Rubrik
Berita Utama
Finansial
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Opini
Olahraga
Pemilihan Umum 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Jawa Barat
Berita Yang lalu
Pustakaloka
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Fokus
Jendela
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Dana Kemanusiaan
Esai Foto
Swara
Sorotan
Pergelaran
Ekonomi Internasional
Wisata
Properti
Telekomunikasi
Teropong
Interior
Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Ekonomi Rakyat
Pendidikan
Didaktika
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Bentara
Kesehatan
Makanan dan Minuman
Bahari
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Selasa, 16 Maret 2004

Kabupaten Belitung Timur

UNDANG-Undang Nomor 5 Tahun 2003 memunculkan babak baru di Pulau Belitung. Kalau sebelumnya seluruh pulau menjadi wilayah Kabupaten Belitung, kini dimekarkan menjadi Belitung dan Belitung Timur. Keduanya mewarisi cerukan-cerukan bekas penambangan timah yang populer disebut kolong.

TIGA BELAS tahun lalu, 29 April 1991, Unit Penambangan Timah Belitung resmi ditutup oleh PT Timah. Timah, hasil tambang yang menjadi penggerak perekonomian Belitung pada waktu itu dan juga andalan ekspor Indonesia, kehilangan pamornya. Selain cadangan yang menipis, biaya produksi dibanding harga jual tidak lagi menguntungkan.

Penambangan kekayaan perut bumi Belitung dimulai tahun 1852 oleh perusahaan Belanda, Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton. Seperti halnya tambang timah di Bangka, para pekerja tambang di Belitung didatangkan dari Cina. Pekerja tambang ini dikenal dengan sebutan Cina Parit. Mereka miskin, namun ulet bekerja. Dalam perjalanan waktu, banyak di antara buruh tambang ini yang berhasil secara ekonomis dan membuka usaha perdagangan.

Gemerlapnya timah Belitung mengundang suku-suku lain, seperti Jawa, Bugis, Madura, dan Minang, datang mengadu keberuntungan di pulau ini. Suku bangsa Tionghoa di Belitung Timur menurut data sensus penduduk tahun 2000 sekitar 4,7 persen dari jumlah penduduk 81.103 jiwa. Meskipun kecil dalam jumlah, pengaruh di masyarakat ternyata cukup kuat. Bahkan banyak penduduk yang mampu berkomunikasi lewat bahasa Cina dengan dialek Hakka, yang dipakai oleh para pekerja tambang. Jangan heran kalau datang ke sana sering terdengar sapaan "Nyong pen, ho mo?" yang diucapkan oleh penduduk bukan Tionghoa. Sapaan itu berarti "Apa kabar?"

Zaman keemasan timah sudah berlalu. Namun, ke depan pertambangan masih tetap menjadi harapan perekonomian wilayah ini. Hampir di seluruh isi perut bumi Belitung Timur (Beltim) terdapat kandungan kaolin, pasir kuarsa, tanah liat, pasir bangunan, dan timah yang masih ditambang oleh penduduk setempat.

Kaolin merupakan bahan baku membuat porselin dan bahan campuran untuk membuat kain tenun, kertas, karet, dan obat-obatan. Adapun pasir kuarsa dapat digunakan untuk bahan baku berbagai industri, misalnya gelas kaca, keramik, dan pengecoran logam. Pasir ini pun bisa untuk pupuk.

Meskipun PT Timah menghentikan penambangan, timah tetap menjadi salah satu mata pencaharian penduduk. Pertambangan yang dikelola rakyat setempat maupun penambang liar masih bisa membuat berita. Biasanya hasil penambangan dijual ke PT Timah. Namun, bila harga timah di Singapura lebih tinggi dibanding harga PT Timah, barang tambang ini diselundupkan ke sana.

Timah, kaolin, pasir kuarsa, tanah liat, dan pasir bangunan yang digali dari perut bumi suatu waktu akan habis dan tidak bisa diperbarui. Lain halnya dengan perkebunan dan perikanan yang sangat berpeluang dikembangkan. Karena itulah Beltim mengundang investor menanam modal di perkebunan dan perikanan yang dijadikan tumpuan perekonomian masa datang.

Perkebunan di Beltim beberapa di antaranya adalah lada, kelapa, kelapa sawit, cokelat, dan kopi. Di sektor inilah menurut Sensus Penduduk 2000, 12.080 jiwa terlibat di dalamnya. Jumlah tersebut 36 persen dari penduduk yang bekerja. Produksi andalan adalah lada serta kelapa sawit.

Tahun 2002 perkebunan rakyat lada putih Beltim 4.248 hektar, menghasilkan 2.075 ton. Umur tanaman lada 12 hingga 15 tahun. Panen pertama pada umur tiga tahun setelah ditanam. Produktivitasnya akan meningkat hingga umur 9-10 tahun, sebelum menua dan perlu diganti tanaman baru. Lada diekspor langsung ke Singapura dan Cina melalui Pangkal Pinang dan Jakarta.

Biji lada yang tidak layak ekspor dijadikan tepung untuk konsumsi rumah tangga, restoran, dan pedagang makanan kaki lima. Tepung lada putih Beltim mampu bersaing dengan tepung lada hitam Lampung. Perkebunan yang menghasilkan biji lada yang pedas rasanya ini pada tahun 2002 menjadi gantungan hidup 5.365 rumah tangga.

Seperti halnya lada, kelapa sawit selama ini ditanam di seluruh Pulau Belitung, termasuk di kecamatan yang kini menjadi wilayah Beltim. Sewaktu Kabupaten Belitung belum dimekarkan tahun 2001 terdapat 43.073 hektar perkebunan kelapa sawit dengan produksi 399.479 ton. Satu tahun kemudian produksinya meningkat hampir dua kali lipat, menjadi 604.035 ton.

Di seluruh Pulau Belitung tersedia lahan untuk kelapa sawit 105.000 hektar. Areal itu bila ditanami akan mampu menghasilkan 500.000 ton minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Minyak kelapa sawit itu bisa diolah lagi menjadi fatty acid dan glycerol yang sangat diminati negara-negara Eropa, Amerika, dan Jepang. Di Kecamatan Kelapa Kampit, Beltim, berdiri pabrik pengolahan kelapa sawit. Hasil olahan dalam bentuk CPO sebagian besar dikirim ke Jakarta.

Laut Natuna, Selat Karimata, dan juga Laut Jawa yang mengelilingi Beltim pada tahun 2002 menghasilkan 24.530 ton ikan basah senilai Rp 116 miliar. Ikan hasil tangkapan 6.824 nelayan tersebut seperti kerapu, ikan karang, udang windu, dan kakap merah merupakan komoditas yang laku di pasaran mancanegara dalam bentuk beku maupun masih hidup. Adapun jenis ikan yang diolah menjadi ikan asin adalah cumi-cumi, kembung, japuk, laisi, teri, dan tongkol. Negara tujuan ekspor di antaranya Malaysia, Singapura, dan Taiwan.

Besarnya potensi perikanan di Beltim dan potensi pasar dalam dan luar negeri membuka peluang bagi para pengusaha menanam modal di sana. Kebutuhan cold storage, pabrik es, dan pengalengan ikan merupakan peluang yang menjanjikan. Bahkan dari ikan tersebut bisa diolah lagi menjadi tepung ikan, abon ikan, kerupuk, dan ikan asin yang masih dibutuhkan pasar.

Beltim yang PDRB per kapitanya Rp 7,8 juta bisa dicapai melalui udara dan laut. Dari Palembang tersedia penerbangan Sriwijaya Air dan dari Jakarta pesawat Merpati setiap hari mendarat di Bandar Udara Hanandjoeddin di Belitung. Memakai kapal cepat dari Jakarta membutuhkan waktu enam jam.

Beltim dan juga Pulau Belitung yang dulu terkenal dengan tambang timahnya bisa menjadi permenungan bagi kabupaten lain yang sekarang dikaruniai kekayaan hasil tambang. Sebesar-besarnya hasil tambang yang dikandung di daerahnya suatu saat akan habis tergali.

FX Sriyadi Adhisumarta/ Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Belitung Timur

·

Menunggu Nilai Tambah Tambang



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS