Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Barat
Humaniora
Politik & Hukum
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Makanan dan Minuman
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Fokus
Esai Foto
Sorotan
Swara
Ekonomi Internasional
Didaktika
Wisata
Properti
Telekomunikasi
Interior
Ekonomi Rakyat
Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Bentara
Kesehatan
Pergelaran
Teropong
Pendidikan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Kamis, 22 April 2004

Kota Banjar

JAWA Barat merupakan satu-satunya provinsi di Jawa yang wilayahnya banyak mengalami pemekaran. Pada tahun 2000, wilayah Banten yang terdiri atas Kabupaten Tangerang, Serang, Pandeglang, Lebak, Kota Tangerang, dan Kota Cilegon memisahkan diri menjadi Provinsi Banten. Tiga tahun kemudian, Banjar memisahkan diri dari Kabupaten Ciamis.

SEBENARNYA, kota yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah (Jateng) ini menyandang predikat kota administratif (kotif) sejak tahun 1992. Sekitar tahun 1970- 1990, wilayah di jalur lalu lintas Jabar-Jateng dan kawasan wisata Pangandaran ini berkembang menjadi kota transit. Jalur jalan ke Ciamis bagian selatan dan Jateng bagian barat kondisinya tidak baik sehingga rute transportasi dari Jakarta ke Jabar bagian timur dan dari Jateng ke Jakarta selalu berhenti di Terminal Banjar. Stasiun Kereta Api (KA) Banjar juga merupakan tempat perlintasan jalur KA Jakarta-Kroya dan Bandung-Surabaya. Juga melayani trayek KA Galuh jurusan Banjar-Jakarta.

Selain sebagai kota transit, Banjar juga dikenal sebagai kota perdagangan di wilayah perbatasan. Masyarakat Cisaga, Banjarsari, Lakbok, Pamarican, di Kabupaten Ciamis yang berbatasan dengan Banjar selalu membelanjakan uangnya ke Pasar Banjar. Begitu juga masyarakat Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap. Faktor aksesibilitas membuat masyarakat di perbatasan belanja ke Banjar.

Sayang, semua kelebihan dan potensi saat menjadi kotif dan menjadi bagian dari Ciamis justru sirna saat Banjar berubah status menjadi kota otonom. Perlahan-lahan gelar sebagai kota transit luntur. Dimulai sekitar tahun 1990-an, saat pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan membuka trayek bus Pangandaran-Bandung dan Pangandaran-Jakarta. Terminal Banjar kemudian mati suri dan hanya sebagai tempat perlintasan. Terminal dengan luas 19.650 meter persegi>res<>res< ini adalah tipe A dan saat ini hanya memberangkatkan sekitar 30 bus setiap hari. Padahal, dulu terminal di Kecamatan Purwaharja ini sanggup memberangkatkan sekitar 350 bus setiap hari.

Tidak hanya itu, stasiun KA juga mengikuti jejak terminal bus. Bulan Februari 2002 PT Kereta Api Indonesia (PT KA) menghentikan operasi KA Galuh. Ditambah, PT Albasi Parahiangan berhenti menggunakan terminal peti kemas dan tidak menggunakan jalur KA untuk pemasaran produksinya. Otomatis stasiun KA menjadi sepi dan hanya sebagai tempat perlintasan KA Eksekutif Lohdaya dan Mutiara Selatan, serta KA Ekonomi Serayu I, Kertajaya Selatan, Pasundan, Serayu III, dan Kahuripan.

Matinya sektor transportasi lambat laun juga berpengaruh pada perdagangan. Saat menjadi tempat transit, orang selalu belanja ke pasar sekadar membeli oleh-oleh. Ditambah lagi saat pertokoan modern mulai dibangun di Kecamatan Ciamis, Kabupaten Ciamis. Pertokoan ini kemudian menjadi magnet kuat bagi masyarakat perbatasan yang ingin belanja.

