Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Politik & Hukum
Jawa Barat
Humaniora
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Makanan dan Minuman
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Fokus
Esai Foto
Properti
Ekonomi Internasional
Swara
Wisata
Telekomunikasi
Interior
Ekonomi Rakyat
Sorotan
Teropong
Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Bentara
Pergelaran
Didaktika
Kesehatan
Pendidikan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Selasa, 04 Mei 2004

Kabupaten Murung Raya

TAK usah bingung pertama kali datang ke daerah ini bila tak ada yang menjemput. Pasukan ojek selalu siap mengantar penumpang yang turun dari pesawat di air-strip Dirung, Tanah Siang, maupun dari perahu di dermaga Puruk Cahu. Cuma, kalau dari Dirung ingin terus ke ibu kota kabupaten, berarti menempuh jalan aspal rusak berbukit-bukit sejauh 25 kilometer. Beda dengan dermaga di ibu kota sekaligus pusat kegiatan ekonomi.

ANGKUTAN sungai, speedboat (perahu motor cepat) ataupun bus air sampai sekarang sangat penting untuk daerah ini. Jauh sebelum adanya jaringan jalan darat, Murung Raya (Mura) hanya bisa dicapai melalui Sungai Barito dengan sejumlah anak sungainya. Sungai sepanjang 900 kilometer itu menjadi jalur utama lalu lintas (Puruk Cahu) ke Teluk Jolo (Sumber Barito) dan Muara Teweh (Kabupaten Barito Utara). Dengan perahu motor cepat kapasitas 18 penumpang, Muara Teweh bisa dicapai sekitar tiga jam dengan ongkos Rp 40.000. Adapun bus air, yang lebih banyak dimuati barang ketimbang penumpang, melayani rute ke Buntok (Kabupaten Barito Selatan), Muara Teweh, Banjarmasin, dan Palangkaraya.

Kabupaten berjarak 718 kilometer dari Palangkaraya, ibu kota provinsi, juga bisa ditempuh lewat darat sekitar 12 jam lebih. Sayangnya, untuk sementara pilihan ini bisa membuat pikiran murung. Selain banyak ruas jalan yang hancur, terutama setelah Km 54 (dari Puruk Cahu), rutenya pun harus melalui Banjarmasin, baru "kembali" ke Palangkaraya! Alternatif lain yang tampaknya mulai banyak diminati-dan disubsidi pemerintah kabupaten (pemkab)-adalah jalur penerbangan yang dilayani Dirgantara Air Service seminggu tiga kali dengan rute Palangkaraya-Puruk Cahu-Banjarmasin.

Dengan ketinggian 200-1.730 meter di atas permukaan laut (dpl), daerah ini boleh dibilang masih penuh hutan dengan kondisi tanah berbukit. Kekayaan alam ini terlihat paling dominan di Sumber Barito, kecamatan terluas di daerah paling hulu Sungai Barito, yang merupakan Pegunungan Muller.

Hutan menonjol dalam kegiatan ekonomi kabupaten. Dengan nilai kegiatan ekonomi Rp 69,2 miliar (2002), pertanian yang berbasis kehutanan berperan cukup dominan menyumbang 37,24 persen, sementara tanaman pangan 6,57 persen.

Realisasi produksi kayu dua tahun terakhir berdasarkan data rencana kerja tahunan (RKT) Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat mencapai volume 204.292 meter kubik (2002), serta 217.143 meter kubik setahun kemudian. Produksi ini adalah gabungan tebang pilih tanam Indonesia (TPTI), carry over, dan trace jalan limbah. Tahun 2003 terdapat produksi kayu bulat dengan volume 18.731 meter kubik serta kayu olahan 10,4 juta meter kubik. Hingga kini terdapat 13 pemegang hak pengusahaan hutan dan satu koperasi yang menggarap hasil hutan itu.

Sampai 31 Maret 2004, kontribusi pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) Rp 464,4 juta dan penerbitan dana reboisasi (DR) 156.106,17 dollar AS. Dengan catatan, masih ada tunggakan PSDH Rp 115,6 juta dan DR 41.754 dollar AS. Sayangnya, hasil hutan ikutan yang sebetulnya bernilai tinggi seperti rotan (anak, semambu, saga, sempurut dan manau), gubal gaharu, kemedangan, dan damar batu tidak terdata.

Andalan, tetapi juga ancaman. Inilah yang sedang dihadapi hutan Mura. Masalahnya, cukup banyak penduduk mengandalkan hutan, terutama dari penebangan liar (illegal logging). Pemkab terus berusaha mengurangi kegiatan itu, bahkan tahun depan akan dihentikan. Hanya saja, ini bakal menimbulkan dampak yang kini terlihat, yaitu maraknya penambangan tanpa izin (peti) emas, seperti terlihat di sepanjang pinggir Sungai Barito di Laung Tuhup. Kegiatan ini tak hanya berlangsung pada Daerah Aliran Sungai Barito, tetapi juga di daratan, tebing sungai, dan wilayah kontrak karya. Dampak buruk yang jelas mengancam keberadaan hutan, sungai, dan alam sekitarnya, antara lain pencemaran karena pemakaian air raksa dan percepatan pendangkalan di daerah hilir serta mengganggu arus transportasi sungai. Di sisi lain, Kalimantan Tengah terhitung salah satu penyedia bahan baku kayu nasional. Tahun ini, kuota produksi kayu Kalteng dialokasikan 1,1 juta meter kubik dari target nasional sekitar 5,4 juta meter kubik.

Problem lain adalah industri pengolahan kayu yang sebagian besar berada di luar kabupaten, yaitu Kalsel. Sementara itu, satu-satunya pengolahan kayu di kabupaten adalah pengupasan kulit kayu di Sumber Barito. Meski tak terkait langsung, keadaan itu masih ditambah program World Natural Heritage di hutan Pegunungan Muller yang didanai Perserikatan Bangsa- Bangsa. Dari total luas hutan sekitar 850.000 hektar, sebanyak 700.000 hektare ada di daerah ini. Hal ini menjadi tantangan serius bagi pemkab untuk menjaga kelestarian hutan di wilayahnya.

Komoditas lain yang bersaing dengan hasil hutan adalah pertambangan, terutama emas dan batu bara. Emas banyak terkonsentrasi di Permata Intan, Sumber Barito, dan terutama Murung. Batu bara, yang nyaris terdapat di semua kecamatan, digarap oleh 10 perusahaan.

Sebagai daerah pemekaran Kabupaten Barito Utara melalui Undang-Undang Nomor 5 pada 1 April 2002, prioritas pembangunan banyak terpusat pada penyediaan bangunan kantor pemkab maupun dinas- dinas. Semua ini berjalan di tengah ekonomi yang masih banyak bergantung pada Kalsel untuk penyediaan barang kebutuhan sehari-hari, termasuk pula beras. Walaupun menghasilkan padi ladang, jumlahnya sangat kecil. Hingga Maret 2004 produksinya 15,2 ton gabah kering giling (GKG) dari luas panen 7.543 hektar.

Komoditas pertanian lain yang bisa menjadi andalan adalah ubi kayu, kacang tanah, kacang panjang, cabai, terung, mentimun, dan durian.

Krishna P Panolih/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Murung Raya

·

Surganya Bumi Tambun Bungai



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS