Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Barat
Pemilihan Presiden 2004
Euro 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Berita Yang lalu
Otomotif
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Pustakaloka
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Swara
Makanan dan Minuman
Fokus
Pengiriman & Transportasi
Sorotan
Esai Foto
Ekonomi Internasional
Wisata
Properti
Kesehatan
Ekonomi Rakyat
Bentara
Telekomunikasi
Teropong
Interior
Ilmu Pengetahuan
Jendela
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Pendidikan
Perbankan
Pixel
Bingkai
Pergelaran
Didaktika
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Otonomi
Kamis, 10 Juni 2004

Kabupaten Asmat

KARAKTERISTIK wilayahnya memang unik. Dataran coklat lembek yang tertutup oleh jaring laba-laba sungai. Di bagian utara, kaki Pegunungan Jayawijaya tampak membentengi sebagian wilayah pecahan Kabupaten Merauke ini. Bagian barat dan selatan dikelilingi oleh Laut Arafuru. Semua wilayah tersebut dipayungi oleh hijaunya hutan rimba tropis. Itulah sekilas gambaran Kabupaten Asmat.

KABUPATEN yang dihuni suku Asmat ini hampir semua wilayahnya berada di tanah berawa. Hampir setiap hari hujan turun dengan curah 3.000-4.000 milimeter per tahun. Setiap hari juga pasang surut laut masuk ke wilayah ini. Tidak mengherankan jika permukaan tanah sangat lembek dan berlumpur. Tanah dengan kondisi seperti itu tidak mungkin dibuat jalan beraspal. Akhirnya, jalan hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk di atas tanah lembek. Praktis tidak semua kendaraan bermotor bisa melalui jalan ini. Orang yang berjalan harus berhati-hati agar tidak terpeleset, terutama saat hujan.

Paling aman menggunakan transportasi air melalui sungai. Perahu, longboat, dan speedboat sering menjadi pilihan untuk perjalanan antarkampung dan distrik. Bahkan, untuk mencari sagu dan gaharu di hutan pun mereka menggunakan perahu. Moda utama transportasi masyarakat Asmat ini terbuat dari kayu besi yang panjangnya rata-rata delapan meter. Sepanjang badan perahu diberi pewarna merah dan putih dengan cat bubuk kerang, sedangkan di ujung perahu terdapat ukiran khas Asmat. Uniknya, mereka bisa mendayung sambil berdiri.

Wilayahnya yang berbatasan dengan Laut Arafuru dan terkepung kaki Pegunungan Jayawijaya membuat Kabupaten Asmat terisolasi dan hanya dijangkau transportasi air dan udara. Memanfaatkan transportasi air agaknya jadi pilihan masyarakat. Tiket kapal perintis tujuan Merauke-Agats Rp 50.000-Rp 100.000. Perjalanan ditempuh dua hari dua malam jika cuaca normal. Bila cuaca buruk, perjalanan bisa sekitar lima hari. Kapal perintis tak hanya berlabuh di Agats, tapi di Distrik Atsy, Sawa Erma, dan Pantai Kasuari yang berbatasan dengan Laut Arafuru.

Transportasi udara sangat mahal dan terbatas. Hanya Distrik Agats dan Pantai Kasuari yang terjangkau transportasi udara. Agats mempunyai lapangan terbang dengan landasan 600 x 20 meter menggunakan permukaan landasan tikar baja. Bandara Ewer ini bisa didarati pesawat twin otter Merpati dan Mimika Air dengan rute Jayapura, Timika, Agats. Sedangkan bandara di Pantai Kasuari permukaan landasannya tanah pasir dan batu dan hanya didarati pesawat Merpati rute Merauke-Pantai Kasuari. Intensitas penerbangan menuju Agats dan Pantai Kasuari seminggu dua sampai tiga kali. Namun, ongkos perjalanan sekitar Rp 800.000 dirasa sangat mahal bagi masyarakat setempat.

Selain keterbatasan sarana transportasi, wilayah ini belum terjangkau jaringan listrik dan air bersih. Sumber listrik hanya mengandalkan disel. Jadi, penggunaannya terbatas. Listrik menyala sekitar pukul 18.00 dan padam pukul 00.00. Lebih memprihatinkan lagi adalah sumber air bersih. Air tanah sulit didapat karena merupakan tanah berawa. Terpaksa menggunakan air hujan dan air rawa sebagai air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Berbeda dengan penduduk Papua pedalaman yang makanan pokoknya ubi-ubian. Makanan pokok orang Asmat adalah sagu. Hampir setiap hari mereka makan sagu yang dibuat jadi bulatan-bulatan dan dibakar dalam bara api. Kegemaran lain adalah makan ulat sagu yang hidup di batang pohon sagu. Biasanya ulat sagu dibungkus daun nipah, ditaburi sagu, dan dibakar dalam bara api. Selain itu, sayuran dan ikan bakar dijadikan pelengkap.

Sagu biasanya tumbuh di tempat basah berawa dan termasuk hasil hutan. Sebulan sekali, masyarakat Asmat pergi ke hutan memangkur sagu, tanaman yang termasuk famili palmae. Sagu diperoleh dari batang pohon sagu yang dibelah dua. Bagian dalam yang berwarna putih ditumbuk, setelah itu sagu dicuci dalam palung yang terbuat dari daun sagu. Air kucuran sagu disalurkan ke daun sagu lain dan akhirnya ditampung dalam batang pohon sagu yang isinya telah kosong. Didiamkan beberapa saat sampai akhirnya sagu mengendap.

Ketergantungan suku Asmat pada hutan cukup tinggi. Hal ini terlihat dari kehidupan sehari-hari yang menggunakan bahan-bahan dari hutan, seperti sagu, kayu besi untuk bahan bangunan, perahu, dan media memahat. Hampir 90 persen penduduk bekerja di sektor yang menghasilkan kayu dan nonkayu ini. Didukung luas hutan yang hampir menguasai wilayah Asmat. Sebenarnya hutan yang sebagian besar ada di permukaan tanah berawa ini juga menghasilkan komoditas nonkayu, seperti gaharu, kemiri, kulit masohi, kulit lawang, damar, rotan, dan kemendangan. Bahkan, gaharu populer di masyarakat Asmat karena mendatangkan banyak uang.

Terlepas dari sektor kehutanan, sektor lain yang cukup berpotensi adalah perikanan. Potensi ini merupakan warisan kabupaten induk. Dari 23 kecamatan di Kabupaten Merauke (sebelum pemekaran), tujuh kecamatan berbatasan dengan Laut Arafuru. Lima kecamatan milik Kabupaten Asmat sehingga peluang mengembangkan perikanan sangatlah besar.

Produksi perikanan berupa ikan kakap, cucut, kepiting, udang, teripang, dan cumi-cumi cukup melimpah. Sayang potensi itu belum dimanfaatkan maksimal. Dari 59.307 jiwa (2000) hanya 0,93 persen penduduk yang berprofesi sebagai nelayan. Mereka hanya memanfaatkan laut guna memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.

Pekerjaan rumah dalam membangun Asmat cukup berat. Banyak kendala dan masalah yang harus dihadapi. Sarana-prasarana dasar seperti transportasi, kesehatan, pendidikan, telekomunikasi, listrik, dan air bersih belum semua terjangkau oleh masyarakat. Bahkan, data-data statistik pun belum tersedia. Pada tahun anggaran 2004, 41,45 persen dari dana alokasi umum Rp 111 miliar dan dana alokasi khusus Rp 4 miliar akan digunakan untuk belanja modal (belanja pembangunan), seperti proyek fisik peningkatan sarana prasarana kesehatan, perumahan, peribadatan, penunjang pemilu, angkutan laut dan udara, serta frekuensi penerbangan dan proyek nonfisik seperti peningkatan kesadaran orangtua murid akan pendidikan, kesejahteraan guru honorer, penyediaan obat-obatan sesuai kebutuhan dan jenis penyakit, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Adapun sisa anggaran 58,55 persen untuk belanja aparatur.

M Puteri Rosalina/Litbang Kompas

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Kabupaten Asmat

·

Mengangkat Kembali Pamor Seni Ukir Asmat demi Rakyat



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS