|
C © updated 18062007 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
►e-ti |
|
|
Nama:
Prof Dr Masri Singarimbun
Lahir :
Karo, Sumatera Utara, 18 Juni 1931
Meninggal:
Jogyakarta, 25 September 1997
Agama:
Islam
Pendidikan:
- SD, Karo (1942)
- SMP Yosua, Medan (1951)
- SMAN I Medan (1954)
- Fakultas Pedagogik UGM, Yogyakarta (B.A. 1959)
- Antropologi Sosial di Australian National University, Canberra,
Australia (Doktor, 1966)
Karir:
- Pembantu Khusus Atase Militer di KBRI Canberra (1965- 1968)
- Research Fellow di Australian National University (1968-1973)
- Dosen Fakultas Ekonomi UGM (1973-1977)
- Dosen Antropologi Terapan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM
(1977-1997)
- Direktur Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM (19731983)
Kegiatan Lain:
- Pengurus Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia
Karya:
- 1.000 Perumpamaan Karo, Medan, Ulih Saber, 1962
- Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak, University of
California Press, Berkeley, 1975
- Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Srihardjo di Pedesaan Jawa, Bharata
Karya Aksara, Jakarta, 1976
Alamat Rumah Keluarga:
Sawit Sari Cw8, Condong Catur, Yogyakarta
Alamat Sekretariat Masri Singarimbun Reearch Award:
Pusaat Studi Kependudukan dan kebijakan, Universitas Gadjah Mada,
Bulaksumur G-7, Yogyakarta 55281
Phone (0274) 563079; 901152 E-ail:msra@cpps.or.id
|
|
|
|
|
|
|
Masri Singarimbun (1930-1997)
Si Matahari Studi Kependudukan
Prof Dr Masri Singarimbun, akrab dipanggil Pak Masri dan punya nama kecil
Matahari, seorang pakar antropologi sosial dan ahli studi kependudukan.
Dia pendiri sekaligus direktur pertama Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan UGM (1973-1983). Pria ‘Si Matahari Peneliti Kependudukan’
kelahiran Karo, Sumatera Utara, 18 Juni 1931, ini sudah gemar meneliti
sejak lulus dari SMA, 1954. Dia meninggal 25 September 1997.
Pak Masri, bersama David H Penny ekonom dari Australia, adalah ilmuwan
pertama yang mengangkat kemiskinan sebagai masalah sosial khususnya di
pedesaan Jawa dalam buku Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo (1977).
Dia memiliki empati (bela rasa) sangat kuat terhadap kolega yang sedang
tertimpa kesulitan maupun masyarakat miskin yang dikajinya.
Pusaat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada memberi
penghormatan kepada dengan menyelenggarakan program Masri Singarimbun
Reearch Award. Program “Masri Singarimbun Research Award” memberikan
dana penelitian secara kompetitif kepada para peneliti muda Indonesia
yang berminat secara lintas disiplin dalam bidang keehatan reproduksi
menggunakan perspektif gender.
Pusat Data dan Analisa Tempo menulis Masri mengaku gemar meneliti
sejak lulus dari SMA Negeri I Medan, 1954. Ketika itu, Matahari -- nama
kecilnya -- menjelajahi banyak desa Karo, mengumpulkan berbagai
peribahasa. Hasil penelitian ini menjadi buku berjudul 1.000 Perumpamaan
Karo, terbit di Medan, 1962.
Masuk Fakultas Paedagogi UGM tahun 1959, ia kemudian mendapat beasiswa
untuk belajar pada Australian National University (ANU), Canberra. Gelar
doktor antropologi diraihnya dari universitas ini dengan disertasi,
Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak, 1966.
Sebelas tahun ia menetap di Australia, sempat menjadi pembantu khusus
Atase Militer KBRI di Canberra, dan research fellow di ANU. Tetapi,
akhirnya ia pulang kandang juga, ''Kami ingin membesarkan dan mendidik
anak-anak di Indonesia,'' ujar Masri, yang menikah dengan Irawati, 1959,
gadis Semarang teman kuliahnya di Paedagogi UGM.
Masri kemudian dikenal karena berbagai penelitiannya dalam masalah KB.
Untuk meneliti hasrat penggunaan kondom, ia mulai dari lingkungan
dekatnya. Ditaruhnya sepiring kondom di meja kerjanya, di Fakultas
Ekonomi UGM waktu itu, lalu ditulisnya: ''Silakan Ambil'', dan
ditinggalkannya pergi. Menjelang tutup kantor, ia kembali, dan kondom
itu ternyata tidak digubris orang. Tidak putus asa. Keesokannya ia
sengaja tidak masuk kantor. Hari berikutnya, ketika ia masuk kantor, ''kondom
itu habis'', ujarnya. Dari perilaku itu, ayah tiga anak ini
berkesimpulan bahwa masyarakat sebenarnya punya hasrat besar dalam KB.
Ia pun memberanikan diri memberikan pelayanan permintaan kondom melalui
pos. Pasang iklan di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, delapan kali
antara September dan Oktober 1973. ''Dengan mengirim prangko Rp 30,00 ke
Dwijaya, Kotak Pos 85 Yogya, akan dikirim 6w9 buah kondom''. Berhasil,
346 surat datang ke Dwijaya. Tetapi, ada yang kena getah. Tiga orang
pelajar putri mencak-mencak karena mendapat kiriman kondom dari Dwijaya.
''Itu ulah tangan usil,'' kata Masri. Dan kegiatan pelayanan kondom
lewat pos dihentikan ''karena BKKBN sudah giat,'' katanya.
Penelitiannya mengenai KB membawanya ke bidang demografi. Kala itu, di
samping mengajar antropologi terapan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan
UGM, Masri juga Direktur Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan (PPSK)
UGM. Ia juga dikenal sebagai kolumnis di berbagai media; Kompas, Sinar
Harapan, Kedaulatan Rakyat. Di majalah Tempo, lebih dari 50 buah
tulisannya pernah dimuat.
Karya tulisnya tidak terhitung, apalagi makalahnya. Penduduk dan
Kemiskinan: Kasus Srihardjo di Pedesaan Jawa, adalah salah satu bukunya
yang terkenal, diterbitkan Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1976. Buku
ini terjemahan dari bahasa Inggris yang diterbitkan oleh Universitas
Cornell, Ithaca, 1973. Disertasinya diterbitkan oleh University of
California Press, Berkeley, AS, 1975.
Dalam Resensi Buku Pustakaloka Kompas Sabtu, 20 September 2003 yang
ditulis J Sumardianta, Guru Sosiologi SMU Kolese de Britto, Yogyakarta,
bertajuk: Gerilya Melawan Pendangkalan Makna Hidup (Judul Buku:
Reflections from Yogya: Portraits of Indonesian Social Life; Penulis:
Masri Singarimbun; Editor: Irawati Singarimbun; Penerbit: Galang Press-Yogyakarta,
2003; Tebal: xxvii + 448 halaman), disebutkan bahwa Prof Dr Masri
Singarimbun, akrab dipanggil Pak Masri, semasa hidupnya (1930-1997)
dikenal sebagai pakar antropologi sosial dan ahli studi kependudukan.
Pak Masri, bersama David H Penny ekonom dari Australia, adalah ilmuwan
pertama yang mengangkat kemiskinan sebagai masalah sosial khususnya di
pedesaan Jawa dalam buku Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo (1977).
PAK Masri pernah dicap sebagai ilmuwan pesimis gara-gara penelitiannya
yang tergolong sensitif saat itu. Ia dituduh menutup mata terhadap
hasil-hasil pembangunan. Begitu ada pemberitaan bencana kelaparan di
Indramayu, masyarakat di lumbung padi pantura sampai merebus eceng
gondok, pelan-pelan orang mulai percaya dengan temuannya. Pendiri
sekaligus direktur pertama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM
(1973-1983) ini memiliki empati (bela rasa) sangat kuat terhadap kolega
yang sedang tertimpa kesulitan maupun masyarakat miskin yang dikajinya.
Publikasi yang ditulis dan dieditnya sepanjang tahun 1959 hingga 1997
berjumlah 101. Pak Masri juga menulis sekitar 120-an artikel di berbagai
media massa, termasuk di majalah Prisma. Tahun 1992 Balai Pustaka
menerbitkan Renungan dari Yogyakarta. Buku ini merupakan antologi
tulisan Pak Masri yang pernah dimuat di Tempo, Editor, Kompas, dan Jawa
Pos sepanjang 1977 hingga 1992. Reflections from Yogya: Portraits of
Indonesian Social Life adalah edisi Inggris Renungan dari Yogyakarta
yang dipublikasikan Galang Press. Sejarawan Onghokham berhasil
menampilkan kearifan maupun kebejatan masa lalu bangsa Indonesia di
media massa. Pak Masri sukses mengurai benang kusut masalah-masalah
sosial di surat kabar untuk konsumsi pembaca awam.
Pak Masri mengajak khalayak pembaca merenungkan masalah-masalah seperti
birokrasi yang tidak kunjung efisien dan mau melayani, ledakan populasi
penduduk, kemiskinan, HIV/AIDS, terorisme seksual, agresi tak terkendali,
korupsi, buruknya perpustakaan perguruan tinggi, rendahnya motivasi
berprestasi, dan runtuhnya pilar-pilar moralitas. Patologi sosial yang
hingga sekarang masih menelikung kehidupan masyarakat Indonesia.
KOLOM merupakan tulisan yang sangat menonjolkan strong personal views.
Ciri utama kolom Pak Masri, sebagaimana dituturkan Prof Terence H Huul
dari Australian National University, bahasanya populer, langsung menukik
ke pokok soal, berlumuran humor di sekujur karangan, reflektif, dan tak
lekang zaman. Almarhum Satyagraha Hurip, sastrawan, pernah menganjurkan
Pak Masri menulis cerpen mengingat gagrak (genre) story telling
tulisannya.
Pak Masri, seperti halnya Pater MAW Brouwer, memang seorang penutur
cerita kelas wahid. "Kami, anak-anak, waktu itu melihat tikus sebagai
kawan dan makhluk yang menggairahkan. Tikus besar mendatangkan selera
makan, lebih enak dari yang berukuran sedang. Tikus ladang lebih lezat
dibandingkan tikus yang berkeliaran di rumah. Seperti halnya kodok,
tikus juga dibakar. Tikus panggang yang gurih ini boleh dimakan dengan
sambal, dan boleh juga digulai. Tidak mustahil salah satu pemecahan hama
tikus justru dengan jalan damai. Mencintai dagingnya lalu memopulerkan
lauk tikus: tikus bakar, sate tikus, soto tikus, dan sop tikus. Soalnya,
daging tikus lebih enak dari daging ayam atau kelinci. Kadar proteinnya
pun lebih tinggi." Ini contoh gaya bertutur menggelitik penuh guyonan
yang ditulis Pak Masri dalam kolom berjudul Mice and Men. Sebagai bahan
perbandingan keripik dan sate bekicot (kodenya 02) sudah menjadi menu
makanan favorit masyarakat Kediri dan Blitar, Jawa Timur, yang
dihidangkan di warung maupun restoran.
Pertanyaan reflektif senantiasa menyertai tulisan Pak Masri. Jika anjing
dan serigala mau mengekang diri, berhenti mencabik-cabik musuhnya yang
sudah menyerah tak berdaya, mengapa manusia tega membunuh orang yang
sudah tidak berkutik? "Where is the Limit to Aggression?" adalah tulisan
pertama Pak Masri di Tempo tahun 1977 yang tetap relevan buat
merefleksikan perilaku sebagian masyarakat kita yang ringan senjata di
Aceh, Maluku, Poso, dan Sampit.
Zaman edan, tulis Pak Masri mengutip Ranggawarsita, nek ora edan ora
komanan (kalau tidak larut dalam kegilaan tidak kebagian), dalam tulisan
berjudul Living Together (Kumpul Kebo). Generasi muda jika terpaksa
harus berkawan dengan "setan" lebih baik memilih "setan mini" (alat
kontrasepsi) ketimbang "setan maksi" (hamil di luar nikah, aborsi, dan
anak haram jadah)? Ini solusi yang ditawarkan Pak Masri dua dekade lalu
untuk mengurai benang kusut kehidupan generasi muda yang makin lama
perilakunya serba bebas dan serba boleh (permisif). Istilah Pak Masri
tiada hari tanpa rangsangan seksual alias tak putus dirundung renjana
berahi. Gayung bersambut. Kini anjuran Pak Masri seperti menemukan
kebenarannya. Global TV, stasiun TV swasta relay MTV Asia, dengan segmen
khalayak pemirsa kaum muda gencar menayangkan iklan kondom dengan aroma
buah-buahan Fiesta.
Kebijakan konyol normalisasi kehidupan kampus di zaman Orde Baru
diparodikan Pak Masri menjadi tulisan Normalizing the Campus Library (Normalisasi
Perpustakaan Kampus) saat mengkritik buruknya pelayanan dan minimnya
koleksi perpustakaan yang merajalela di perguruan tinggi Indonesia dan
Normalizing the Neck (Normalisasi Leher) untuk mengingatkan bahwa wabah
kekurangan yodium juga melanda keluarga para dosen yang tinggal di
lingkungan kampus.
"Beginilah riwayat manusia. Dalam situasi terbelakang masyarakat
dibebani ketergantungan anak berjumlah besar. Dalam keadaan maju
digayuti orang-orang lanjut usia. Namun, masalah keterbelakangan niscaya
lebih runyam ketimbang masalah akibat kemajuan. Dengan kata lain,
masalah ekonomi akibat struktur umur tua tidak seberapa dibandingkan
masalah kemiskinan pada masyarakat terbelakang dengan tingkat kelahiran
tinggi," ini renungan filosofis Pak Masri perihal kisah sukses bangsa
Jepang menekan laju pertumbuhan penduduk dalam Via the Old Route (Lewat
Jalan Kuno).
Ingin tahu sebabnya? Jepang yang begitu jauh di depan memimpin
modernisasi, kemajuan teknologi, dan kemakmuran, primitif dalam
pemilihan kontrasepsi. Tingkat kelahiran yang rendah dicapai melalui
cara kampungan: kondom, sanggama terputus, dan pantang berkala. Wanita
Jepang gemetar melihat pil anti-hamil dan IUD. Bandingkan dengan
perempuan di pelosok-pelosok desa Jawa yang buta huruf, fatalistik,
berorientasi jangka pendek, pemakan gaplek, kurang need for achievement
ternyata konsumen pil KB dan pemakai spiral. Rupanya, semakin tinggi
pendidikan kaum urban semakin udik metode KB mereka.
DALAM pandangan Prof Dr Benjamin Nicholas Forbes White, pakar studi
pedesaan dari Universitas Amsterdam, Belanda, walaupun buku ini berjudul
Reflections from Yogya, it is not a book about Yogyakarta. Hanya sedikit,
dari keseluruhan 81 artikel, yang menyinggung hal-hal yang terjadi di
sekitar Yogya, bahkan banyak yang tidak menyinggung Indonesia secara
langsung, tetapi menceritakan pengalaman Pak Masri di Bangkok, Canberra,
Manila, New York, Mesir, Roma, dan India.
Buku klasik ini tetap relevan karena berhasil membuktikan manusia
Indonesia, terutama elite politiknya, merupakan manusia hipokrit miskin
refleksi. Mentalitas munafik enggan berefleksi inilah penyebab bangsa
Indonesia cenderung dan gemar menakik peradaban usang yang menjerumuskan
pada pendangkalan makna di pelbagai lini strategis kehidupan.
Reflections from Yogya, ditujukan untuk pembaca asing pemula yang hendak
mengenal dari dekat kehidupan masyarakat Indonesia dalam bahasa populer
dan ringan, enak dicerna mengingat gaya bertuturnya yang khas,
menggerakkan pikiran, memiliki daya sentuh, dan gaya gugah. Pendeknya
buku yang memiliki gizi rohani tinggi. Nah, yang paling esensial, buku
optimis ini mengajak khalayak pembacanya masuk ke relung hatinya yang
terdalam supaya tabah menghadapi pergulatan, tegar mengatasi kesulitan
dan tantangan, serta berani memeluk risiko.
Kendati demikian, seumumnya bunga rampai buku ini mengidap penyakit
bawaan. Berbagai tulisan yang pernah dimuat di media massa, satu hingga
tiga dekade lalu, datanya banyak yang sudah usang. Gagasan Pak Masri,
kalau di cermati dengan teliti, ternyata juga mengandung inkonsistensi.
