ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
 
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
 
  P R O F E S I
 ► Advokat
 ► Akuntan
 ► Arsitek
 ► Bankir
 ► CEO-Manajer
 ► Dokter
 ► Guru-Dosen
 ► Konsultan
 ► Kurator
 ► Notaris
 ► Peneliti-Ilmuwan
 ► Pialang
 ► Psikolog
 ► Seniman
 ► Teknolog
 ► Wartawan
 ► Profesi Lainnya
 ► Search
 ► Poling Tokoh
 ► Selamat HUT
 ► Pernikahan
 ► In Memoriam
 ► Majalah
 ► Redaksi
 

 


 
  C © updated 26012005  
   
  ►e-ti/fk unair  
  Nama:
Prof. Dr. med. Paul Tahalele, dr.,SpB.,SpBTKV.,FCTS
Lahir:
Mataram, Nusa Tenggara Barat, 4 Maret 1948
Agama:
Kristen
Isteri:
drg Kustiani Hartiningsih

Pendidikan:
= Sekolah dasar di Bogor tahun 1960
= SMP di Mataram
= SLTA di Malang, Jawa Timur.
= S1 Fakultas Kedokteran Unair 1975
= Program pendidikan dokter spesialis (PPDS) bagian ilmu bedah dan lulus 1981
= Spesialisasi jantung 1987
= Program ilmu bedah jantung dengan judul disertasi Verhalten der Haemostase Unter Extrakoporale Zirkulation, Universitas Friederich Alexander Erlangen, Nuernberg, Jerman

Karir:
= Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
= Kepala Laboratorium Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Dr Soetomo Surabaya
= Ketua Bagian Ilmu Bedah Umum FK Unair
= Ketua Program Studi Ilmu Bedah Unair
= Kepala Laboratorium Ilmu Bedah Unair

Kegiatan Lain:
Tim Kerja Persiapan UU Praktik Kedokteran

Organisasi:
Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Bedah Indonesia

Hobi:
Renang dan aerobik

Alamat Kantor:
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Kampus A, Jalan Mayjend. Prof. Dr. Moestopo No. 47, Surabaya 60131, Telp. +62 (31) 5030251


 
 
     
Profesor Dr dr Paul Tahalele

Gula Pasir Penyembuh Luka


Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, ini memang identik dengan gula pasir. Di tangan ahli bedah jantung dan pembuluh darah dan Kepala Laboratorium Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Dr Soetomo Surabaya ini gula pasir digunakan untuk memperlambat pembusukan luka, khususnya luka bernanah.

 

Andai relawan medis yang berangkat ke Nanggroe Aceh Darussalam dibekali pengetahuan praktis mengenai pencegahan pembusukan organ tubuh akibat luka bernanah dengan menaburkan gula pasir, mungkin ribuan korban dapat ditolong tanpa harus diamputasi. Padahal, pengetahuan itu sudah coba disosialisasikan Paul Tahalele.

"Gula pasir sangat efektif menyembuhkan luka bernanah karena bersifat hyperosmol dan higroskopis yang berfungsi menarik bakteri agar luka tidak membengkak," ujar Tahalele saat ditemui di ruang kerjanya.

Dikatakan bersifat hyperosmol karena gula mampu menyerap air sehingga bakteri yang terkandung pada luka itu otomatis ikut terserap. Bersifat higroskopis karena mampu menarik dan membunuh bakteri. Perpaduan kinerja kedua zat ini mampu menghilangkan bakteri penghambat proses penyembuhan pada luka bernanah.

Perkenalan Tahalele yang ahli bedah jantung dan pembuluh darah dengan gula pasir (sukrosa) diperoleh dari dosennya saat menimba ilmu di Universitas Friederich Alexander Erlangen, Nuernberg, Jerman, 23 tahun lalu.

Menurut dokter yang hobi renang dan aerobik ini, ilmu kedokteran zaman Mesir Kuno sudah mengenal pengobatan menggunakan sukrosa. "Nenek moyang kita mengenal pula pengobatan madu untuk mengeringkan luka," jelasnya.

Namun, karena terlalu banyak pilihan obat yang disodorkan industri, warisan yang sangat bermanfaat itu terlupakan. Metode pengobatan tradisional ini hanya diingat saat kita tersekap keterbatasan akibat bencana.

Tahalele yang menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Bedah Indonesia menerapkan metode itu kepada sebagian besar pasien penyakit jantung yang dia operasi tanpa membuahkan keluhan. Pasien yang menderita infeksi rongga di bawah tulang dada disertai nanah, misalnya, penyembuhannya berlangsung cepat setelah ditaburi sukrosa.

Meski demikian, kata dokter yang biasa dipanggil "Paul" oleh mahasiswa maupun sejawatnya, hanya luka bernanah, baik skala besar maupun kecil, saja yang bisa diberi gula pasir. Itu pun sebaiknya dilakukan setelah memeriksa dan memastikan jenis infeksi, sebagaimana tertuang dalam prosedur perawatan luka bernanah.

Ahli bedah yang berhasil melakukan operasi implantasi alat pacu jantung pada pasien tertua usia 90 tahun dan operasi pengikatan pembuluh darah yang menghubungkan aorta dengan arteri paru pada bayi usia lima hari ini awalnya ingin menjadi pilot.

Pria kelahiran Mataram, Nusa Tenggara Barat, 4 Maret 1948, ini mengaku menjadi dokter karena kebetulan. Saat itu ia diterima di tiga universitas, yaitu Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, dan Universitas Airlangga (Unair), namun pilihan jatuh pada Unair.

Mantan Ketua Program Studi Ilmu Bedah yang sekarang menjadi penguji nasional dokter spesialis bedah umum Indonesia itu menyelesaikan sekolah dasar di Bogor tahun 1960, sekolah lanjutan pertamanya di Mataram, dan SLTA di Malang, Jawa Timur.

Tahun 1967 ia masuk Fakultas Kedokteran Unair dan menyelesaikan studi tahun 1975 dilanjutkan program pendidikan dokter spesialis (PPDS) bagian ilmu bedah dan lulus tahun tahun 1981. Baru tahun 1987, Tahalele yang mengambil spesialisasi jantung dengan alasan organ tubuh tersebut sangat vital bagi kehidupan itu melanjutkan studi pascasarjana di Jerman program ilmu bedah jantung dengan judul disertasi Verhalten der Haemostase Unter Extrakoporale Zirkulation.

Suami drg Kustiani Hartiningsih itu mengambil gelar doktor di Unair. Disertasinya tentang Model Pendidikan Pra Bedah Terpadu kini menjadi acuan pendidikan ilmu bedah. Tidak heran, saat dikukuhkan menjadi guru besar, anggota Tim Kerja Persiapan UU Praktik Kedokteran ini banyak menyoroti penurunan kualitas dokter bedah akibat kurangnya tatap muka dosen dengan mahasiswa.

Kritik tajam terhadap perkembangan pendidikan kedokteran pernah dilontarkan mantan aktivis kampus ini. Ia menentang perilaku beberapa rekan seprofesi yang lebih mengutamakan pengaplingan dan koneksi dalam penerimaan mahasiswa daripada profesionalitas. Ia juga menolak dikotomi antara kedokteran negeri dengan swasta karena menurutnya pendidikan merupakan tanggung jawab bersama.

Pengalaman paling berkesan adalah ketika ada seorang dokter umum peserta PPDS ilmu bedah tahun pertama bukan alumnus Unair. Saat itu ia menjabat sebagai Kepala Laboratorium Ilmu Bedah. Dokter itu anak petani asal Tuban yang memintanya tidak diskriminatif karena banyaknya anak dokter ikut pendidikan spesialis bedah. "Bagi saya, ini pergumulan jiwa yang berat," ujarnya.

Mungkin pergolakan batin itu pulalah yang membuat Tahalele tidak memaksakan kedua putrinya masuk kedokteran, meski sebagai guru besar ia mendapat jatah kapling itu.

Sebagai orang yang dilahirkan dari kalangan biasa, Tahalele yang pernah tidur di kantin fakultas selama enam bulan karena tidak mampu membayar ongkos kos itu sadar betul akan kesulitan hidup. Berbekal pengalaman itulah ia selalu terlibat kegiatan sosial, seperti menjadi sukarelawan penanganan korban banjir sampai ketua tim medis bakti sosial TNI AL.

Kini, meski secara fisik tidak lagi aktif sebagai relawan karena usia, dia bergerak di bidang lain. Tahalele aktif menghimpun dana untuk pasien miskin. Ia bagaikan oase di padang pasir mahalnya biaya kesehatan saat ini.

Selain memberi operasi gratis, ia mengupayakan pasien miskin mendapat bantuan biaya pengobatan selama dan pasca-operasi. Bersama tim dokter jantung, Tahalele tidak malu "mengemis" kepada para dermawan. "Operasinya gratis, tetapi peralatan dan obatnya kan tetap harus bayar," kata profesor yang selalu berpenampilan sederhana ini. ►e-ti/runik sri astuti, Kompas, Rabu, 26 Januari 2005.

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)