Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Barat
Humaniora
Pemilihan Presiden 2004
Politik & Hukum
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Makanan dan Minuman
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Fokus
Esai Foto
Ekonomi Internasional
Wisata
Swara
Interior
Sorotan
Kesehatan
Ekonomi Rakyat
Bentara
Telekomunikasi
Properti
Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Pergelaran
Didaktika
Teropong
Pendidikan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Selasa, 01 Juni 2004

Kabupaten Yahukimo

YAHUKIMO. Rasa-rasanya nama ini masih amat asing terdengar. Tetapi, jika menyebut Kurima dan Anggruk, bisa jadi lebih dikenal. Keduanya kerap menjadi persinggahan wisata petualangan bagi mereka yang hobi trekking (jalan jarak jauh dengan berbagai rintangan) di Papua. Ini terlihat dari biro-biro perjalanan yang menawarkan tur dengan judul eksotis, Spectacular Kurima Trekking, Anggruk Adventure, atau Papua Spectacular Kurima Trekking. Tur-tur ini biasanya dimulai dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, dengan obyek wisata yang paling banyak "dijual" adalah alam Lembah Baliem berikut kehidupan orang Dani.

TERNYATA, Yahukimo adalah salah satu "bayi" pemekaran Kabupaten Jayawijaya yang namanya mengambil dari empat nama suku yang bermukim di sana, yaitu Yali, Hubla, Kimyal, dan Momuna. Ia ditetapkan menurut Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2002 dan diresmikan setahun kemudian pada 12 April. Meski sudah berumur setahun, daerah ini masih bergelayut pada induknya dan belum bisa berdiri sendiri di tanah kelahirannya.

Yahukimo beriklim tropis basah dengan topografi bervariasi, dari berbukit-bukit hingga pegunungan dan dataran rendah di ketinggian 100-3.500 meter di atas permukaan laut (dpl).

Sekitar 60 persen wilayahnya merupakan pegunungan dan sisanya lembah atau dataran. Selain itu 90 persen tanahnya merupakan hutan! Dengan kepadatan penduduk enam orang per kilometer persegi, tak berlebihan kalau Yahukimo belum banyak "tersentuh" segala urusan yang berkaitan dengan hiruk-pikuknya sebuah kabupaten. Sumohai, ibu kota resmi menurut UU No 26/2002, rupanya masih berselimutkan hutan belukar! Saking rapatnya pepohonan di sana sampai- sampai terkesan sulit melihat langit.

Memang bukan cuma faktor alam dan hutan yang jadi masalah. Penetapan tiga distrik, termasuk 90 desa dan satu kelurahan, sarana dan prasarana yang serba terbatas, banyaknya penduduk yang masih tinggal di lereng dan daerah terpencil, plus ketergantungan pada angkutan udara membuat pemerintah kabupaten (pemkab) sulit memberi pelayanan kepada masyarakat. Supaya bisa lebih "menjangkau" masyarakat, sejak tahun 2003 pemkab memekarkan lagi empat distrik dan membentuk 27 pos perwakilan.

Menghadapi kondisi itu, kegiatan pembangunan harus dimulai dari titik nol. Artinya memulai segala sesuatu benar-benar dari nol! Dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2004 Rp 110 miliar, salah satu kegiatan untuk Sumohai di tahun ini adalah menyusun rencana umum tata ruang kota (RUTRK), membangun lapangan terbang, jalan lingkungan sepanjang enam kilometer, dan pembersihan lokasi untuk kantor dan perumahan pemkab. Untuk pekerjaan besar ini, diperlukan helikopter dari Ukraina guna mengangkut alat-alat berat ke "kota" itu. Rencananya akhir bulan ini helikopter itu akan datang.

Dengan pusat pemerintahan sementara di Wamena, ibu kota kini berada di pos perwakilan Dekai. Dari pos ini juga direncanakan pembuatan ruas jalan Dekai-Muruku-Logpon (tempat penampungan kayu) sepanjang 20 kilometer. Sementara di Muruku terdapat Sungai Brasa yang dapat dimanfaatkan sebagai akses transportasi hingga ke Logpon dan Merauke. Yang jelas, sampai sekarang, sarana perhubungan ke Yahukimo masih mengandalkan pesawat udara yang biayanya cukup mahal.

Di balik alam hutan yang "tak tersentuh" itu, ekonomi Yahukimo ditopang oleh pertanian, terutama tanaman pangan (54,65 persen). Penduduk usia 15 tahun ke atas hampir 90 persen terserap dalam kegiatan cocok tanam bahan pangan. Walaupun potensi lahan tanaman pangan dan hortikultura 9,2 persen dari total luas lahan, mulai pertengahan 2003 hingga tahun 2004 sekitar 1.736 hektar digarap untuk padi ladang, umbi-umbian, sayur, buah, dan kacang-kacangan.

Padi ladang ditanam pada lahan 1,5 hektar, tanpa pupuk, dan menghasilkan panen 156 karung gabah kering giling (GKG). Satu karung berisi sekitar 10 kilogram. Panen ini berlangsung pada Januari-Februari lalu di Pos Perwakilan Distrik Suru-Suru. Jenis yang ditanam adalah IR 36 dan merupakan usaha swadaya masyarakat. Kecuali Suru-Suru, padi belum menyebar ke daerah-daerah lain. Berdasarkan survei dinas pertanian, daerah di selatan Yahukimo, seperti Pos Perwakilan Obio, Dekai, Sumo dan Seradala, bisa dikembangkan untuk padi itu.

Lahan padi ladang dan sawah yang potensial sampai sekarang tercatat 102.681 hektar. Sayangnya, bibit padi hingga kini harus dibeli di Suru-Suru yang berbatasan dengan wilayah Merauke. Selain itu, karena jumlah petani padi tidak banyak, tidak mungkin semua kegiatan ditujukan untuk bersawah. Di sisi lain, pengembangan lahan untuk ubi-ubian (hipere), keladi dan singkong, serta tanaman sagu 81.759 hektar menyebar di dataran rendah maupun tinggi.

Hutan Yahukimo menghasilkan komoditas seperti kelapa hutan, buah merah (Pandanus Sp), pohon kasuari, kulit kayu lawang, gaharu, dan rotan. Buah merah adalah buah pandan bernilai gizi tinggi yang berkhasiat seperti akar ginseng. Adapun kelapa hutan kebanyakan tumbuh di hutan-hutan dataran tinggi, tetapi belum banyak dibudidayakan masyarakat. Kelapa hutan dan buah merah banyak terdapat di Kurima, Anggruk, Ninia, Soba, Samenage, Musaik, Kosarek, Silimo, Suru-Suru, Obio, Dekai, dan Panggema. Dua tanaman ini diharapkan bisa menjadi komoditas pada kawasan hutan cadangan pangan dan hutan kemasyarakatan. Daerah-daerah ini juga cukup subur untuk tanaman kopi, kelapa sawit, kelapa dalam, kakao, dan panili.

Di tengah kesibukan menyiapkan infrastruktur dan mengembangkan potensi pertanian, Yahukimo masih menyimpan masalah lain yang tak kalah peliknya. Kualitas hidup masyarakat masih memprihatinkan, misalnya banyak yang berperut buncit, konsumsi protein rendah, ditambah masih banyak kasus malaria. Sementara itu, fasilitas pendidikan pun banyak yang masih jauh dari kondisi layak. Ditambah dengan persebaran penduduk yang mencapai 16 suku! Hal ini menjadi problem tersendiri karena menyangkut pola permukiman, gaya hidup, bahasa dan dialek serta pertimbangan-pertimbangan adat yang membutuhkan perlakuan berbeda-beda. Semua ini masih ditambah dengan kondisi daerah yang rawan gempa. Yang terakhir ini bukan sesuatu yang baru karena kerap terjadi sejak tahun 1970-an.

Krishna P Panolih/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Yahukimo

·

Yahukimo Hanya Punya Nama, Belum ada Bentuk



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS