Rubrik
Berita Utama
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Nasional
International
Opini
Dikbud
Olahraga
Jawa Timur
Jawa Tengah
Finansial
Inspirasi
Otonomi
Berita Yang lalu
Ilmu Pengetahuan
Pergelaran
Audio Visual
Kesehatan
Investasi Perbankan
Rumah
Teropong
Teknologi Informasi
Muda
Telepon Genggam dan Ahli Jiwa -- Minggu, 30 Juli 2000
Kompas Cyber MediaKompas Cyber Media
KOMPAS Online
 
Kompas Cyber Media
Koran Daerah
English Nederlands
>Minggu, 30 Juli 2000

Telepon Genggam dan Ahli Jiwa

TEKNOLOGI selalu mengandung paradoks. Beberapa daerah di Amerika-terakhir Marlboro, New Jersey-seperti diberitakan harian International Herald Tribune melarang penggunaan handphone atau telepon genggam bagi pengendara mobil. Belum ada riset memadai seberapa jauh bertelepon sambil mengemudi menjadi penyebab kecelakaan, tetapi-persis seperti tajuk rencana koran itu-akal sehat kita tahu belaka betapa berisikonya perbuatan itu. Sedikitnya, betapa jengkel melihat ulah orang entah ibu-ibu, pria bergaya eksekutif, yang mengemudi sembari berte-lepon, dengan pembicaraan yang barang-kali cuma berkisar soal ember, dan tanpa perduli dengan keadaan sekitarnya telah membuat mobil-mobil lain terhambat karena dia mengemudi dengan lambat.

Paradoks teknologi (dari mesin faks sampai telepon genggam) pernah ditulis dengan nada berseloroh oleh filsuf Umberto Eco yang suka mengamati masalah-masalah seperti ini. Sebuah teknologi yang efektif, segera hilang efektivitasnya begitu digunakan secara luas. Bayangkanlah, betapa menjengkelkan mesin faks (yang ada di kamar) yang terus-menerus menerima pesan-pesan tidak bermutu, padahal si empunya tengah bercinta di tempat tidur...

Begitupun telepon genggam. Menurut Eco, ada beberapa kategori pemakai telepon genggam. Pertama, orang cacat (baik cacatnya kelihatan atau tidak) yang harus siap berkontak dengan dokter atau pelayanan kesehatan selama 24 jam. Terpujilah penemuan teknologi ini untuk mereka. Kedua, mereka yang secara profesional harus bisa dikontak kalau sewaktu-waktu keadaan darurat, seperti misalnya petugas pemadam kebakaran, dokter kandungan, atau juga orang sepenting Gus Dur (kalau Gus Dur tidak terkontak pada situasi-situasi khusus, jangan-jangan keberuntungan jatuh ke Amien Rais). Bagi mereka, meski telepon genggam boleh jadi tak menyenangkan, tetapi harus. Bagi mereka pula, bisa ditolerir kalau teleponnya berdering pas mereka melongok peti jenazah pada saat melayat.

Ketiga, ini bagian dari seloroh Eco, adalah para peselingkuh. Telepon genggam memungkinkan seseorang dikontak tanpa risiko dipotong anggota keluarga, istri, suami, dan lain-lain.

Lalu, ada dua kategori lagi di mana keberadaan telepon genggam di tangan mereka bakal semata-mata mengganggu orang sekitarnya. Pertama adalah manusia yang di mana-mana tangannya tak bisa lepas dari telepon genggamnya (dengan telepon genggam-istilah persilatannya-mereka menjadi "manusia berlengan tunggal", karena tangan yang satu khusus untuk teleponnya). Mereka seperti resah kalau tidak bisa berkontak dengan siapa saja. Dalam diri mereka ada kekosongan, dan ada dorongan luar biasa dalam diri untuk terus-menerus berinteraksi. Telepon mereka bisa berdering dimana saja, di gedung bioskop, ruang seminar, acara peluncuran buku cerpen, dan lain-lain.

Kategori yang ini bisa sangat mengganggu orang di sekitarnya-termasuk kita-meski kita harus buru-buru menyukuri diri dan memaafkan mereka, bahwa kita tidak mengalami problem kekosongan yang solusinya mustinya bukan telepon genggam itu, melainkan ahli jiwa.

Pada tingkat itu, temuan teknologi hanya menjadi medium untuk lalulintas komunikasi masalah-masalah remeh-temeh: malam nanti mau makan nasi goreng atau keredok; lihatlah, di televisi lagi ada Lilis Karlina; tolong, tadi di kamar mandi saya lupa menyingkirkan beha dan celana dalam dari gantungan; dan seterusnya.

Kategori terakhir adalah mereka yang ingin menunjukkan diri di publik betapa mereka sangat dibutuhkan. Dalam hal ini, pada pembicaraan telepon mereka akan bicara keras-keras agar didengar orang sekitarnya mengenai bisnisnya, mengenai tender, pendeknya, bahwa mereka adalah eksekutif dari sebuah dunia usaha yang super sibuk. Kelompok ini barangkali kelas sosial yang digambarkan Richard Robison dan David Goodman dalam The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds and Middle-Class Revolution. Kelompok nouveau riche atau kaya baru ini boleh jadi belum mengerti, bahwa manusia yang berkuasa, efektif, bekerja, tidak perlu harus menjawab semua panggilan telepon. Dalam tingkat manajer, bahkan kalau ada berita mertua meninggal, berita sampai tidak lewat telepon genggam melainkan lewat bisikan sekretaris atau sopir.

Dalam konteks itu, siapa saja yang memakai telepon dalam strategi gaya hidup, mengira telepon genggam adalah indikasi gengsi dari kelas sosial tertentu, sebetulnya salah terka. Telepon genggam justru menunjukkan posisi sebaliknya, yakni posisi disuruh-suruh. Dalam bahasa para penggagas cultural studies, posisi itu disebut sebagai posisi "subaltern". Wassalam. (bre)


Berita latar lainnya :


Kompas Cyber Media
KOMPAS Online
© C o p y r i g h t   1 9 9 8   Harian KompasD e s i g n e d  b y  Agrakom

 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS