|
C © updated 20082005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti |
|
|
Nama:
KH Hasan Basri
Lahir:
Muara Teweh, Kalsel, 20 Agustus 1920
Meninggal:
-
Agama:
Islam
Isteri:
Nurhani
Ayah:
Muhammad Darun
Ibu:
Siti Fatmah
Pendidikan:
- Sekolah Rakyat. dan Diniyah Awaliyah Islamiyah (DAI) di Muara
Teweh (1928-1935)
- Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah di Banjarmasin (1935-1938)
- Sekolah Zu'ama Muhammadiyah di Yogyakarta (1938-1941)
Karir:
- Pendiri Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Marabahan,
Kalimantan Selatan (1941-1944)
- Pendiri Persatuan Guru Agama Islam di Kalimantan Selatan
- Anggota DPR-RI dari partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia),
1955
- Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
- Pendiri Bank Muamalat Indonesia (BMI), 1991
Sumber:
Berbagai sumber, terutama Buku KH Hasan Basri 70 Tahun
|
|
|
|
|
|
|
KH Hasan Basri
Mantan Ketua Umum MUI
Dia mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ulama
kelahiran Muara Teweh, kota kecamatan sekitar 600 km sebelah utara
Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 20 Agustus 1920, itu adalah
penggagas bank syariah di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya Bank
Muamalat Indonesia (BMI).
Sejak kecil, Hasan Basri sudah gemar belajar membaca Alquran, serta
mempraktekkan ajaran dan ibadah Islam. Kendati ayahnya, Muhammad Darun,
sudah meninggal dunia saat Hasan Basri berusia tiga tahun. Sang ibu,
Siti Fatmah membesarkannya bersama dua saudaranya. Dia putra kedua
dari tiga bersaudara.
Sang Ibu mendorongnya untuk rajin belajar. Pagi hingga siang, Hasan
kecil belajar di Sekolah Rakyat. Sore belajar di sekolah Diniyah
Awaliyah Islamiyah (DAI). Di sekolah DAI, dia belajar membaca Alquran,
menulis dan membaca tulisan Arab, serta mempraktekkan ajaran dan ibadah
Islam.
Dia murid cerdas, selalu menjadi yang terbaik. Sehingga dia sangat
disayang oleh gurunya yang memiliki nama sama dengan kakeknya, Haji
Abdullah. Maka, tatkala dia duduk di kelas tiga, gurunya mempercayainya
mengajar di kelas satu dan dua.
Selulus Sekolah Rakyat, Hasan yang mulai menanjak remaja harus
meninggalkan desa kelahirannya untuk melanjutkan sekolah di
Banjarmasin. Ia melanjut ke Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah di
Banjarmasin (1935-1938). Saat itu,
Buya Hamka, berkunjung ke Banjarmasin. Dia sangat mengagumi ulama
Muhammadiyah itu, apalagi setelah melihatnya berceramah. Sejak itu,
Hasan bercita-cita menjadi ulama seperti Buya Hamka.
Dia pun makin rajin belajar. Setamat MTs, dia melanjut ke Sekolah Zu'ama
Muhammadiyah di Yogyakarta (1938-1941). Dia menyelesaikan pendidikannya
dengan baik. Sesudah tamat, ia pun segera menikah di usia 21 tahun
dengan Nurhani.
Kendati masih terbilang masih sangat muda, dia bersama sang istri, sudah
berpikir lebih dewasa dari usianya. Pasangan suami-isteri muda ini
mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Marabahan, Kalimantan
Selatan. Mereka berdualah yang menjadi gurunya. Namun, 1944 madrasah itu
ditutup karena situasi perang. Dia sempat mendirikan Persatuan Guru
Agama Islam di Kalimantan Selatan.
Selain itu, Hasan Basri juga sering pidato dan khutbah di masjid, serta
ceramah di majlis taklim. Hal ini membuatnya sangat dikenal luas di
lingkungan masyarakatnya. Hal ini pula yang mendorong Hasan Basri terjun
ke gelanggang organisasi dan pergerakan politik.
Ia pun aktif dalam partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia)
yang diikrarkan sebagai satu-satunya partai politik Islam, kala itu.
Hasan Basri dan keluarga hijrah ke Jakarta, saat Negara Republik
Indonesia Serikat (RIS) terbentuk, dan dia terpilih menjadi anggota DPR
mewakili provinsinya.
Namun, tahun 1960 partai Masyumi dibubarkan pemerintah. Maka, dia
sebagai anggota Pimpinan Pusat Partai Masyumi tidak dapat lagi bergerak
dalam politik. Gerak politik ulama dan pemimpin Islam dipersempit,
terutama setelah DPR-RI hasil pemilu yang pertama tahun 1955 dibubarkan
dengan Dekrit Presiden Sukarno.
Sebagai ulama dan zu'ama (pemimpin Islam), dia merasa tidak ada lagi
organisasi politik yang cocok menyalurkan pemikiran dan pandangan
politik yang diyakininya. Maka, ia memutuskan untuk menekuni pelayanan
dakwah. Langsung terjun ke tengah-tengah masyarakat, mengawal moral dan
akidah umat. Dia pun akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang pertama, sampai dia meninggal dunia dan digantikan
Prof KH Ali Yafie.
Saat, menjabat Ketua Umum MUI, pemerintah melalui Menteri Keuangan
mengeluarkan Pakto (Paket Oktober) 1988, yang mendorong berdirinya bank.
Banyak umat Islam yang bertanya kepadanya mengenai bunga bank yang oleh
sebagian kalangan dianggap haram.
Selaku ketua umum MUI, dia mendengar keluhan umat Islam tersebut. Ia
merespon dengan menggelar seminar 'Bank Tanpa Bunga' di Hotel Safari
Cisarua Agustus 1991 dihadiri para pakar ekonomi, pejabat Bank
Indonesia, menteri terkait, serta para ulama. Waktu itu ada tiga
pendapat; ada yang menyebutkan bunga bank haram, bunga bank halal dan
ada juga yang berpendapat bunga bank syubhat.
Lalu, seminar itu merekomendasikan agar KH Hasan Basri, selaku Ketua
Umum MUI membawakan masalah itu ke Munas MUI yang diadakan akhir Agustus
1991. Munas MUI itu memutuskan agar MUI mengambil prakarsa mendirikan
bank tanpa bunga.
Untuk itu, dibentuk kelompok kerja yang diketuai oleh Sekjen MUI
waktu itu HS Prodjokusumo. Dilakukan lobi melalui BJ Habibie sampai
akhirnya Presiden Soeharto menyetujui didirikannya Bank Muamalat
Indonesia (BMI).
Resminya, BMI lahir 1 November 1991. Pada 3 Nopember 1991, atas prakarsa
Presiden Soeharto, dilakukan penghimpunan dana di Istana Bogor. Kemudian
setelah semua perangkatnya dilengkapi, BMI beroperasi 1 Mei 1992. ► e-ti/crs
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|