Meski tidak mudah menjalankan fungsi kota transit, masih ada beberapa potensi yang bisa dikembangkan, seperti pertanian, kehutanan, dan industri kecil. Juga tidak tertutup kemungkinan memajukan kembali sektor perdagangan.

Sebenarnya perdagangan sangat potensial. Pada tahun 2002 lapangan usaha ini menduduki peringkat pertama kontribusi kegiatan ekonomi. Besarnya Rp 157 miliar. Sayang, belum ada investor besar yang mencoba menanam modal di usaha perdagangan. Selama ini pelaku perdagangan hanya masyarakat lokal. Hal ini yang membuat perdagangan di Banjar kalah oleh daerah sekitarnya.

Rencananya, pemerintah kota bekerja sama dengan swasta akan membangun pertokoan modern dan pasar grosir. Diharapkan segala jenis barang dari berbagai daerah di sekitarnya akan masuk ke Banjar, selanjutnya dipasarkan keluar wilayah. Cita-cita ini akan cepat terwujud jika fungsi Kota Banjar sebagai tempat transit dikembalikan.

Meski sudah menjadi kota, Banjar akan tetap mempertahankan pertanian. Lahan pertanian tersebar di sekeliling pusat kota di Desa Mekarsari dan Banjar, Kecamatan Banjar, serta Desa Hegarsari di Kecamatan Pataruman. Luas lahan pertanian dan perkebunan 58 persen dari keseluruhan luas Kota Banjar. Penduduk yang bermata pencarian sebagai petani sekitar 60 persen. Petani yang menggarap lahan tanaman pangan merupakan bagian terbesar. Namun, pada tahun 2002 pertanian memberi kontribusi Rp 128 miliar, atau 21 persen dari total kegiatan ekonomi

Unggulan pertanian, khususnya tanaman pangan, adalah rambutan dan beras organik. Rambutan sibatulawang dikembangkan di areal 450 hektar. Meski yang berproduksi sekitar 16 persen, rata-rata produksi lima ton per hektar. Beras organik merupakan impian Kota Banjar untuk mengupayakan intensifikasi tanaman padi yang ramah lingkungan. Saat ini padi organik diuji coba pada lahan 250 hektar. Rata-rata produksi per bulan 500 kilogram.

Lambat laun pertanian memang akan tergeser oleh kehadiran perdagangan, jasa, dan industri. Meski demikian, lahan sawah beririgasi teknis di Kecamatan Pataruman, Purwaharja, dan Langensari tetap dipertahankan. Petani juga kelak diberdayakan supaya tak sekadar menanam padi, tetapi juga berdagang hasil pertanian.

Kota kecil yang luasnya 114,31 kilometer persegi ini juga mempunyai hutan. Hutan di Kecamatan Pataruman dan Purwaharja menghasilkan kayu mahoni, jati, dan albasia. Luas areal hutan Banjar 867,62 hektar didominasi hutan albasia. Produksi albasia 9,4 juta meter kubik digunakan sebagai bahan baku PT Albasi Parahiangan.

Industri memang kurang berkembang di Banjar. Tidak ada industri besar yang dapat memicu peningkatan kegiatan ekonomi. Industri menengah tiga buah, di antaranya industri kayu PT Albasi Parahiangan dan industri nata de coco Wong Coco. Kedua industri tersebut menggunakan bahan baku dari lokal. Industri pun hanya mampu memberi sumbangan Rp 85 miliar atau sekitar 14 persen dari total kegiatan ekonomi.

Namun, jangan menganggap industri di Banjar tidak mempunyai kekuatan. Sebanyak 756 industri kecil cukup berpotensi. Industri batu bata merah dan genting menjadi urat nadi penghidupan sebagian masyarakat di Kecamatan Pataruman dan Langensari. Produksi genteng tidak kalah oleh genteng Sokka Kebumen. Juga industri pengolahan kayu. Selama ini industri berbahan baku kayu jati selalu menjadi "tangan kedua" pengolahan kayu.

M Puteri Rosalina/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kota Banjar

·

Membangunkan Daerah yang Tertidur



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS