|
|
|
Nama:
Tanri Abeng, MBA
Lahir:
Selayar, Sulawesi Selatan, 7 Maret 1942
Isteri:
Farida Nasution
Pendidikan:
- Beasiswa "American Field Service"
- Fakultas Ekonomi Universitas Hasanudin, Ujungpandang
- Program Master of Business Administrasion, University of New York,
Buffalo.
Karir:
- PT Union Carbide Indonesia
- Presdir PT Perusahaan Bir Indonesia (sekarang PT Multi Bintang
Indonesia)
- Presdir Grup bakrie
- Meneg Pendayagunaan BUMN Kabinet Pembangunan VII
- Meneg Pendayagunaan BUMN Kabinet Reformasi
Buku:
Dari Meja Tanri Abeng: Managing atau Chaos, Pustaka Sinar Harapan
(2000).
|
|
Tanri Abeng
Manajer Satu Miliar
Tanri Abeng, seorang manajer handal Indonesia. Ia adalah ikon majaner
profesional Indonesia. Pada masanya, ia dijuluki Manajer Satu Milyar.
Jumlah nilai ‘transfernya’ dari Multi Bintang Indonesia (MBI) ke Bakrie
Group. Ia sukses menakhodai kedua perusahaan itu. Salah satu resepnya
adalah keberaniannya mengambil tantangan dan risiko. Setelah mencapai
puncak karir sebagai CEO, ia pun dipercaya menjabat Menteri Negara
Pemberdayaan BUMN Kabinet Pembangunan IV dan Kabinet Reformasi.
Suami Farida Nasution ini lahir di pelosok desa Pulau Selayar, Sulawesi
Selatan tanggal 7 Maret 1942, dari sebuah keluarga miskin. Sejak kecil ia
telah memperlihatkan keuletan dan kemauan bekerja keras. Ia sangat rajin
belajar, seraya bekerja mencari uang untuk menopang kebutuhan
sehari-harinya. Ia memberi les dan menstensil catatan-catatan sekolah dan
kuliah untuk dijual kepada peserta les dan pelajar atau mahasiswa lain
yang membutuhkan.
Kesungguhannya balajar membuatnya terpilih sebagai peserta program
pertukaran pelajar American Field Service. Ketika di Amerika itu, ia pun
menemukan orangtua asuh, yakni keluarga Gibson. Selepas itu, ia kembali ke
tanah air dan melanjutkan kuliah di Universitas Hasanudin. Semasa kulia
itu, ia pun sambil bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan eksportir dan
mengajar bahasa Inggris di sebuah SMA.
Kemudian, ia memperoleh beasiswa untuk mengambil Master of Business
Administration dari State University, New York. Gelar yang masih langka di
Indonesia pada masa itu. Setelah lulus MBA itu, ia bergabung dengan Union
Carbide. Dimulai dari management trainee di Amerika Serikat. Ketika masih
berusia 29 tahun, ia pun sudah menduduki jabatan direktur keuangan dan
Corporate Secretary di perusahaan multinasional tersebut.
Kemudian, lima tahun berikutnya, ia dialihtugaskan ke Singapura dan
bertanggungjawab atas pemasaran di Eropa, Asia dan Afrika. Ketika karirnya
tengah menanjak di Union Carbide itu, pria berkumis ini malah hengkang,
memilih masuk ke PT Perusahaan Bir Indonesia (sekarang Multi Bintang
Indonesia). Padahal di Union Carbide, ia pun diiming-iming gaji dan
fasilitas sebagai presiden direktur. Tapi ia tak bergeming. Ia berani dan
kukuh dalam pilihannya.
Tahun 1979, ia resmi pindah, menjadi CEO (Chief Executive Officer) di
Multi Bintang. Di sini ia berhasil menaklukkan tantangan kerja
sehari-hari. Tangan dinginnya berhasil mengangkat perusahaan multinasional
ini menjadi bintang pasar minuman di Indonesia. Saat itu, sejalan
perkembangan pesat perusahaan ini, namanya berganti dari PBI (Perusahaan
Bir Indonesia) menjadi PT MBI (Multi Bintang Indonesia).
Saat mencapai keberhasilan puncak di MBI, tahun 1991, ia pun mendapat
tantangan baru menjadi CEO di Bakrie Brothers. Tantangan itu ditangkapnya
dengan nilai transfer satu milyar rupiah. Sejak itu ia digelari Manajer
Satu Milyar. Manajer dengan nilai tertinggi pada masa itu. Namun pihak MBI
tetap memintanya menjadi Non Executive Chairman di perusahaan itu. Di
Bakrie ia kembali membuktikan kemampuannya sebagai manajer nomor wahid. Di
sini ia melakukan turn around dengan melakukan restrukturisasi,
profitisasi, dan akhirnya menjadi perusahaan publik. Dalam setahun ia
telah berhasil meningkatkan keuntungan kelompok usaha Bakrie hingga 30%.
Di tengah kesibukannya sebagai CEO, ia juga memegang banyak posisi senior
non eksekutif di banyak organisasi kepemerintahan dan LSM seperti Komisi
Pendidikan Nasional, Badan Promosi Pariwisata, Dana Mitra Lingkungan,
Asosiasi Indonesia Imggris, Institut Asia-Australia, Yayasan Mitra Mandiri
dan sebagainya.
Lalu ketika pemerintah berniat melakukan pendayagunaan (restrukturisasi
dan privatisasi BUMN), ia pun menjadi orang yang dinilai paling pantas
(kompeten) untuk itu. Ia pun diangkat menjabat Menteri Negara
Pendayagunaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Kabinet Pembangunan VII,
kebinet terakhir pemerintahan Soeharto (1998). Di sini ia menakhodai 164
BUMN dengan 1.300 anak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang dengan
nilai total mencapai kisaran Rp 500 triliun.
Ia merasa enjoy dan sekaligus tertantang. "Selain merupakan sesuatu yang
berat, tugas itu merupakan suatu kehormatan luar biasa karena saya
termasuk dalam kabinet penuh tantangan," ujarnya kepada pers ketika itu.
Setelah Presiden Soeharto lengser, digantikan BJ Habibie, ia pun tetap
dipercaya di posisi yang sama dalam Kabinet Reformasi (25 Mei sampai
dengan 13 Oktober 1999). Secara konseptual ia telah menggariskan
langkah-langkah pendayagunaan BUMN demikian baiknya. Namun di titik ini
garis nasibnya mulai bergeser. Tampaknya semangat profesionalismenya,
sadar atau tidak, terkontaminasi ambisi politik pribadi, atau sekedar
solidaritas politik. Ketika itu, ia mulai memasuki wilayah politik yang
sebelumnya tidak pernah ia sentuh.
Ia pun diisukan ikut menjadi anggota Tim Sukses Habibie dalam Pemilu 1999.
Konon, ia ikut terlibat dalam intrik-intrik kotor untuk menggolkan
Habibie. Salah satunya, dengan menyikat rupiah dari pundi-pundi Bank Bali.
Akibatnya, ia sempat mesti sibuk berurusan dengan aparat penegak hukum dan
DPR.
Skandal Bank Bali, boleh dibilang, telah membuatnya terpuruk dalam lilitan
persoalan. Untuk bisa keluar ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Ia harus mengklarifikasi tuduhan ikut hadir dan terlibat dalam pertemuan
tanggal 11 Februari dan 26 Mei 1999 di hatel Mulia. Sebuah pertemuan yang
menggagas "perampokan" Bank Bali tersebut. Ia memang menyangkal pernah
hadir. Bahkan mengatakan pertemuan semacam itu tidak pernah ada. Dan,
mungkin karena ‘kekuatan politik’ kasus ini, hingga kini belum pernah
tuntas.
Kini ia lebih banyak mencurahkan waktunya untuk mengembangkan pemikiran
dan pendidikan manajemen, termasuk penulisan buku manajemen. Tahun 2000,
ia meluncurkan buku "Dari Meja Tanri Abeng: Managing atau Chaos", yang
diterbitkan Pustaka Sinar Harapan.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari berbagai sumber
|
|