Pak Masri, sebagai generasi pertama antropolog Indonesia, adalah ilmuwan
yang sangat humanis tatkala membicarakan masalah kemiskinan,
ketidakadilan, kekerasan, disparitas jender yang menimpa pemulung,
pengamen jalanan, TKW, dan buruh bangunan perempuan. Tetapi sebagai
pakar studi demografi ia tampil sebagai "pembunuh berdarah dingin" pro-prostitusi
dan pengguguran kandungan. Inilah dilema (ketegangan) seorang tokoh etis
yang bertekun di wilayah pragmatis. (Sumber: pdat.co.id dan Kompas Sabtu,
20 September 2003) ►e-ti/tsl
_______________________________________
In Memoriam Masri Singarimbun (1931-1997)
By Frans Hüsken
________________________________________
Still full of plans for new research and busy preparing new
publications, Masri Singarimbun, professor of anthropology at Gadjah
Mada University Yogyakarta (Indonesia) passed away on 25 September 1997.
For several months he had been undergoing treatment for a variety of
leukaemia which many hoped he would survive but which finally proved to
be fatal. His untimely death at the age of 66, leaves a void in both the
Indonesian and the academic community in general as he was among the few
Indonesian scholars with an international reputation.
Ever since he established the Population Studies Center at Gadjah Mada
University in 1973, he is best known for his work in social demography,
anthropology, and development studies. However, being the energetic and
enthusiastic person he was, he was an interested observer and analyst of
a wide range of social and academic issues. His early work focused on a
classical socio-anthropological study of the Karo-Batak kinship system
for which he earned his PhD at the Australian National University in
1966 (after having completed his BA in Education at Gadjah Mada in
1959).
Subsequently he moved to demography at ANU's Research School for the
Social Sciences, until he decided (in 1972) that after more than eleven
years in Canberra he should return to his Alma Mater in Yogyakarta.
There he became deeply involved in research on birth control and family
planning in different regions of Indonesia. On that basis he acted as a
critical adviser to the Indonesian government which at the time had
engaged in a family planning programme in an all-out effort to solve the
country's population problem. Masri's recommen-dations were not always
received favourably as he insisted upon winning the co-operation and
acceptance of the programme from local communities, while government
agencies were obsessed by target figures and quick successes, and in
doing so easily resorted to political pressure on the population.
His critical stance also brought him to draw attention to the problem of
rural poverty and through a long-term research project, initiated
together with David Penny in 1969 in the village of Sriharjo (in the
southern part of Yogyakarta province), he was able to show that official
figures on poverty eradication in Indonesia were generally overly
optimistic. His material on Sriharjo, a village to which he returned
many times, provides a Fundgrube for the social history of rural Java in
the 20th century.
Masri's return to Indonesia in 1972 marked not only the beginning of an
impressive academic career but also the start of a highly successful
research centre in which several generations of Indonesian social
scientists received their intellectual training. The small building from
which he started has grown into one of the academic centres at Gadjah
Mada University with by far the best-equipped social science library and
an open atmosphere where students, staff and (the many) visiting
scholars from Indonesia and abroad meet.
This congenial world has produced a large number of dedicated researchers
who combine social commitment with scientific rigour and open minds. An
equally large number of foreign researchers has benefited tremendously
from the support and the infrastructure of the Population Studies Center
providing them with the intellectual challenges and sharp discussions as
well as relaxation from the pressures of fieldwork.
When in 1996, Masri retired from his chair at the GMU's Department of
Anthropology, he remained active in the research projects of the
Population Studies Center and in supervising theses. He was offered a
new chair in research methodology at Atma Jaya University Yogyakar-ta,
and kept on publishing on his research both through academic journals
and (very widely) through his columns in the Indonesian press,
commenting upon topics as varied as ethnicity, rural poverty,
socio-linguistics, sexuality, and AIDS.
Thirty years after he earned his PhD in Canberra, the ANU offered him an
honorary doctorate in 1996. Masri felt, of course, honoured by this sign
of international recognition of his work, but he was surprised at the
same time, not in the least because he, trained as an educationalist and
anthropologist, and employed in departments of demography and economics,
found himself to be a LlD in the end.
Masri Singarimbun, who is survived by his wife, Irawati, and three
daughters, will be missed by his many friends and colleagues around the
world.
[A complete bibliography of the writings of Masri Singarimbun can be
found in: Agus Dwiyanto et al. (eds), Penduduk dan Pembangunan,
Population Studies Center, Yogyakarta 1996, pp. 413-424]
________________________________________
Prof. Frans Hüsken is attached to the Institute of Cultural and Social
Anthropology, Catholic University of Nijmegen (the Netherlands) and
chairman of the Board of the IIAS.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|