Rubrik
Berita Utama
Finansial
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Opini
Olahraga
Pemilihan Umum 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Jawa Barat
Berita Yang lalu
Pustakaloka
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Fokus
Jendela
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Dana Kemanusiaan
Esai Foto
Swara
Sorotan
Pergelaran
Ekonomi Internasional
Wisata
Properti
Telekomunikasi
Teropong
Interior
Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Ekonomi Rakyat
Pendidikan
Didaktika
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Bentara
Kesehatan
Makanan dan Minuman
Bahari
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Rabu, 24 Maret 2004

Kabupaten Lamandau

SEPARUH penduduknya berpendidikan rendah, tak lebih dari sekolah menengah pertama. Sekitar 13 persen berpenghasilan pas-pasan, bahkan malah sangat kekurangan. Mereka tersebar di seluruh wilayah, tak terkecuali di Kecamatan Bulik, pusat pemerintahan kabupaten.

ITULAH Lamandau, satu di antara 14 daerah otonom di Provinsi Kalimantan Tengah. Kondisi serba minus tersebut tidak mengherankan, mengingat di awal kelahirannya, 2 Juli 2002, hanya ada satu unit sekolah menengah umum (SMU) untuk memenuhi kebutuhan penduduk di tiga kecamatan. Selebihnya adalah sekolah menengah pertama 14 unit, termasuk di dalamnya satu madrasah tsanawiyah, dan 106 unit SD serta sebuah madrasah ibtidaiyah.

Lantaran itulah pemerintah kabupaten menempatkan pendidikan di urutan pertama dalam mengembangkan daerahnya. Keseriusan tersebut diwujudkan dalam bentuk pembangunan sarana pendidikan berupa empat gedung SMU dan satu sekolah kejuruan di bidang pertanian yang berhasil dibangun dua tahun kemudian.

Dunia kesehatan menjadi perhatian kedua setelah pendidikan. Pasalnya, cikal bakal Nanga Bulik sebagai ibu kota kabupaten adalah sebuah kecamatan yang hanya memiliki puskesmas untuk melayani kebutuhan masyarakat. Agar mereka mendapat pelayanan lebih baik, puskesmas dilengkapi fasilitas hingga menjadi rumah sakit tipe D.

Lamandau tetap maju sebagai daerah otonom meski dilihat dari sumber daya manusia wilayah ini bukan apa-apa. Tetapi, di balik nada pesimis yang muncul, tersimpan potensi besar di setiap jengkal tanahnya.

Tegakan kayu di sana-sini dipayungi dedaunan lebat di setiap tangkainya adalah pemandangan lumrah di atas bumi Lamandau. Aneka jenis pepohonan, seperti meranti, agatis, ramin, hingga keruing adalah deretan jenis-jenis kayu yang berdiri rapi di dalamnya. Ada pula hasil hutan lain, seperti getah jelutung, rotan, dan gaharu. Diperkirakan 65 persen hingga 70 persen total produksi hutan Kabupaten Kotawaringin Barat, induknya dulu, disumbang oleh daerah ini.

Kegiatan ekonomi Lamandau tahun 2002 yang mencapai Rp 376,7 miliar, 32 persen berasal dari hasil hutan. Emas hijau itulah yang digadang-gadang sebagai modal menghadapi era otonomi daerah. Dari seluruh potensi, baru 50 persen yang dimanfaatkan.

Menghadapi penebang liar adalah konsekuensi lain sebagai daerah pemilik kawasan hutan yang luas. Pemerintah kabupaten tak berdaya menghadapi mereka yang beraksi selama ini. Akibatnya, tak jarang rakitan kayu gelondongan bermetermeter panjangnya lewat begitu saja di depan mata. Kurangnya kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengawasi pengelolaan hutan dianggap sebagai penyebab masalah.

Di samping hutan, kelapa sawit adalah aset lain yang tak kalah berharga. Hasil tanaman keras ini turut memperbesar sumbangan perkebunan terhadap kegiatan ekonomi daerah yang besarnya mencapai 28 persen dari total.

Hingga tahun 2002, luas lahan sawit mencapai 22.675 hektar. Lokasinya di dua tempat, yaitu 84 persen di Kecamatan Bulik dan sisanya di Kecamatan Lamandau. Buah yang dipetik mencapai 110.232 ton dan melibatkan 4.267 petani.

Di sektor perkebunan, karet adalah yang terbesar kedua setelah kelapa sawit. Getah tanaman ini pun turut menghidupi banyak keluarga petani. Oleh 1.318 petani yang menggarapnya dihasilkan tak kurang dari 2.181 ton getah karet. Jumlah tersebut merupakan sadapan pohon yang ditanam di atas areal 3.838 hektar. Kecamatan Delang merupakan daerah terluas yang ditanami pohon karet, yaitu 60 persen dari keseluruhan. Lada, kelapa, kopi, cengkeh, kakao, aren, jambu mete, dan jahe adalah komoditas lain yang turut dibudidayakan di daerah ini meskipun hasilnya tidak banyak.

Lamandau bukan sama sekali tak menghasilkan tanaman pangan. Berbagai jenis tumbuhan, seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai, dan kacang hijau, juga dibudidayakan di daerah ini. Tetapi, produksinya masih jauh dari memuaskan. Padi, misalnya. Dari 9.000 hektar luas panen yang digarap petani hanya dihasilkan kurang dari dua ton per hektar. Akibatnya, kebutuhan pangan harus dipenuhi dari komoditas lain, seperti jagung dan ubi, yang produksinya 365 ton dan 1.650 ton. Kekurangannya terpaksa didatangkan dari kabupaten induk, Kotawaringin Barat, atau dari daerah lain di Pulau Jawa.

Sektor lainnya yang berpeluang untuk dikembangkan adalah peternakan. Sebelum berpisah dari Kotawaringin Barat, tiga kecamatan yang tergabung di dalamnya merupakan pemasok hasil peternakan di wilayah tersebut. Populasi ternak sapi, misalnya, merupakan 30,6 persen dari keseluruhan. Tahun 2002 jumlahnya 1.838 ekor. Kecamatan Bulik tercatat sebagai penghasil terbesar, yaitu 848 ekor. Sisanya terbagi di dua kecamatan lainnya. Jumlah daging yang dihasilkan dari ketiga kecamatan adalah 71.686 kilogram. Di samping itu ada pula ternak lainnya yang banyak dikembangbiakkan, seperti kambing, domba, babi, unggas, dan kelinci.

Dalam hal sarana dan prasarana transportasi, penghuni kabupaten ini tidak melulu harus mengandalkan sungai. Lamandau, sungai sepanjang 300 kilometer dan lebar 200 meter yang melintasi daerah ini, bukan satu-satunya sarana untuk berkunjung dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari 82 desa yang ada, 90 persen sudah dihubungkan oleh jalan darat yang panjangnya mencapai 400 kilometer. Sayangnya, karena belum beraspal, musim menjadi penentu bisa tidaknya jalan-jalan di kabupaten ini dilalui. Mau tidak mau sungai tetap menjadi pilihan utama di saat musim hujan tiba.

Terjamah listrik adalah kebutuhan lainnya yang dirasa cukup mendesak. Pemenuhan listrik yang baru mencapai lima persen menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Jika harapan itu segera terwujud, akan habislah gelap dan terbitlah terang di bumi Lamandau.

Nila Kirana/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Lamandau

·

Perjuangan Mencari Lamandau



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS