|
C © updated 20012006 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/suara pembaruan |
|
|
Nama
Soedarjo
Lahir
Jakarta 19 Desember 1922
Wafat:
Jakarta, 18 Januari 2006
Agama:
Kristen
Isteri:
Soekini Soedarjo
Anak:
- Sasongko Soedarjo
- Rudianto Soedarjo
- Soeharjo Soedarjo
- Soedarniati Soedarjo
- Istiani Soedarjo
- Soetikno Soedarjo
Harijadi Soedarjo
Ayah:
Soerjadi
Ibu:
Atmawati
Pendidikan:
- HIS
- AMS
- Pendidikan Khusus Perkeretaapian
- Fakultas Hukum Universitas Indonesia sampai 1951
Pekerjaan:
- Kepala stasiun kereta api Bogor, pada usia 26 tahun
- Kepala stasiun kereta api di Sukabumi dan di Jakarta, pada zaman
pendudukan Belanda
- Pengusaha di berbagai bidang usaha broker karet, kopi, lada dan
perkebunan
- Presiden Komisaris PT Sinar Kasih, yang menerbitkan Sinar Harapan
(diberangus pemerintah Oktober 1986)dan penerbit Mutiara, 1983 - 2000
- Komisaris PT Sinar Agape Press (percetakan untuk harian Sinar Harapan)
1971-1977
- Presdir PT Media Interaksi Utama
- Pemimpin Umum Harian Suara Pembaruan (1987-1999)
- Preskom PT Radio Pelita Kasih
- Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia
- Ketua Yayasan Rumah Sakit PGI Cikini
Penghargaan:
Satya Lencana Wirakarya sebagai pejuang (1944-1952)
Alamat Rumah Keluarga:
Jalan Wijaya 1/67, Jakarta Selatan
|
|
|
|
|
|
|
SOEDARJO HOME |
|
|
Soedarjo
Pengusaha Dermawan dan Bersahaja
Pengusaha dan tokoh pers nasional, Soedarjo, meninggal dunia di
kediamannya Jalan Wijaya 1/67, Jakarta Selatan, dalam usia 83 tahun, Rabu
18 Januari 2006, pukul
16.05. Mantan Pemimpin Umum Harian Suara
Pembaruan kelahiran Jakarta 19 Desember 1922, itu dikenal sebagai sosok
pengusaha yang dermawan dan bersahaja.
Penganut agama Kristen berdarah Jawa-Sunda-Betawi, yang akrab
dipanggil Pak Darjo, itu meninggalkan seorang istri, Soekini (78), lima
putra, dua putri, dan 19 cucu. Setelah dilakukan kebaktian di rumah
kediaman Jalan Wijaya
1/67, Jakarta Selatan, sekitar pukul 20 (18/1), kemudian jenazah
almarhum disemayamkan di rumah putri tertua Sudarniati Soedajo, Jalan
Brawijaya II No 18 Kebayoran Baru Jakarta Selatan dan di Gereja Kristen
Indonesia, Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Kemudian dimakamkan
Jumat 20 Januari 2006 pukul 11.00 di Taman Pemakaman Umum Jati
Petamburan.
Mantan Presiden Direktur PT Media Interaksi Utama, penerbit Suara
Pembaruan, itu pernah mengecap pendidikan HIS, AMS, dan pendidikan khusus
perkeretaapian untuk menjadi kepala stasiun, dan sempat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sampai 1951.
Putera bangsa kelahiran Jakarta, 19 Desember 1922 dari pasangan
Soerjadi dan Atmawati, itu mengawali kariernya di perusahaan kereta api
pada masa penjajahan Belanda. Dia pun menyelesaikan pendidikan khusus
perkeretaapian.
Saat pendidikan menjadi kepala stasiun kereta api, itu Soedarjo mengasah
kemahiran berbahasa Belanda dan berbahasa Inggris. Keahlian dan
kemahiran berbahasa Belanda dan Inggris itu
mengantarnya untuk menggantikan orang Belanda memimpin stasiun kereta
api Bogor, pada usia 26 tahun. Setelah itu, dia pun memimpin stasiun
kereta api di Sukabumi dan di Jakarta, pada zaman pendudukan Belanda.
Soedarjo juga berkesempatan memimpin Kereta Api
Kepresidenan RI. Ketika itu, pada suatu malam hari di akhir Desember
1945, dia ikut dalam usaha penyelamatan Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden M Hatta serta sejumlah menteri dari Jakarta ke Yogyakarta,
setelah Jakarta dianggap tidak aman bagi para pemimpin RI.
Bersama teman-temannya, dia melangsir mundur gerbong-gerbong kereta
api dari Stasiun Manggarai, untuk dihentikan tepat di belakang rumah
Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Gedung Pola). Bung
Karno dan para pemimpin Republik Indonesia yang baru diproklamasikan itu naik ke
gerbong, dan kemudian dilarikan ke Yogyakarta. Semua dilaksanakan dengan
hati-hati, tanpa lampu, agar tidak ketahuan Pasukan Sekutu! Atas jasa
itu, pemerintah menganugerahi Satya Lencana Wirakarya sebagai pejuang
(1944-1952).
Namun, dalam usia 30 tahun, dia meninggalkan jabatan yang sangat terhormat untuk pribumi
kala itu. Sejak 1952, dia memilih menapaki perjalanan hidup dalam dunia
bisnis. Dia memulai usaha sebagai broker karet.
Kemudian merambah ke bisnis kopi. Bahkan tiga tahun kemudian, dia sudah
mengikuti kegiatan bursa lelang di Jerman dan Belanda.
Perusahaannya pun makin berkembang hingga menangani berbagai bidang, yakni
ekspor, impor, industri, pertanian dan perkebunan, asuransi, industri
pers, perbankan, dan industri farmasi. Di antaranya mengelola perkebunan
karet Tigaraksa di Balaraja. Tahun 1954 mendirikan PT Indonesia Brokers
Association Jakarta.
Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia dan Ketua Yayasan Rumah
Sakit PGI Cikini, itu meraih sukses dalam bisnis tanpa mendapat fasilitas khusus
apa pun dari pemerintah. Sehingga dia dijuluki "pejuang
pengusaha dan pengusaha pejuang".
Seraya tetap menggeluti bisnisnya di berbagai bidang termasuk perkebunan
yang berlokasi di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur, Soedarjo mulai terjun ke usaha penerbitan,
pada 1977, atas ajakan HG Rorimpandey (almarhum) dan teman-temannya. Bergabung
di
Harian Sinar Harapan dan mendirikan percetakan PT Sinar Agape Pers.
Dia menjabat Presiden Komisaris PT Sinar Kasih, yang menerbitkan
Sinar Harapan (diberangus pemerintah Oktober 1986), Mutiara, 1983 - 2000
serta komisaris di PT Sinar Agape Press (percetakan untuk harian Sinar
Harapan) 1971-1977. Juga menjabat Komisaris PT Sitra Express, 1978 -
2001, dan Komisaris PT Pustaka Sinar Harapan, 1981 - 2000.
Kemudian 1987 - 1998 menjabat Presiden Direktur PT Media Interaksi
Utama, penerbit Suara Pembaruan, pengganti Sinar Harapan, sekaligus
menjabat Pemimpin Perusahaan koran sore tersebut. Juga menjadi Presiden
Komisaris PT Radio Pelita Kasih.
Kendati kesibukannya di dunia usaha pers, Soedarjo tetap aktif
mengembangkan usahanya di bidang perkebunan, perkapalan, perbankan,
serta pernah beberapa kali memimpin Rumah Sakit PGI Cikini, dan Yayasan
Universitas Kristen Indonesia. Sebagai importir dia yang memperkenalkan
mesin-mesin percetakan untuk koran Solna Printing. Soedarjo menekuni dunia pers sampai akhir hayatnya.
Kebahagiaan Keluarga
Soedarjo juga dikenal sebagai kepala
rumah tangga yang sukses memimpin keluarga. Anak-anaknya berhasil
menyelesaikan pendidikan, dan sebagian mengikuti jejaknya menjadi
pengusaha. Dari ketujuh anaknya (lima pria dan dua perempuan), Soedarjo dikaruniai 19 cucu.
Pada hari tuanya, cucu-cucunya menjadi salah satu kebanggaan dan
kebahagiaan tersendiri baginya. Kepada cucunya, dia menerapkan
pendidikan dan bimbingan yang pernah ia terima dari kakeknya, seorang
guru jemaat di GKI Kwitang, Jakarta Pusat.
Di kalangan aktivis gerakan oikoumene, Soedarjo dikenal sebagai dermawan,
donator, yang tak segan mengulurkan tenaga, waktu dan dana. Ia
memberikan perhatian kepada semua kalangan, tanpa pernah membedakan
latar belakangnya.
Soedarjo pernah menjabat Ketua Panti Jompo Doorkas, Ketua Yayasan
Universitas Kristen Indonesia (UKI). Ia aktif dalam proyek pembangunan
gereja, khususnya GKI Kebayoran Baru Jalan Panglima Polim, Jakarta
Selatan.
Hingga akhir hayatnya, Soedarjo tercatat sebagai Ketua Yayasan Kesehatan
PGI Cikini, yang dijabatnya sejak 1983.
Soedarjo bekerja di ladang Tuhan hingga akhir hayat. Suatu doa yang dia
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih sejak lama, selain pengucapan
syukur yang tiada berkeputusan, dan dikabulkanNya.
Kisah Sang Dermawan
Harian Suara Pembaruan pada penerbitan Kamis 19 Januari 2006
menyajikan sepenggal kisah tentang kelembutan, kebersahajaan dan
kedermawanan Soedarjo.
Kisahnya tentang seorang sopir truk, yang mungkin mengantuk, telah menabrak pagar rumah
di Jalan Wijaya I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Hari masih pagi
benar. Saat itu, arus lalu lintas belum sepadat sekarang.
Bunyi tabrakan bukan membuat satpam di rumah itu keluar. Warga sekitar
pun berdatangan. Sementara si sopir turun, dan berniat bertemu si
pemilik rumah. Terbayang sudah, dia harus mengganti kerusakan pagar
akibat kecerobohannya. Tak terkira jumlah uang yang harus dibayar dari
gajinya yang tak seberapa.
Maklum, si sopir tak menyadari berurusan dengan siapa. Meskipun tak
kenal, dia yakin pemilik rumah di jalan Wijaya itu pasti bukan orang
sembarangan. Tak ayal lagi, saat bertemu muka, sopir truk langsung
memeluk kaki sang pemilik rumah.
Dengan wajah memelas, sopir itu mengiba maaf. Sedetik, dua detik, tak
ada sumpah serapah. Tak ada caci maki. Empunya rumah, malah bertutur
halus, menanyakan asal-usul si sopir, arah tujuannya, dan
pertanyaan-pertanyaan sepele lain.
Alih-alih terkena marah, si sopir bahkan disuguhi air minum hangat.
Bahkan sarapan! Lebih mengagetkan lagi, si empunya rumah memberinya
amplop berisi uang, untuk memperbaiki moncong truknya yang rusak akibat
menyeruduk pagar tembok itu.
Kisah sopir truk hanya salah satu banyak kisah kedermawanannya. Masih
banyak kisah yang lain, yang tak sampai di telinga orang. Soedarjo
memang identik dengan kedermawanan. Bagi anggota keluarga Sinar Group,
Soedarjo, yang akrab dipanggil Pak Darjo, memang dikenal dan akan terus
dikenang sebagai pribadi yang sangat kebapakan, welas asih, sabar, dan
penuh perhatian.
Menurut Julia Yewangoe dan Joyce Tampemawa, sekretaris yang lama
melayani Soedarjo di PT Sinar Agape Press,
"Bantuan yang diberikan bukan hanya terbatas pada kalangan yang dikenal
atau akrab dengan beliau, tetapi juga kepada orang yang belum atau tidak
beliau kenal. Setiap menjelang Natal, surat-surat permohonan dari
seluruh Indonesia memenuhi meja beliau. Dan, boleh dikata semuanya
dijawab dan disumbang oleh beliau, sampai-sampai kami layaknya kantor
sosial saja yang menyalurkan sumbangan."
Permohonan bantuan terus datang, bahkan sampai Soedarjo pensiun.
Uniknya, permohonan itu masih dilayani. Walaupun pernah diingatkan
tentang benar tidaknya pemohon sungguh-sungguh memerlukan sumbangan itu,
Soedarjo tetap melayaninya.
"Benar atau tidak, biar saja, itu urusannya dengan Tuhan," kata Julia
maupun Joyce menambahkan. Dalam setiap kesempatan, Soedarjo memang
menekankan kejujuran kepada karyawannya.
"Perhatiannya kepada karyawan sangat besar. Setiap bepergian ke luar
negeri, tak usah jauh-jauh, ke Singapura pun, selalu membawakan
oleh-oleh. Bahkan sepotong cokelat pun, selalu ada, dan selalu dibagi
rata," kata Ria Losung, sekretaris direksi di lingkungan Sinar Group
yang juga lama bekerja sama dengan Soedarjo.
Ria menambahkan, beruntung atau tidak, ia mungkin satu-satunya orang
yang pernah melihat dan mendapati Soedarjo marah. "Baru sekali itu saya
melihat wajahnya memerah menahan marah.
Beliau mengeluarkan unek-unek, lebih sebagai keluhan daripada makian.
Itu terjadi ketika beliau terlibat dalam perjuangan yang memakan waktu,
tenaga, pikiran, dan dana, untuk menerbitkan kembali koran, setelah
Sinar Harapan dibredel pada Oktober 1986," katanya. ►e-ti/tsl,
dari berbagai sumber
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|