Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Barat
Pemilihan Presiden 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Swara
Fokus
Perbankan
Interior
Makanan dan Minuman
Ekonomi Internasional
Properti
Sorotan
Kesehatan
Ekonomi Rakyat
Bentara
Telekomunikasi
Wisata
Teropong
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Esai Foto
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Pergelaran
Didaktika
Pendidikan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Selasa, 25 Mei 2004

Kabupaten Sarmi

SARMI, sepintas lalu kata tersebut seperti menunjuk nama seorang gadis, lembut dan sangat feminin. Padahal, kalau kata itu menunjuk pada wilayah otonom di Provinsi Papua, Kabupaten Sarmi, kesannya akan jauh berbeda. Di balik kata Sarmi tersirat pergulatan suku-suku bangsa yang hidup bersama alam dari Distrik Mamberamo Hilir hingga Distrik Bonggo.

SARMI sebenarnya lebih pas ditulis dengan huruf besar, SARMI, yang merupakan singkatan dari nama suku-suku besar, yakni Sobey, Armati, Rumbuai, Manirem, dan Isirawa. Keberadaan mereka telah lama menjadi perhatian antropolog Belanda, Van Vollen Hauven, yang kemudian memberikan nama Sarmi.

Singkatan Sarmi sebenarnya belum mencerminkan suku-suku di sana mengingat di wilayah ini terdapat 87 bahasa yang dipergunakan. Dari bahasa yang ada, paling tidak bisa disimpulkan setidaknya terdapat 87 suku, setiap suku punya bahasa sendiri-sendiri.

Sebelumnya, Sarmi lebih dikenal sebagai nama salah satu distrik, setingkat kecamatan, di Kabupaten Jayapura. UndangUndang Nomor 26 Tahun 2002 yang dikeluarkan tanggal 11 Desember 2002 memekarkan Kabupaten Jayapura menjadi tiga kabupaten, yaitu Jayapura, Keerom, dan Sarmi.

Wilayah Sarmi mencakup delapan distrik yang mewarisi wilayah 35.587 kilometer persegi. Luasnya hampir 58 persen dari luas Jayapura sebelum dimekarkan. Mayoritas penduduk menggantungkan hidup dari kemurahan alam. Hutan menyediakan kebutuhan mereka, seperti sagu. Makanan pokok sebagian besar penduduk ini tumbuh subur di hampir semua wilayah. Mereka tinggal memilih dan menebang tanpa harus menanam dan mengusahakan.

Penduduk Sarmi tahun 2003 sebanyak 43.223 jiwa. Kalau dibagi rata dengan luas wilayah, setiap kilometer persegi dihuni oleh satu orang. Karena itu, tidak mengherankan kalau penduduk tidak perlu berpikir mengolah tanah. Budaya yang muncul adalah budaya petik, bukan budaya tanam. Potensi lahan untuk tanaman bahan pangan dan hortikultura sedemikian luas. Paling tidak sekarang tersedia lahan 918.000 hektar. Baru 3.652 hektar atau 0,4 persen yang dimanfaatkan untuk pertanian. Sisanya masih merupakan lahan tidur.

Pengembangan komoditas pertanian, seperti padi, palawija, dan sayuran, masih dalam skala kecil untuk kebutuhan keluarga sendiri. Lahan yang sudah diolah dan menghasilkan tanaman bahan pangan terdapat di Distrik Bonggo. Hanya di distrik ini padi sudah dapat dituai hasilnya. Demikian juga produksi palawija sebagian besar dihasilkan di Bonggo.

Tahun 2003 dari Bonggo dihasilkan 6.356 ton padi, 315 ton jagung, 660 ton kedelai, 272 ton kacang tanah, dan 165 ton kacang hijau. Sementara dari ubi jalar dan ubi kayu 540 dan 512 ton. Tujuh distrik lain menyumbang 354 ton ubi jalar, 172 ton ubi kayu, 2 ton kacang hijau, 5 ton kacang tanah, dan 47 ton jagung.

Kebutuhan pokok sehari-hari penduduk Sarmi masih didatangkan dari Jayapura. Namun, karena miskinnya infrastruktur, terutama sarana jalan darat, komoditas tersebut diangkut dengan kapal laut. Perjalanan dari Jayapura memakan waktu 18 hingga 24 jam. Sarmi memang masih terpencil. Ketersediaan jalan darat menjadi kendala yang serius. Hampir 80 persen jaringan antardistrik tidak tersambung satu sama lain. Hubungan antarjalan yang ada dan tersedia adalah jalan-jalan setapak yang masih tradisional dan tidak dapat dilalui kendaraan bermotor. Masyarakat berharap tahun 2004 bakal terwujud jalan Jayapura-Sarmi sepanjang 360 kilometer meskipun baru berupa jalan tanah yang dikeraskan.

Komunikasi antardistrik masih menggunakan single side band (SSB), sedangkan komunikasi antarpenduduk bergantung pada surat-menyurat yang bisa memakan waktu berhari- hari. Parahnya infrastruktur ditambah minimnya sarana telekomunikasi membuat aktivitas pemerintahan daerah membutuhkan biaya yang tinggi.

Aktivitas pemerintahan di luar wilayah kabupaten maupun di dalam wilayah sering menggunakan transportasi udara. Karena itu, tidak mengherankan di kabupaten ini, menurut data Dinas Perhubungan Kabupaten Jayapura, terdapat 31 lapangan udara. Tiga di antaranya tidak aktif, sedangkan yang berlandasan aspal hanya Lapangan Udara Sarmi, sisanya cukup berlandasan rumput. Lapangan Udara Sarmi bisa dilandasi pesawat twin otter. Sulitnya menembus wilayah Sarmi lewat darat membuat ongkos angkut barang tidak kecil.

Komoditas yang menembus pasar luar daerah adalah kakao dan kelapa dalam bentuk kopra. Hasil jerih payah swadaya petani ini dikirim ke Surabaya dan Makassar. Kakao saat ini per kilogram dihargai Rp 9.000-Rp 10.000. Sementara hasil ternak petani, terutama sapi dan babi, di samping kebutuhan lokal juga diminati pasar Jayapura.

Keberadaan empat perusahaan hak pengusahaan hutan yang diusahakan oleh pemodal dari Indonesia, Malaysia, Korea, dan Singapura bagi Pemerintah Kabupaten Sarmi membantu membuka lapangan kerja bagi penduduk. Mereka pula yang dianggap membantu membuka jalan darat. Kayu gelondongan dari perusahaan ini dikirim ke Surabaya, China, Jepang, Singapura, Malaysia, dan Korea.

Kabupaten yang dilewati 14 sungai ini, dengan Sungai Mamberamo yang merupakan terbesar kedua di Indonesia setelah Sungai Musi, mengharapkan datangnya investor yang mampu membuka lapangan kerja guna perbaikan ekonomi penduduk. Lahan pertanian, perkebunan, pertambangan, dan kelautan belum diolah, bahkan boleh dibilang belum tersentuh pengelolaan modern.

Modal pengharapan mereka bukannya tanpa dasar. Setidaknya di dalam perut bumi Sarmi terdapat bijih besi yang kalau dieksploitasi bisa menghasilkan 60.000 ton pasir besi setiap bulan. Pemodal gabungan dari Indonesia, Singapura, Thailand, dan Myanmar kini serius menambang kekayaan alam yang membentang sepanjang 95 kilometer dari Mamberamo hingga Bonggo ini. Kabarnya pertambangan bijih ini akan mampu menyerap sekitar 15.000 tenaga kerja. Menurut survei dari Kanada, di Distrik Pantai Barat, Pantai Timur, dan Mamberamo Hilir terdapat kandungan minyak bumi.

Laut yang bersinggungan dengan enam dari delapan distrik di Sarmi juga menyimpan kekayaan tersendiri. Sayangnya, ikan-ikan di sana masih sering dicuri oleh nelayan-nelayan asing yang mempunyai peralatan modern, sedangkan nelayan- nelayan lokal masih mengandalkan peralatan tradisional. Kabupaten yang memiliki 62 SD, 10 SMP, dan 2 SMA pada tahun 2002 ini masih kekurangan sumber daya manusia yang andal dan terdidik. Kesehariannya masih kental diwarnai budaya dan adat istiadat setempat. Setiap suku sangat menghargai hak-hak ulayat satu sama lain. Para investor jauh-jauh hari mempersiapkan diri untuk tidak merugikan hak-hak ulayat yang menjadi hak suku-suku di Sarmi.

FX Sriyadi Adhisumarta/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Sarmi

·

Potensi Kelapa Belum Mendapat Tempat



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS