|
C © updated 27012005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/rpr |
|
|
Nama:
Kristiani Herrawati Yudhoyono
Lahir:
Yogyakarta, 6 Juli 1952
Suami:
Susilo Bambang Yudhoyono
Menikah:
Jakarta, 30 Juli 1976
Ayah:
Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo (Alm)
Anak:
1. Agus Harimurti Yudhoyono, Letnan Satu Infantri
2. Edhie Baskoro Yudhoyono, pendidikan Sekolah Bisnis S-2 di Australia
Pekerjaan:
Ibu Negara 2004-2009
Pendidikan:
Fakultas Kedoteran Universitas Kristen Indonesia (FK-UKI) Jakarta
Karir Politik:
Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat
Alamat Rumah:
Jalan Alternatif, Puri Cikeas Indah, Cibubur, Jakarta Timur.
|
|
|
|
|
|
|
Kristiani Herrawati
Pendamping Sepadan Presiden
Lahir, dibesarkan dan berkeluarga di lingkungan para perwira militer,
kemudian diperkaya dengan jabatan politik sebagai Wakil Ketua Umum DPP
Partai Demokrat, telah memberi bekal kepada Ibu Negara (The First
Lady) ini sebagai pendamping yang sepadan bagi suaminya, Susilo
Bambang Yudhoyono, menjalankan pengabdian sebagai Presiden RI
(2004-2009).
Dia, Kristiani Herrawati, diyakini akan berperan baik sebagai
isteri dan mitra bagi SBY. Bahkan akan mampu berperan sebagai mata dan
telinga bagi sang presiden pilihan rakyat itu. “Kalau saya diminta
menjadi mitra, suatu saat suami ingin mendengar masukan-masukan dari
saya, tentu akan saya berikan. Tetapi, keputusan tetap ada di Bapak,”
kata Ibu Negara kelahiran Yogyakarta 6 Juli 1952 itu.
Dia juga menegaskan sikapnya bersama SBY yang sejak dahulu tidak suka
ber-KKN. “Mudah-mudahan saat Bapak jadi presiden, tak melakukannya.
Sebab kalau kami tidak suka melihat orang lain melakukannya, kami pun
tidak boleh melakukannya,” kata puteri Mayor Jenderal TNI Sarwo Edhie
Wibowo itu.
Kisah Bertemu SBY
Dalam suatu kesempatan Kristiani Herrawati atau biasa dipanggil Ani
sedang menjalani masa libur kuliah lalu pergi menemui ayahnya Mayor
Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo ke Magelang, Jawa Tengah. Sarwo Edhie
mantan Komandan Jenderal Resimen Para Komando Angkatan Darat (Danjen
RPKAD), korps yang pernah mendapatkan tugas membersihkan pelaku
pemberontakan G 30S/PKI, ketika itu sedang mengemban tugas sebagai
Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri)
Magelang, Jawa Tengah.
Ani kelahiran Yogyakarta 6 Juli 1952 putri ketiga yang paling disayangi
Sarwo Edhie memilih menetap di Jakarta tidak ikut ayah dan ibunya
bermukim di Magelang, dengan maksud untuk menyelesaikan kuliah di
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (FK-UKI), Jakarta.
Pada sisi lain seorang taruna bernama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
yang sedang duduk di tingkat empat dan menjabat sebagai Komandan Divisi
Korps Prajurit Taruna (Dankorpratar) Akabri, Magelang, harus menghadap
dan melapor ke Sang Gubernur Akabri, Mayor Jenderal TNI Sarwo Edhie
Wibowo. Dilaporkan sebuah acara taruna akan berlangsung di Balai Taruna
Akabri Magelang. Gubernur Akabri diminta oleh Komandan Divisi Korps
Taruna kelahiran Pacitan, Jawa Timur 9 September 1949 tersebut hadir
untuk memberikan kata sambutan peresmian Balai Taruna Akabri tersebut.
Bagi orang rumah seperti istri Sarwo Edhie, nama dan wajah Susilo
Bambang Yudhoyono sudah sangat familiar. Pemuda santun dan ramah serta
berpostur tinggi kekar yang kerap berkunjung ke rumah Gubernur ini telah
berhasil “merebut” hati istri Sarwo Edhie. “Ibu saya lebih dulu kenal
karena dia sering main ke rumah di Magelang. Ibu jatuh sayang kepadanya,
mungkin karena perilakunya yang santun," tutur Ani.
Ketika harus menghadap menyampaikan laporan itulah pandangan mata dan
hati antara Susilo dan Ani tak terhindarkan. Jantung Susilo berdetak
kencang dan pipi Ani tersipu malu. Keduanya menyempatkan diri berkenalan
dilanjutkan pembicaraan singkat di tengah-tengah acara peresmian balai
taruna.
“Dia dewasa sekali,” kenang Ani tentang pria muda berpostur tinggi besar
yang tampak gagah berpakaian dinas taruna sehingga memikat hatinya. Ani
adalah wanita muda berparas cantik. Susilo ingin mengenal Ani lebih
dekat. “Itu, saya kira jalan Tuhan,” sebut Susilo Bambang Yudhoyono
mengenang pertemuan pertama mereka.
Hubungan kedua sejoli kian dekat. Ani tetap memilih tinggal menetap di
Jakarta. Tahun 1973 Ani sudah mencapai jenjang pendidikan tingkat tiga
di FK-UKI. Dengan Susilo yang masih taruna di Magelang Ani merajut tali
kasih melalui surat-menyurat. Berpuluh-puluh surat berikut puisi karya
Susilo, yang kata Ani begitu romantis, pernah mampir di rumahnya Jalan
Flamboyan, Jakarta. Nama jalan yang pernah menjadi judul sebuah puisi
Susilo. Isi puisi “Flamboyan” hingga kini masih dihafal betul oleh Ani.
“Mungkin, waktu itu sedang mekar bunga flamboyan, sehingga ia ingat
seseorang yang ada di Jalan Flamboyan,” kata Ani mencari sebab mengapa
Susilo memberi judul puisi demikian, tanpa mau menjelaskan mengapa masih
dan hanya ingat judul Flamboyan itu.
Ketika Sarwo Edhie ditugaskan menjadi Duta Besar RI di Korea Selatan,
berkedudukan di Seoul, kali ini Ani memilih ikut jejak sang ayah menetap
di Seoul. Untuk memelihara tali kasihnya dengan Susilo pada Februari
1974 sebelum berangkat ke Seoul Ani dan Susilo menyempatkan diri
bertunangan. Ketika satu setengah tahun kemudian Ani sudah kembali
berada ke tanah air ingin hendak menikah Susilo justru sedang tugas
belajar pendidikan Airborne dan Ranger di Amerika Serikat. Barulah
setelah Susilo pulang dari pendidikan kedua sejoli pada 30 Juli 1976
sepakat membina rumahtangga baru.
Pernikahan Ani dengan Susilo unik. Mereka menikah dalam satu ruang dan
waktu yang sama dengan seorang kakak dan seorang adik Ani, berlangsung
di Hotel Indonesia Jakarta. Pertama adalah pasangan kakaknya Wrahasti
Cendrawasih dengan Jenderal Erwin Sudjono, kedua pasangan Kristiani
Herrawati dengan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, dan ketiga pasangan
adiknya Mastuti Rahayu dengan Jenderal Hadi Utomo. Pengunjung hotel
berikut tamu-tamu hotel warga asing menyaksikan prosesi tiga pernikahan
berlangsung sekaligus seperti layaknya sebuah parade. Ketiga menantu
Sarwo Edhie itu adalah sama-saman mantan taruna Akabri yang berhasil
mencapai pangkat berbintang.
Tiga pesta pernikahan saudara sekandung berlangsung sekaligus adalah
pilihan Sarwo Edhie, seorang jenderal petinggi bangsa yang memilih sikap
hidup sangat sederhana. Sebagai duta besar di negeri asing Sarwo Edhie
merasa enggan bila tiap tahun harus minta izin pulang ke tanah air untuk
menikahkan satu persatu putrinya. Sementara, mempersilakan putri yang
lebih muda menikah lebih dahulu dianggap Sarwo sesuatu yang tabu. Ani,
mengulang penjelasan dan pertimbangan Sarwo Edhie ketika itu, “Rasanya
tidak enak kalau meminta izin ke presiden untuk pulang setiap tahun
mengawinkan anak. Sementara untuk menikahkan yang lebih muda dulu, Bapak
tidak mau. Tabu, katanya.”
Nama penuh makna
Sebagai putri kesayangan nama Kristiani Herrawati ditabalkan sendiri
oleh Jenderal Sarwo Edhie Wibowo. Inspirasinya berasal dari cerita
pewayangan, dunia yang disukai Sarwo. Ani lahir di Yogyakarta 6 Juli
1952 persis pada saat Sarwo sedang bertugas di Batalyon Kresna. Jika
diberi kepada putri ketiganya itu nama Kresna atau Kresno, rasanya tidak
cocok. Sarwo lalu memikirkan nama Kresnowati yang juga dirasakan tidak
sreg, atau kata Ani lucu, mengulang pendapat ayahnya.
Terakhir kali muncullah nama Kristiani. Nama ini sempat dijadikan
komoditas kampanye negatif sebab Kristiani Herrawati diisukan beragama
Nasrani, terkait dengan namanya Kristiani yang memang identik dengan
agama Nasrani. Tentang tambahan nama Herrawati, kata Ani, menurut
ayahnya mempunyai arti penting sebagai “Angin besar yang bisa menyapu
bersih kalau terjadi huru-hara”.
Lima hari setelah menikah Ani segera diboyong Susilo Bambang Yudhoyono
ke asrama Batalyon 330 di Dayeuh Kolot, Bandung. Ani hendak
diperkenalkan Susilo sebagai istri kepada keluarga besar Brigade
Infanteri (Brigif) Lintas Udara (Linud) 17 Kostrad. Susilo keika itu
sedang menjabat Komandan Peleton 3, Kompi A, Yonif Linud 330. Pada hari
itu juga Susilo mendapat perintah bertugas ke Timor Timur (Timtim),
menyusul sejumlah anggota pasukan yang tergabung dalam Batalyon 305 yang
sudah lebih dahulu berangkat. Ani nyaris disuruh pulang sendiri ke
Jakarta jika saja tidak dicegah oleh protes kawan-kawan Susilo.
Persis seminggu setelah menikah Susilo berangkat ke medan tempur
menunaikan tugas Operasi Seroja di Timor Timur, berangkat bersama Kapten
Nico Tumatar dari Kopassus. Ani, sebagai putri seorang jenderal dapat
memahami kepergian suami. Dia memang sudah siap jika harus
ditinggal-tinggal pergi. Ani hanya merasa khawatir akan keselamatan
suaminya di medan laga, sebab komunikasi diantara mereka terputus.
Kekhawatiran semakin memuncak manakala mendengar kabar teman berangkat
suaminya Kapten Nico Tumatar tewas di medan laga Timor Timur. Barulah
beberapa bulan kemudian Susilo kembali dengan tanpa kekurangan suatu apa
pun.
Sepuluh tahun kemudian kejadian sama masih berulang. Susilo berangkat ke
daerah Timor Timur yang pada tahun 1986-1988 masih belum sepenuhnya aman.
“No news is a good news,” atau jika tidak ada berita itu berarti adalah
berita bagus, pesan Susilo, menenangkan hati istri untuk tidak perlu
mengkhawatirkan keselamatan suami.
Ketika pada bulan Desember 1977 Herrawati diidentifikasi hamil. Susilo
luar biasa senang. Susilo adalah anak tunggal alias semata wayang. Ada
rasa takut padanya jika istrinya susah hamil. Rumahtangga harmonis itu
akhirnya dikaruniai dua orang putra. Agus Harimurti Yudhoyono, kini
seorang letnan satu infantri, dan si bungsu Edhie Baskoro Yudhoyono yang
sedang menyelesaikan pendidikan sekolah bisnis S-2 di Australia.
Sebelum memutuskan sesuatu, keluarga Susilo selalu mengedepankan
musyawarah. Susilo tak pernah mengambil keputusan apalagi jika tentang
rumah tangga sebelum berbicara dengan istrinya. Kehidupan keluarga ini
berjalan harmonis.
Aktif Berpolitik
Semakin dekat kepastian suaminya, yang berpasangan dengan Muhammad Jusuf
Kalla melangkah ke Istana semakin tinggi pula tingkat kesibukan
Kristiani Herrawati. Terlebih ia sendiri adalah Wakil Ketua Umum DPP
Partai Demokrat, partai besutan baru namun segera sukses
menggelembungkan popularitas suaminya.
“Saya masuk partai karena ingin meningkatkan kualitas SDM partai. Ini
supaya Partai Demokrat bisa menjadi partai alternatif di masa depan,”
kata Ani yang partainya berhasil meraih suara 8.455.225 suara atau 7,45%
pada Pemilu Legislatif 5 April 2004, dan menempatkan Partai Demokrat
meraih 57 kursi di DPR RI, terbesar kelima setelah Partai Golkar, PDI
Perjuangan, PKB dan PPP.
Kesuksesan diulang pada Pemilu Presiden 5 Juli dan 20 September 2004
yang berhasil menggolkan suaminya sendiri, Susilo Bambang Yudhoyono
berpasangan dengan Muhammad Jusuh Kalla sebagai peraih suara terbesar.
Artinya, bersamaan itu pula Kristiani Herrawati terpilih sebagai the
first lady di negara bependuduk 220 juta jiwa.
Sebagai wakil ketua umum partai, peran Ani adalah “mata dan telinga”
Susilo untuk mengikuti perkembangan dan dinamika terbaru di Partai
Demokrat. Jadwal Ani mulai padat mengikuti gerak suaminya. Dimana ada
Susilo Bambang Yudhoyono di situ pula hampir selalu ada Kristiani
Herrawati.
Ketika itu, Ani menyebutkan jika suaminya memang harus ke Istana maka ia
akan tetap mengambil peran sebagai istri. “Tetapi, jika suatu saat saya
dimintakan peran sebagai mitra, saya akan tampil sebagai mitra. Kalau
saya diminta menjadi mitra, suatu saat suami ingin mendengar
masukan-masukan dari saya, tentu akan saya berikan. Tetapi, keputusan
tetap ada di Bapak,” kata Ani, perihal perannya sebagai the first lady
melebihi Ibu Rumah Tangga Biasa atau wakil ketua umum partai.
Sebagaimana makna kata Herrawati dalam nama pemberian ayahnya, Ibu
Negara ini sudah dan masih akan membuktikan diri sebagai penolong
terhadap langkah karir politik suaminya. Sebagai misal, di setiap
langkah politik Susilo menuju Istana termasuk ke daerah-daerah menemui
konstituen, Ani adalah “konsultan” utama dalam memoles penampilan fisik
SBY yang memberi hasil penampilan sportif, cair, trendy dan menarik
perhatian setiap pemilih pemula demikan pula remaja putri dan ibu-ibu
rumahtangga biasa.
Ani juga memperlengkapi suaminya dengan sejumlah vitamin untuk menjaga
vitalitas dan determinasi fisik. Ketika suaminya berdialog dengan rakyat,
Ani ikut sibuk mencatat kata demi kata setiap aspirasi warga, demikian
pula janji-janji yang terlontar dari mulut sang suami jika kelak
terpilih. “Suatu saat nanti saya ingin mengingatkan Bapak bahwa ini
adalah keinginan masyarakat," ucap Ani.
Beragam peran sudah menunggu untuk dilakukan oleh Kristiani. Seperti
dikatakan sang suami, yang dengan bijaksana menyebutkan, “Sebaiknya ia
memberikan kontribusi yang cocok, bergiat untuk pendidikan dan
pemberdayaan perempuan. Semua harus didengar, tapi tidak mencampuri
keputusan.”
Lahir dan dibesarkan serta berkeluarga di lingkungan para perwira yang
kemudian diperkaya dengan jabatan politik sebagai Wakil Ketua Umum DPP
Partai Demokrat, telah memberi bekal kepada The First Lady terasah dan
terampil menjalani kehidupan politik. Ani telah menjalani masa-masa
pengujian perihal bakat, kemampuan dan talenta berpolitik yang tergolong
unggul bila dibandingkan wanita-wanita lain, istri para politikus. Di
lingkungan para petinggi Partai Demokrat, Kristiani sudah dikenal
sebagai politisi yang berbobot.
Ketika suaminya bersama para kandidat capres dan cawapres lain pada hari
pertama kampanye pemilu presiden putaran pertama sepakat berikrar dan
menandatangani prasasti berbunyi “Siap Menang, Siap Kalah”, di Lapangan
Monas, Jakarta 1 Juni 2004, Kristiani justru hadir di tengah-tengah
ratusan kaum hawa yang berkumpul di sebuah restoran di kawasan Taman Ria
Senayan, Jakarta.
Ketika acara ini dijambangi suaminya yang terjadi kemudian adalah,
Susilo “diperebutkan” para kaum hawa tadi diajak untuk sekadar mengobrol,
bersalaman, berfoto bersama, hingga meminta tanda tangan segala. Ani
memang sengaja menelepon Susilo mengajak suaminya itu hadir di
tengah-tengah para kaum hawa.
“Saya mengundang 100-an perempuan dari berbagai profesi untuk
mengampanyekan program-program Bapak,” ujar Ani kepada para wartawan
yang merubunginya. “Itu penting, supaya ibu-ibu jangan sampai membeli
kucing dalam karung,” tambahnya.
Layaknya seorang politisi kawakan ketika itu Ani menyebutkan kalau kaum
perempuan sangat menentukan dalam pemilu presiden dan wakil presiden.
Karena jumlahnya lebih kurang 52%. “Karena itu, aspirasi kaum perempuan
juga mesti diakomodasi, antara lain melalui SBY Women's Fans Club,”
papar Ani yang lincah menjawab pertanyaan wartawan, termasuk ketika
diminta menggagas pendapat soal pemberantasan KKN.
“Sejak dahulu saya dan Bapak tidak suka ber-KKN. Mudah-mudahan jika
Bapak jadi presiden, tak melakukannya. Sebab kalau kami tidak suka
melihat orang lain melakukannya, kami pun tidak boleh melakukannya,”
kata Kristiani Herrawati. ► e-ti/ht
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|