Rubrik
Berita Utama
Finansial
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Opini
Olahraga
Pemilihan Umum 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Jawa Barat
Berita Yang lalu
Pustakaloka
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Fokus
Jendela
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Dana Kemanusiaan
Esai Foto
Swara
Sorotan
Pergelaran
Ekonomi Internasional
Wisata
Properti
Telekomunikasi
Teropong
Interior
Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Ekonomi Rakyat
Pendidikan
Didaktika
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Bentara
Kesehatan
Makanan dan Minuman
Bahari
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Selasa, 30 Maret 2004

Kabupaten Rote Ndao

"ROTE Ndao berada di ujung paling selatan Indonesia. Pantainya amat bersih dan punya pesona kombinasi pecahan gulungan ombak yang istimewa. Tempat ini merupakan surga tropis yang tak pernah tersentuh dan ’tercemar’ oleh turisme. (Pantai) Nembrala adalah yang terbaik untuk surfing (selancar), juga Bo’a dan Do’o." Sanjungan dari salah satu situs selancar di Internet itu menceritakan tiga pantai terkenal di Rote, (Rote) Barat Daya, dan Barat Laut yang dikenal peselancar kelas dunia.

ROTE. Sangat mungkin pulau ini hanya dikenal sebagai bagian dari Kupang dengan kekhasan budidaya lontar, wisata alam pantai, musik sasando, dan topi adat Ti’i Langga-nya. Sekarang, ia memiliki "gelar" sebagai kabupaten melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002.

Terdiri atas 96 pulau-enam berpenghuni-wilayah ini beriklim kering yang dipengaruhi angin muson dan musim hujan relatif pendek (3-4 bulan). Bagian utara dan selatan berupa pantai dengan dataran rendah, sementara bagian tengah merupakan lembah dan perbukitan. Dari Kupang, ibu kota Provinsi NTT, daerah ini bisa dicapai dengan angkutan laut maupun pesawat terbang. Lalu lintas barang dan jasa umumnya mengandalkan kapal penyeberangan (feri) yang setiap hari melayani rute Kupang-Baa sekitar empat jam. Rute lain, seperti Makassar dan Surabaya, dilayani oleh perahu dan kapal motor dari pelabuhan rakyat (Pelra), seperti Papela (Rote Timur), Oelaba (Rote Barat Laut), Batutua (Rote Barat Daya), dan Ndao (Pulau Ndao). Jalur udara sampai sekarang hanya seminggu sekali.

Sepintas daerah ini terkesan tidak subur. Pertanian menjadi napas sehari-hari ekonomi Rote Ndao yang nilai keseluruhannya Rp 213,2 miliar pada tahun 2002. Peran tanaman pangan 18,22 persen dari total pertanian yang menyumbang setengah kegiatan ekonomi, sementara peternakan 17,48 persen dan perikanan 12,22 persen. Dari 53.986 orang usia 15 tahun ke atas yang bekerja, mereka yang berkegiatan di pertanian tanaman pangan paling tinggi (62,46 persen)-terutama di Lobalain dan Rote Barat Laut- sedang perikanan 5,74 persen dan peternakan 2,14 persen.

Luas lahan sekitar 53.797 hektar, 13.000 di antaranya sawah irigasi untuk padi gogo rancah. Produksi per hektar 4-5 ton atau rata-rata 23.697 ton per tahun. Di luar padi, tanaman yang cukup penting nilainya adalah kacang tanah biji besar yang berkadar kolesterol rendah, bawang merah, semangka, lombok, jagung, dan sorgum. Sebagian besar dihasilkan di Rote Barat Daya, Barat Laut, Timur, dan Pantai Baru.

Komoditas lain yang terkenal adalah lontar, kelapa, dan jambu mete. Dengan lahan sekitar 82.000 hektar, dihasilkan gula rata-rata 200 ton per tahun. Penduduk biasanya mengolah nira lontar menjadi gula lempeng, gula semut, gula air, dan sopi. Sopi adalah minuman khas Rote Ndao yang merupakan fermentasi nira dan mengandung alkohol tinggi. Jika diolah lebih lanjut, hasilnya bisa dipakai alkohol medik.

Di balik keterpencilannya, daerah ini punya lahan penggembalaan ternak. Sampai sekarang padang penggembalaan yang dimanfaatkan 20.512 hektar atau sekitar 16 persen dari luas wilayah. Ini belum termasuk 40.000-an hektar lahan tidur yang bisa dipakai untuk kegiatan itu. Sebagian besar merupakan padang rumput alam, terutama jenis andropogon, sedang pada lahan tidur merupakan rumput alam dan lahan kering dengan vegetasi semak belukar.

Sapi, kerbau, dan kuda banyak diternakkan di Rote Timur, Tengah, dan Barat Laut. Adapun kambing, domba, babi, dan unggas-ayam dan itik- lebih merata di seluruh kecamatan. Sampai tahun lalu, populasi sapi 19.277 ekor, kerbau 10.524 ekor, dan kuda 4.095 ekor. Ketiganya menjadi komoditas yang dijual ke Jakarta dan Makassar melalui Kupang. Hingga Februari 2004, "ekspor" sapi potong 1.336 ekor, kerbau 1.000 ekor, dan kuda 350 ekor. Untuk pasar Jawa, kuda diperlukan untuk hewan penarik, sedang di Makassar sebagai kuda beban di daerah yang belum terjangkau transportasi darat.

Sebagai daerah peternakan, keperluan daging pasar lokal sudah terpenuhi. Sebelum lepas dari kabupaten induk, daerah ini merupakan penghasil tingkat provinsi. Walau bukan yang utama, Rote Ndao bisa bersaing bersama kabupaten lain, seperti Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Ngada, Manggarai, Sumba Barat, dan Sumba Timur.

Beternak merupakan tradisi orang Rote sejak dulu. Sistem pemeliharaan pun masih tradisional, dilepas bebas di alam terbuka dan dikandangkan kalau ada keperluan. Yang jelas, ternak merupakan status sosial. Makin banyak memiliki ternak, berarti si empunya makin kaya.

Komoditas ternak rupanya mengalami sejumlah masalah. Selain pola pemeliharaan, kondisi alam membuat suplai pakan dan air-terutama musim kemarau-sangat kurang. Umumnya sungai ada di bagian yang rendah. Debit air di musim kemarau amat kecil, bahkan banyak yang kering karena daerah tangkapan air (hulu) sungai tidak berhutan.

Kendala lainnya adalah penyakit hewan dan terbatasnya sarana angkutan. Penyakit septihemia epizootica (SE) yang menyerang sapi dan kerbau menimbulkan kerugian yang tidak kecil. Satu ekor terkena SE berarti rugi sekitar Rp 2,5 juta! Begitu juga hog cholera pada babi, seekor bernilai Rp 1,5 juta. Yang terakhir ini bisa memusnahkan babi satu desa dalam beberapa hari. Soal angkutan, karena banyak jalan yang belum diaspal, biaya transportasi dari kecamatan ke pelabuhan menjadi tinggi. Di sisi lain, angkutan laut (untuk ternak) ke Kupang hanya feri. Selain itu, pencurian, modal peternak yang terbatas, dan ancaman rumput belalang serta acasia nilotika (yang mematikan rumput alam) juga menjadi masalah.

Walau begitu, peluang tetap ada. Misalnya, permintaan pasar cukup tinggi, pembibitan dan penggemukan intensif -pada sapi, kerbau, kuda, dan kambing-serta pengembangan ternak kambing perah untuk produksi susu. Di samping meningkatkan gizi masyarakat, hewan pengembik ini dikawin silang agar menghasilkan jenis campuran, sekaligus memperbaiki mutu genetik jenis lokal. Peluang lainnya adalah pengolahan hasil ternak berupa dendeng dan abon sapi atau kerbau serta hasil ikutan tulang untuk kancing plus kulit (sepatu).

Krishna P Panolih Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Rote Ndao

·

Geliat Masyarakat Berbudaya Lontar



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS