
Bahari
Ekonomi Internasional
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Bentara
Pendidikan Luar Negeri
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Rabu, 28 Januari 2004

Kota Bau-Bau

SEJAUH-jauh kapal berlayar, berlabuh juga akhirnya. Bagi wilayah kepulauan, keberadaan pelabuhan yang menjadi sasaran berlabuhnya kapal-kapal besar ikut memutar roda perekonomian daerah. Seperti Pelabuhan Bau-Bau, bagi Kota Bau-Bau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, merupakan ujung tombak kehidupan masyarakatnya.

PELABUHAN BauBau merupakan satu di antara beberapa pelabuhan andalan Sulawesi Tenggara (Sultra). Letak yang strategis merupakan kelebihannya dibandingkan dengan pelabuhan lainnya di provinsi ini. Ada yang menyebut pelabuhan ini merupakan simpul bagi pelayaran Nusantara, tempat singgah kapal dari Indonesia bagian timur dan Indonesia bagian barat. Tidak salah bila pelabuhan ini dijadikan pelabuhan transit bagi banyak penumpang.

Bagi Sultra, Bau-Bau juga merupakan salah satu pintu perdagangan antarpulau, antarprovinsi, dan ekspor-impor. Dari sini kapal-kapal niaga hasil bumi provinsi diperdagangkan dan barang-barang dari luar Sultra didatangkan. Aktivitas perdagangan inilah yang menghidupkan Bau-Bau. Irama bongkar dan muat komoditas ke perut kapal menjadi napas kehidupan wilayah ini.

Tidak mengherankan bila sebagian besar penduduk Bau-Bau menggantungkan hidup pada sektor perdagangan maupun jasa. Data Sensus Penduduk (SP) tahun 2000 menunjukkan dari 36.579 penduduk yang bekerja tercatat 27,5 persen menggeluti bidang jasa, 20,3 persen terjun ke perdagangan, dan 5 persen di jasa angkutan. Sementara yang menekuni pertanian 18,9 persen.

Setidaknya ada dua dari empat kecamatan dengan penduduk bermatapencarian dominan di sektor pertanian tanaman pangan, yaitu Sorowalio (68 persen), kecamatan yang tidak berbatasan dengan laut, dan Bungi (58 persen). Dua kecamatan yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor perdagangan dan jasa adalah Wolio (52 persen) dan Betoambari (56 persen). Betoambari dan Wolio merupakan kecamatan dengan penduduk terbanyak bekerja di bidang perikanan, masing-masing 7,1 persen dan 6,6 persen.

Menaklukkan samudra memperdagangkan barang dari satu pulau/provinsi ke pulau/provinsi lain bagi masyarakat Bau-Bau sudah menjadi naluri mereka. Jiwa bahari suku Buton yang merupakan mayoritas wilayah ini (82 persen) terkenal ulet dalam berniaga. Hampir seluruh pelabuhan di Nusantara mereka jelajahi.

Dari empat kecamatan di Bau-Bau, Wolio merupakan kecamatan dengan tingkat kemajemukan masyarakat terbesar. Di sana hidup empat etnis, dengan Buton yang terbesar (77 persen), diikuti Bugis (6 persen), Muna (6 persen), dan Jawa (2 persen). Kecamatan Bungi yang berbatasan dengan Kabupaten Buton juga mencatat kemajemukan masyarakat dengan suku Buton mayoritas (75 persen) dan suku Bugis (3 persen). Di sana berdiam 18 persen penduduk asal suku Bali dengan konsentrasi permukiman di Desa Ngkari-Ngkari (94 persen) dan Kampeonaho (23 persen).

Jalur perniagaan suku Buton bahkan menembus ke mancanegara, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Cina. Semuanya dilakukan untuk berdagang. Tidak salah bila ada yang menyebut Kota Bau-Bau hidup karena perdagangan.

Produk domestik regional bruto (PDRB) tahun 2002 juga menunjukkan lapangan usaha perdagangan, hotel, dan rumah makan memberi sumbangan terbesar bagi perekonomian Bau-Bau. Kontribusinya Rp 101,6 miliar, atau 24,7 persen dari total perekonomian Rp 411,3 miliar. Namun, perannya menurun dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 26,4 persen total perekonomian.

Kapal yang lego jangkar di Bau-Bau sepanjang tahun 2002 sebanyak 5.139 buah. Terdiri dari 4.090 pelayaran nasional, 981 pelayaran rakyat, dan 68 pelayaran khusus. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya jumlah tersebut mengalami penurunan cukup tajam. Tahun 2001 pelabuhan ini dikunjungi 6.610 kapal. Pelayaran nasional 5.186, dan sisanya pelayaran rakyat dan khusus.

Tahun 2001 volume komoditas yang diperdagangkan melalui Pelabuhan Bau-Bau mendekati lima juta ton. Tahun berikutnya merosot menjadi 4,1 juta ton dengan nilai Rp 6,8 miliar. Apakah turunnya peran sektor perdagangan terkait dengan berkurangnya kapal yang singgah di Pelabuhan Bau-Bau?

Komoditas yang diperdagangkan meliputi hasil bumi dan laut. Komoditas perkebunan daerah ini adalah kopra, mete, kakao, cengkeh, kemiri, asam, dan pinang biji. Komoditas perikanan di antaranya agar-agar, teri, dan ikan kayu. Sementara dari pertanian kacang tanah dan bawang merah menempati urutan tertinggi. Sapi dan kulit sapi mendominasi sektor peternakan. Hasil dari kehutanan rotan asalan.

Meskipun secara keseluruhan jumlah kapal yang mampir ke Bau-Bau menurun, kunjungan kapal feri meningkat. Dari 1.455 kapal di tahun 2001 menjadi 1.482 kapal di tahun 2002. Rata-rata per hari empat kapal feri merapat di kota ini.

Dari penumpang yang naik-turun kapal feri dapat dilihat meningkatnya mobilitas penduduk Kota Bau-Bau. Tahun 2001 terdapat 46.221 penumpang naik, dan tahun 2002 meningkat menjadi 56.176. Sebaliknya, yang turun dari 45.870 menjadi 65.861 penumpang.

Mobilitas penduduk dan aktivitas perdagangan mendorong tumbuhnya sektor-sektor lain. Tiga sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi di tahun 2002 adalah jasa (21,13 persen), keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (9,27 persen), disusul perdagangan, hotel, dan restoran (9,21 persen).

Penerbangan swasta kini mulai menyentuh Bau-Bau. Bandara Betoambari sejak dibangun tahun 1976 berfungsi sebagai bandara perintis. Setelah sempat telantar dan nyaris tidak dipakai, tahun 2001 landasan bandara ditingkatkan. Akhir tahun 2003 sebuah penerbangan swasta menyinggahi bandara ini dengan pesawat yang berkapasitas 54 tempat duduk. Paling tidak tiga kali seminggu ada pesawat yang datang dan pergi di Betoambari.

Bau-Bau kini sudah terbuka dari udara. Keinginan menjadi pintu gerbang pariwisata bagi obyek pariwisata di pulau-pulau Kabupaten Buton sudah terlaksana. Tersedianya angkutan cepat ini akan memungkinkan wisatawan menikmati keindahan Taman Laut Nasional Wakatobi di Kepulauan Tukang Besi yang masuk wilayah Kabupaten Buton.

Tak hanya Kabupaten Buton yang sangat berkepentingan dengan adanya bandara ini. Bagi Bau-Bau singgahnya wisatawan akan ikut menggerakkan perekonomian. Terbukanya pintu udara adalah langkah awal. Masih banyak kerja ekstra yang dituntut untuk membuat wilayah ini didatangi wisatawan, terutama akomodasi seperti hotel dan sektor pendukung lainnya.

FX Sriyadi Adhisumarta Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kota Bau-Bau

·

Kota Dagang dan Jasa



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS