Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Barat
Pemilihan Presiden 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Swara
Fokus
Perbankan
Interior
Makanan dan Minuman
Ekonomi Internasional
Properti
Sorotan
Kesehatan
Teropong
Ekonomi Rakyat
Bentara
Wisata
Telekomunikasi
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Esai Foto
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Pergelaran
Didaktika
Pendidikan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Rabu, 19 Mei 2004

Kabupaten Halmahera Timur

TERSEBUTLAH sebuah nama di bagian utara kabupaten, Subaim. Nama tempat sekaligus ibu kota Kecamatan Wasile ini tergolong daerah istimewa di Halmahera Timur. Membawahi sedikitnya delapan satuan permukiman penduduk, daerah ini menjadi sentra beras di kabupaten, bahkan mencakup Halmahera Tengah, kabupaten induknya dahulu.

OLEH transmigran asal Pulau Jawa yang masing-masing 1.000-2.000 orang setiap satuan permukiman (SP), wilayah tersebut digarap hingga menghasilkan padi 20.665 ton tahun 2002. Jumlah tersebut merupakan hasil tuaian di atas lahan panen 6.885 hektar.

Meski demikian, malang bagi kabupaten muda ini. Hasil panen tersebut tidak beredar di daerah sendiri, tetapi justru lari ke Tobelo di Kabupaten Halmahera Utara, tetangganya. Buat para petani, menyeberangi Teluk Kau selama dua jam dengan long boat, angkutan air bagi masyarakat setempat, lebih menguntungkan ketimbang harus ke Maba, ibu kota kabupatennya sendiri.

Pasalnya, bukan perkara mudah untuk berjalan menuju Maba. Satu-satunya jalan yang tersedia ke sana, sejauh 41 kilometer, belum layak dilewati. Dari total jalan yang dibuka, sepanjang 247 kilometer, baru 17 persen beraspal. Rute Subaim-Maba tidak termasuk di dalamnya.

Kabupaten yang otonom sejak 31 Mei 2003 ini memang belum memiliki sarana infrastruktur yang memadai. Ibarat sebentuk bangunan, Halmahera Timur belum kelihatan wujudnya. Semuanya serba darurat, mulai dari kantor pemerintah kabupaten (pemkab) yang masih mengontrak di rumah penduduk hingga kantor DPRD yang akan didirikan.

Demikian pula dengan sarana wilayah lainnya. Meskipun Sungai Sangaji, atau lebih populer disebut Ake Sangaji, mampu mengalirkan 6.000-7.000 liter air per detik, hingga kini rumah penduduk belum terjamah air bersih.

Listrik tak kalah langka dibandingkan dengan air bersih. Hanya sebagian Kecamatan Maba dan Wasile yang bisa menikmati fasilitas ini. Itu pun 12 jam per hari mulai pukul enam sore hingga enam pagi.

Berkomunikasi jarak jauh dengan penduduk Kabupaten Halmahera Timur merupakan perjuangan tersendiri. Hubungan antara satu daerah dengan daerah lain hanya bisa menggunakan telepon satelit yang kualitasnya sangat ditentukan oleh cuaca. Telepon kabel maupun nirkabkel sama sekali belum bisa difungsikan. Itu artinya siapa pun yang hendak mengunjungi Halmahera Timur harus siap kehilangan komunikasi dengan dunia luar.

Sebagai daerah agraris yang meliputi 41 desa, pertanian menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduknya. Mereka yang menggantungkan hidup dari hasil bercocok tanam jumlahnya 86 persen. Selain tanaman pangan, seperti padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, dan kacang kedelai, penduduk menanam pula sayur-sayuran, seperti cabe, terong, kacang panjang, dan bayam. Pisang, jeruk, pepaya, mangga, nangka, dan jambu adalah jenis buah-buahan yang mereka budidayakan, tetapi hasilnya masih terbatas.

Terhadap kegiatan ekonomi Halmahera Timur, lahan perkebunan yang digarap belum kelihatan perannya. Kecuali kelapa, beberapa komoditas lain yang dikembangkan, yakni jambu mete, cengkeh, pala, coklat, dan kopi, produksinya belum memuaskan.

Deretan nyiur yang memagari pesisir pantai Halmahera Timur sebagian besar bukan jenis hibrida, melainkan kelapa dalam. Meski banyak yang bisa dimanfaatkan dari tanaman kelapa, oleh masyarakat setempat hasilnya hanya dijual dalam bentuk kopra. Biasanya Tobelo dan Ternate menjadi tempat persinggahan sementara sebelum kopra dibawa ke Surabaya. Produksi kelapa dalam yang melibatkan 8.600 petani di hamparan tanah 10.124 hektar mencapai 11.500 ton.

Tahun 2002 realisasi pembelian atau penampungan produksi kopra nilainya hampir merata di setiap kecamatan. Totalnya Rp 1,8 miliar dengan Wasile sebagai pemanen terbesar, 35 persen dari 240 ton kopra yang dihasilkan kabupaten. Terhadap Halmahera Tengah, kabupaten induk, kelapa daerah ini merupakan seperempat dari total yang dihasilkan.

Tumbuhnya perekonomian kabupaten baru ini pun belum bisa berharap banyak dari hasil perikanan. Meski empat kecamatan berhadapan langsung dengan teluk dan lautan lepas dengan kelompok desa nelayan seperti Mabapura, Bicoli, Wayamli, Soakimalaha, Jarajara, Lolobata, dan Fayaul, produksi perairan belum mampu menggerakkan roda perekonomian rakyat. Padahal, Halmahera Timur terletak di Maluku Utara yang berpotensi besar menghasilkan berbagai jenis ikan pelagis atau ikan permukaan berukuran besar maupun kecil.

Dari seluruh kecamatan, hanya 5 persen penduduk yang berminat menggeluti lapangan usaha ini. Mereka melaut dengan peralatan yang sederhana, seperti pukat pantai, jaring insang, bagang perahu, pancing tonda, rawai, dan bubu. Perahu yang digunakan pun sebagian besar atau 80 persen dari 1.772 adalah perahu tanpa motor. Tuna dan teri adalah jenis ikan yang paling banyak diburu nelayan. Tetapi, jumlah tangkapannya belum tercatat dengan baik karena transaksi jual beli sering kali dilakukan langsung di atas kapal.

Di usia yang sangat muda, Halmahera Timur belum lengkap dengan berbagai sarana. Khususnya sektor perikanan, jangankan pabrik pengolahan lengkap dengan cold storage, tempat pelelangan ikan tak satu pun ditemui di sana. Semuanya masih dalam taraf persiapan.

Bagaimanapun, sektor pertanian-termasuk di dalamnya perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan-akan terus dikembangkan karena sifatnya yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat.

Sebaliknya dalam waktu dekat Halmahera Timur masih harus menggali kekayaan tambang. Tanpa melalui proses pengolahan lebih lanjut, galian tambang yang masih mentah langsung dikirim ke luar daerah. Oleh PT Aneka Tambang (Antam), dua kali seminggu, setidaknya 70.000-80.000 ton nikel diangkut ke Pomala di Sulawesi Tenggara, Jepang, Korea, dan Australia. Dari timbunan nikel itulah roda ekonomi daerah digerakkan. Ada tiga sumber tambang nikel Halmahera Timur. Dua di antaranya di Mabapura dan Buli sudah beroperasi. Sementara Pulau Pakal masih dalam rencana.

Meski cukup berarti terhadap produk domestik regional bruto, dunia pertambangan Halmahera Timur belum banyak mengikutsertakan penduduk setempat. Diperkirakan dari 6.400 tenaga kerja yang terlibat dalam usaha penambangan, 30 persen merupakan putra daerah. Masih sedikitnya lapangan usaha dalam menyerap tenaga kerja lokal diakibatkan oleh masalah pendidikan.

Nila Kirana/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Halmahera Timur

·

Kesunyian di Halmahera Timur



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS