Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Barat
Humaniora
Pemilihan Presiden 2004
Politik & Hukum
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Makanan dan Minuman
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Fokus
Esai Foto
Ekonomi Internasional
Wisata
Swara
Interior
Sorotan
Kesehatan
Ekonomi Rakyat
Bentara
Telekomunikasi
Properti
Perbankan
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Pergelaran
Didaktika
Teropong
Pendidikan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Rabu, 02 Juni 2004

Kabupaten Tolikara

WAKTU seakan berhenti di Tolikara. Tolikara adalah nama kabupaten baru di Provinsi Papua yang terdiri atas empat distrik, dan sebelumnya masuk wilayah Kabupaten Jayawijaya. Kabupaten baru ini eksis sejak akhir 2002. Meski setahun telah lewat, hampir tidak ada perubahan berarti di daerah ini. Kondisi dan situasinya nyaris sama seperti saat masih bergabung dengan induknya dulu. Kantor-kantor pemerintah dalam tahap pembangunan. Kepala pemerintahan Tolikara belum definitif. Pemilihan bupati dan wakil akan dilakukan bulan Januari 2005, setelah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tolikara terbentuk.

TOLIKARA juga belum memiliki infrastruktur penunjang seperti listrik dan telepon. Komunikasi antardistrik atau dengan kabupaten tetangga-misalnya Jayawijaya-umumnya menggunakan radio komunikasi single side band (SSB). Alternatif lain menggunakan telepon satelit berbiaya Rp 10.000 per menit. Untuk penerangan, digunakan diesel berkapasitas 1.500 watt atau 3.000 watt. Satu diesel digunakan menerangi beberapa rumah. Bila malam tiba, lampu seterang cahaya lilin menjadi pertanda adanya kehidupan.

Tidak mudah membangun Tolikara. Wilayah di Pegunungan Tengah ini terdiri atas daerah berbukit-bukit, jurang terjal, hutan minimal 400.000 hektar, gunung tinggi hingga 2.500 meter di atas permukaan laut (dpl). Kondisi topografi seperti itu ibarat isolasi alam yang menjadi penyebab ketertinggalan daerah ini. Bentuk daratan Tolikara yang berlekak-lekuk mengakibatkan pembuatan jalan darat sulit dilakukan.

Tak pelak, biaya pembuatan jalan sangat besar. Bermacam peralatan berat, seperti traktor atau bahan-bahan seperti aspal, besi beton penyangga jembatan, tidak bisa dikirim lewat darat, tetapi harus melalui udara. Alat angkutnya adalah helikopter berbaling-baling ganda. Ongkos sewa helikopter minimal Rp 3 miliar satu bulan.

Dari keempat distrik, hanya Karubaga dan Kanggime yang dapat dijangkau melalui udara dan darat. Meskipun begitu, sebagian besar jalan di kedua distrik itu berupa jalan tanah yang tidak mungkin dilalui saat hujan. Kondisi jalan yang buruk dan longsor sewaktu-waktu tidak jarang memakan korban.

Dua distrik lain, Kemu di lereng bukit dekat Sungai Membramo dan Bokondini, hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki. Jalan yang tersedia sebagian berupa jalan setapak, tidak lebih lebar dari pematang sawah. Dulu, di era Soeharto jalan ini masih lebih baik. Kini sebagian besar dalam keadaan rusak.

Di atas kertas, jarak Wamena-Kembu 90 kilometer, sedangkan ke Bokondini 65 kilometer. Kenyataannya, panjang jalan itu tiga kali lipat, karena yang ditempuh bukan jalan datar dan lurus, tetapi harus naik turun gunung atau bukit, menembus hutan dan sungai. Minimal butuh waktu tiga hari perjalanan.

Melalui udara, Distrik Karubaga atau Kanggime dapat dijangkau dari Wamena dalam waktu sekitar 20 menit. Hanya pesawat kecil, seperti twinn otter, yang bisa mendarat di landasan yang tersedia di sana. Biaya transportasi menggunakan pesawat milik Merpati sekali seminggu itu Rp 200.000 sekali jalan. Pilihan lainnya, pesawat milik Mission Aviation Fellowship (MAF). Bila udara cerah, MAF terbang dua kali sehari.

Para pilot yang mengawaki pesawat berbadan kecil dan berbaling-baling sudah "hafal" pada ruang dirgantara Tolikara. Para pilot tidak hanya berhadapan dengan berbagai pegunungan dengan puncak yang beragam tingginya, tetapi juga dihadapkan pada cuaca yang berubah-ubah setiap waktu. Ketelitian, kepekaan, dan kepandaian membaca perubahan cuaca menjadi hal mutlak yang harus dimiliki para pilot. Faktor cuaca sering menjadi penyebab Merpati dan MAF membatalkan penerbangan.

Hari hujan di Tolikara tergolong tinggi adalah 80 persen sebulan. Artinya, dalam satu bulan hujan sekitar 24 hari. Awan gelap yang kerap menyelimuti saat hujan tiba memperpendek dan mengaburkan daya pandang. Meskipun tidak hujan, setiap hari kabut hampir selalu menyelimuti Tolikara.

Selain penumpang, pesawat udara juga digunakan mengangkut barang. Biaya angkut per kilogram sekitar Rp 20.000. Barang yang diangkut biasanya kebutuhan sehari-hari, seperti minyak goreng atau minyak tanah. Minyak goreng umumnya dalam kemasan plastik berukuran ¼ liter, sedangkan minyak tanah dimasukkan dalam jeriken besi.

Barang-barang yang terangkut sangat bergantung pada jumlah penumpang. Bila penumpang sudah memenuhi kapasitas tempat duduk sekitar 18, barang-barang terpaksa ditinggal. Langkanya barang kebutuhan untuk masyarakat Tolikara mengakibatkan harga tinggi. Minyak goreng dalam kemasan ¼ liter, misalnya, dijual dalam ukuran plastik es mambo harganya Rp 1.000.

Berbagai hambatan yang ditemui mengakibatkan masyarakat Tolikara sangat bergantung pada alam sekitar untuk menunjang hidup sehari-hari.

Kontribusi utama bagi PDRB berasal dari pertanian. Sektor pertanian selain menjadi mata pencarian utama penduduk, juga merupakan pilar perekonomian kabupaten. Pada tahun 2002, sektor ini menghasilkan sekitar Rp 96,5 miliar. Nilai ini setara dengan 74,28 persen total PDRB sekitar Rp 130 miliar.

Penduduk asli Tolikara-suku Lani, suku Kwiyon, dan suku Gem-yang mendiami daerah pedalaman umumnya bertani dan beternak. Di pedalaman yang merupakan ulayat turun temurun, kegiatan pertanian dilakukan secara tradisional. Lahan tanaman pangan sebagian besar ditanami ubi jalar sebagai makanan pokok.

Pada tahun 2002, Tolikara menghasilkan 85.000 ton ubi jalar dari luas panen 9.592 hektar. Sentra ubi jalar berada di Distrik Karubaga yang menghasilkan 29.000 ton dari lahan kira-kira 3.000 hektar. Distrik Bokondini menjadi sentra sayursayuran, seperti tomat, bayam, cabe, wortel, ketimun, dan kubis. Selain tanaman pangan dan sayuran, tanah di Tolikara juga menghasilkan buah-buahan seperti jeruk, nanas, pisang, jambu biji, nangka, dan alpokat.

Untuk ternak, sama seperti daerah lain di Papua, babi merupakan ternak utama masyarakat. Jumlahnya 40.000 ekor. Karubaga dan Kanggime yang terbanyak memelihara ternak ini. Selain babi, terdapat 16.000 ayam buras.

Sebenarnya, tanah Tolikara merupakan lahan subur bagi tanaman kopi. Kopi bisa menjadi produk unggulan perkebunan. Meski demikian, areal untuk tanaman ini masih terbilang sedikit. Luas lahannya 101 hektar dengan produksi sekitar 20 ton. Hubungan dengan "dunia luar" yang sulit mengakibatkan segala potensi Tolikara belum dimanfaatkan optimal.

BE Julianery/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Tolikara

·

Jeruk "Bokondini" Siap Menguasai Pasaran Pegunungan Tengah Papua



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS