Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Barat
Pemilihan Presiden 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Swara
Fokus
Perbankan
Interior
Makanan dan Minuman
Ekonomi Internasional
Properti
Sorotan
Kesehatan
Ekonomi Rakyat
Bentara
Telekomunikasi
Wisata
Teropong
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Esai Foto
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Pergelaran
Didaktika
Pendidikan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Rabu, 26 Mei 2004

Kabupaten Keerom

KETIKA otonomi daerah bergulir pada tahun 2001, perlahan namun pasti muncul provinsi, kota, dan kabupaten baru. Tidak jarang hanya sedikit atau bahkan tidak ada literatur mengenai daerah-daerah baru itu. Wajar saja. Membereskan tata pemerintahan menjadi hal pertama yang dilakukan dibandingkan dengan membuat profil daerah. Pembuatan data dan informasi, misalnya, yang berisi letak geografi, logo, dan potensi wilayah, menjadi urutan kesekian untuk diselesaikan.

SALAH satu kabupaten yang minim informasi adalah Keerom. Bila memasukkan "keerom" dalam mesin pencari di internet, sekitar 700 data muncul di layar komputer. Sebagian besar merujuk pada tempat di Afrika Selatan. Sekitar 20 data, mengacu pada nama daerah baru itu.

Keerom terletak di sebelah timur Kabupaten Jayapura. Kelima distrik yang masuk wilayah Keerom-Arso, Waris, Senggi, Skamto, dan Web-semula bagian Kabupaten Jayapura. Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002, Kabupaten Jayapura yang luasnya 61.493 kilometer persegi, atau 14,82 persen dari luas Provinsi Papua, dimekarkan menjadi tiga daerah. Ketiga daerah itu: Kabupaten Jayapura dengan ibu kota Jayapura, Kabupaten Sarmi dengan ibu kota Sarmi, dan Kabupaten Keerom dengan ibu kota Waris, namun sampai saat ini aktivitas pemerintahan dipusatkan di Arso. Setelah terbagi tiga, posisi Jayapura sebagai perbatasan antara Indonesia dan Papua Niugini digantikan oleh Keerom.

Saat masih menjadi bagian Kabupaten Jayapura, kelima distrik yang kini berinduk ke Kabupaten Keerom merupakan wilayah pengembangan III. Ketika itu, Kabupaten Jayapura dibagi menjadi lima wilayah pengembangan. Sebagai wilayah pengembangan III, Arso, Waris, Senggi, Skamto, dan Web antara lain diprioritaskan menjadi daerah transmigrasi, daerah pertanian tanaman pangan serta perkebunan. Meski kini berganti induk, daerah itu tetap akan dikembangkan seperti direncanakan.

Para transmigran bermukim di Distrik Arso, Senggi, dan Skamto. Mereka sebagian besar berasal dari Jawa. Ada juga dari Madura dan Nusa Tenggara Timur. Para pendatang itu umumnya memiliki keterampilan bertani. Mereka kemudian memperkenalkan sistem pertanian kepada penduduk asli.

Dari lima distrik, Arso dikenal sebagai penghasil sayur-mayur. Distrik ini menghasilkan 2.165 ton sayuran seperti tomat, sawi, dan kol dari luas panen 245 hektar. Selain sayuran, juga dihasilkan buah-buahan, umumnya salak dan jeruk. Luas lahan buah-buahan sekitar 300 hektar menghasilkan sedikitnya 2.000 ton buah. Hasil pertanian ini selain untuk konsumsi domestik juga untuk memenuhi konsumsi masyarakat Kabupaten dan Kota Jayapura. Umumnya hasil pertanian Keerom dijual ke Pasar Abepura di Kabupaten Jayapura.

Pertanian merupakan tonggak utama perekonomian Keerom. Tahun 2002, kontribusi sektor ini 50,14 persen dari total produk domestik regional bruto yang nilainya Rp 62,6 miliar. Sektor pertanian menyerap 77,37 persen tenaga kerja. Jika ditelisik lebih lanjut, 60,33 persen tenaga kerja menggantungkan hidup pada subsektor pertanian tanaman pangan, subsektor perkebunan sekitar 15 persen. Sisanya memilih usaha perikanan dan peternakan.

Komoditas unggulan perkebunan adalah kelapa sawit dan kakao. Letak Keerom pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut cocok untuk kelapa sawit dan kakao. Distrik Arso dan Skamto menjadi sentra tanaman perkebunan itu.

Penanaman kelapa sawit di Arso dimulai sekitar tahun 1985. Saat itu 3.500 rumah tangga peserta transmigran pola perkebunan inti rakyat (PIR) berdatangan. Para transmigran menempati Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) di Arso, sekitar 60 kilometer dari Jayapura. Mereka bertindak selaku pengusaha dan mengelola perkebunan kelapa sawit di lahan sekitar 7.000 hektar.

Kini, terdapat 7.790 hektar areal penanaman kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit menyerap 10.052 rumah tangga petani. Namun tidak semua lahan yang ditanami itu menghasilkan. Luas lahan tanaman menghasilkan (TM) 4.626 hektar, sisanya lahan tanaman belum menghasilkan (TBM). Dari luas lahan TM diproduksi 94.435 ton kelapa sawit.

Pada saat panen, kelapa sawit dikirim ke pabrik pengolah sawit milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Setelah diolah menjadi setengah minyak sawit mentah, dikirim ke Kota Bitung, Sulawesi Utara, untuk diolah menjadi minyak kelapa sawit. Pengiriman dilakukan melalui pelabuhan di Jayapura.

Selain kelapa sawit, tanaman perkebunan yang menjadi unggulan adalah kakao. Benihnya dari kebun benih bibit kakao di Jember, Jawa Timur. Luas lahan kakao sekitar 1.708 hektar. Lapangan usaha di perkebunan kakao menyerap 1.525 rumah tangga petani. Dari luas lahan keseluruhan, lahan TM 615 hektar menghasilkan 603 ton.

Umumnya petani menjual kakao langsung ke pedagang pengumpul yang datang ke kebun-kebun mereka pada waktu panen. Kakao dijual dalam bentuk biji atau sudah dikupas. Harga kakao basah Rp 2.000-Rp 3.000, sedangkan kakao kering Rp 8.000-Rp 9.000 per kilogram. Oleh para pedagang pengumpul, kakao dipasarkan ke Makassar dan Surabaya.

Meski lahan kabupaten ini bisa menjadi pilar perekonomian, tak urung infrastruktur yang minim menjadi penghambat kemajuan. Sebagian besar jalan dalam keadaan rusak, beberapa jembatan penghubung juga tidak berfungsi, listrik dan telepon sangat terbatas.

Panjang jalan di kabupaten ini 724 kilometer. Di antaranya 359 kilometer menjadi tanggung jawab kabupaten. Dari panjang ruas jalan itu, yang berpermukaan aspal 47 kilometer. Jalan itu terdapat di Distrik Arso dan Skamto. Jalan lain, 277 kilometer, berpermukaan kerikil. Sisanya jalan tanah.

Kondisi jalan seperti itu mengakibatkan biaya transportasi tinggi. Satu kali perjalanan dari Abepura di Jayapura ke Distrik Waris, Web, atau Senggi sekitar 220 kilometer menghabiskan biaya Rp 1,8 juta. Biaya itu untuk menyewa kendaraan gardan ganda. Hanya kendaraan seperti itu yang mampu melalui jalan-jalan di Keerom, terutama bila hujan. Pilihan transportasi lain bila cuaca bagus adalah ojek dan mobil angkutan sejenis Kijang yang disebut taksi. Ojek terutama beredar di daerah transmigrasi. Jika menggunakan ojek sebagai penghubung antardistrik, biayanya sekitar Rp 200.000.

Selain kondisi jalan memprihatinkan, beberapa jembatan penghubung rusak atau putus. Jembatan itu terdapat antara lain di Waris, Web, dan Senggi. Kerusakan dan putusnya jembatan mengakibatkan beberapa dusun di distrik itu nyaris terisolasi. Tidak berfungsinya jembatan antara lain karena bencana alam, atau karena pergeseran tanah penopang akibat rembesan air sungai.

Sebagian besar penduduk di ibu kota distrik, apalagi di dusun-dusun, belum menikmati aliran listrik. PT Perusahaan Listrik Negara yang beroperasi di Papua mulai tahun 1972 baru memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di kota-kota besar Provinsi Papua.

BE JULIANERY/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Keerom

·

Membangun Masyarakat Perbatasan



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS