Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Barat
Pemilihan Presiden 2004
Euro 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Swara
Fokus
Perbankan
Makanan dan Minuman
Ekonomi Internasional
Wisata
Interior
Sorotan
Kesehatan
Ekonomi Rakyat
Bentara
Telekomunikasi
Teropong
Properti
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Esai Foto
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Pergelaran
Didaktika
Pendidikan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Selasa, 08 Juni 2004

Kabupaten Boven Digoel

BAK kunang-kunang, kerlap-kerlip lampu begitu cantik menghiasi malam. Embusan dingin angin dan suara binatang malam membuat pemandangan di Waropko, daerah paling utara dan paling tinggi di Boven Digoel, semakin menarik untuk dinikmati.

GEMERLAP cahaya itu bukan berasal dari hamparan lampu kota besar di bawah lereng, melainkan dari pertambangan emas di negara tetangga, Papua Niugini. Jalur kandungan logam mulia di negeri itu diperkirakan menyeberangi batas negara dan berlanjut di Waropko. Sayangnya, belum ada penelitian lebih lanjut tentang keberadaan emas di Boven Digoel.

Selain emas, diperkirakan juga ada nikel dan bijih besi di Kecamatan Mandobo. Di Kecamatan Bomakia, tempat suku Korombay dan Kombai yang masih tinggal di atas pohon, diduga menyimpan batu bara di balik tanah berbukit-bukit. Deposit di balik tanah belum diteliti. Pemberdayaan tanah masih terkonsentrasi di bagian atas melalui perkebunan.

Sejarah perkebunan di daerah berbukit-bukit ini dimulai akhir dekade 90-an dengan berdirinya perusahaan patungan antara Korea dan Indonesia yang memproduksi kayu lapis, PT Korindo. Rimba hijau yang mendominasi daratan Boven Digoel menjadi sumber bahan baku. Tak semua hutan boleh dijamah oleh perusahaan itu, tapi terbatas sekitar 2.000 hektar di Kecamatan Jair, Mandobo, dan Waropko.

Ketika hutan sumber bahan baku kayu lapis menyempit, perusahaan mulai melirik usaha lain, budidaya kelapa sawit. Perusahaan yang tak menerapkan sistem plasma inti ini menanami lahan sekitar 250 hektar di bagian selatan kabupaten, Kecamatan Jair. Sawit yang dipanen diolah di tempat itu juga menjadi minyak sawit mentah dengan kapasitas produksi sekitar 10 ton per hari kemudian dikirim melewati muara Sungai Digul di Kabupaten Mappi.

Tak disangkal, kehadiran PT Korindo membuat perekonomian di Jair lebih bergairah dibandingkan dengan ibu kota Boven Digoel, Tanah Merah. Keberadaan para pekerja ditambah kemudahan barang-barang kebutuhan yang didatangkan lewat pengiriman produk PT Korindo. Barang-barang yang dibutuhkan warga dikirim melalui hilir Sungai Digul menuju utara ke arah kabupaten berkepadatan penduduk satu orang per kilometer persegi itu sesuai dengan jalur pengiriman PT Korindo. Bahkan, harga barang-barang di Kecamatan Jair umumnya lebih murah daripada harga di Kabupaten Merauke, induk Boven Digoel .

Di masa datang, pemerintah berusaha membangun perkebunan sebagai penyangga utama perekonomian kabupaten. Perkebunan besar yang berinvestasi di kabupaten bekas tempat pengasingan tahanan politik di zaman penjajahan Belanda itu diharapkan dapat mengembangkan pola plasma inti. Dengan sistem ini, kesejahteraan dan keterlibatan masyarakat semakin dapat ditingkatkan. Lahan yang berpotensi ditanami kelapa sawit tak hanya di Kecamatan Jair. Sawit juga bisa dikembangkan di lima kecamatan lainnya.

Karet akan digeliatkan kembali setelah ditinggal oleh penduduk akibat sulitnya pemasaran. Tak heran jika saat ini hanya ada sedikit pohon karet di kebun-kebun penduduk. Pada akhir tahun 2001, lahan yang ditanami karet 1.531 hektar. Pemerintah kabupaten menyiapkan modal Rp 1 miliar untuk pembentukan koperasi petani karet yang akan membantu permodalan. Jika usaha karet bangun kembali, peluang pasar di Papua Niugini di seberang Kecamatan Mindiptana dapat dimanfaatkan. Di daerah tetangga tersebut, sadapan karet dibutuhkan untuk pembuatan peredam kereta listrik.

Komoditas perkebunan yang akan menjadi sumber penghidupan petani yang lain adalah cokelat yang dikembangkan di Kecamatan Mindiptana dan jambu mete di Kecamatan Mandobo, Mindiptana, dan Waropko. Kopi juga diusahakan oleh petani di Kecamatan Jair, Mindiptana, Waropko, dan Kauh. Selain tanaman-tanaman tersebut, vanili dikembangkan di Kecamatan Waropko.

Sejak belum berpisah dengan Kabupaten Merauke, perkebunan di Boven Digoel telah unjuk gigi. Diperkirakan, kontribusi perkebunan dari daerah yang dikenal sebagai hulu Sungai Digul ini 30 persen terhadap sektor perkebunan Merauke sebelum pemekaran. Selepas perpisahan dengan kabupaten induk, sektor ini juga yang menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD).

BOVEN Digoel tercetak tebal dalam sejarah panjang Indonesia. Dulu, bila mendengar nama wilayah ini, orang akan bergidik. Langsung terbayang tempat sepi, jauh, bagai di ujung dunia, berawa-rawa, dan tempat pembuangan tahanan politik. Pemerintah Hindia Belanda mengirim orang-orang yang terlibat pemberontakan komunis di Jawa Barat tahun 1926, juga pemberontakan di Sumatera Barat tahun 1927 ke Tanah Merah dan Tanah Tinggi, Kecamatan Mandobo, yang mulai dibangun pada tanggal 10 Januari 1927. Tahun 1935, tokoh-tokoh pergerakan nasional, antara lain Bung Hatta dan Sutan Sjahrir, juga diasingkan ke tempat penuh nyamuk ini.

Saat Jepang menduduki Indonesia, sebagian besar tahanan politik dan keluarga mereka dipindah ke Australia. Pemindahan ini didasari kekhawatiran para tahanan akan memberontak jika tetap di Boven Digoel. Diharapkan, orang-orang Indonesia yang dibawa ke Australia akan membantu Belanda. Ternyata, para tahanan politik itu mempengaruhi serikat buruh Australia untuk memboikot kapal-kapal Belanda yang mendarat di benua kangguru.

Peninggalan-peninggalan semasa Hindia Belanda sedang dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Abrasi akibat arus sungai di sisi bangunan bersejarah di Tanah Merah terus mengancam. Bisa-bisa, peninggalan itu lenyap karena hanyut atau habis digerus sungai yang lebarnya 500 meter. Meski demikian, pengucilan para tahanan di daerah ini berkontribusi memajukan penduduk lokal. Dari cara bertani, perdagangan sederhana, hingga membaca ditularkan oleh tahanan beserta keluarganya kepada masyarakat sekitar.

Di samping perawatan peninggalan zaman Hindia Belanda, persoalan besar lain yang harus dihadapi adalah minimnya prasarana. Pengembangan perekonomian akan lebih mudah kalau daerah ini lebih gampang dijangkau.

Dari pusat pemerintahan Kabupaten Merauke, diperlukan waktu sembilan jam menggunakan kendaraan gardan ganda dengan biaya sekitar Rp 300.000. Tetapi, itu bisa dilakukan bila hari cerah, tak ada hujan. Jika hujan, perjalanan dari Merauke ke Tanah Merah bisa menghabiskan waktu dua hari karena sebagian besar jalan diaspal, penuh lumpur.

Sungai-sungai lebar yang mengaliri kabupaten ini membantu pergerakan penduduk. Sungai Digul bisa dilintasi bila hendak ke Tanah Merah dari Merauke. Waktu yang dibutuhkan sekitar enam jam setelah sebelumnya harus melintasi jalan darat Merauke-Asiki, Kecamatan Jair, enam-tujuh jam. Ongkosnya sekitar Rp 175.000.

Sungai juga digunakan untuk transportasi antarkecamatan. Bahkan Kecamatan Kauh dan Bomakia, hanya bisa dicapai melalui sungai karena ketiadaan jalan darat.

RATNA SRI WIDYASTUTI/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Boven Digoel

·

Kelapa Sawit Andalan Masa Depan Boven Digoel



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS