|
C © updated 01022005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/kompas |
|
|
Nama:
Tan Joe Hok (Hendra Kartanegara)
Lahir:
Bandung, 11 Agustus 1937
Agama :
Kristen
Isteri:
Goei Kiok Nio (Nikah 1965)
Anak:
Dua orang
Pendidikan :
= SD, SMP dan SMA Bandung
= Premedical Major in Chemistry & Biologi Universitas Baylor, Texas, AS
(1959-1963)
Karir dan Prestasi:
= Juara Kejurnas Surabaya (1956)
= Anggota Tim Bulu Tangkis Indonesia yang merebut Piala Thomas di
Singapura (1958)
= Putra Indonesia pertama menjuarai All England (1959)
= Putra Indonesia pertama meraih medali emas Asian Games (1962)
= Anggota Tim Thomas Cup Indonesia (1964-1967)
= Pelatih bulu tangkis di Meksiko (1969-1970)
= Pelatih bulu tangkis di Hong Kong (1971)
= Pelatih Tim Thomas Cup Indonesia di Kuala Lumpur (1984)
= Pelatih bulu tangkis PB Jarum Kudus
Usaha:
Direktur Mandala Pest Control (sejak 1973)
Penghargaan:
Pelatih Olah Raga Terbaik oleh SIWO/PWI Jaya (1984)
Alamat Rumah:
Jalan Jaya Mandala II No. 2 Pancoran, Jakarta 12870
|
|
|
|
|
|
|
Tan Joe Hok
Bahagia, Jadi Kebanggaan Bangsa
Dia punya nama besar sebagai atlet kebanggan negeri ini pada masanya.
Dia bahagia dapat mengharumkan nama bangsa. Tan Joe Hok, kelahiran
Bandung, 11 Agustus 1937 putra pertama Indonesia yang menjuarai All
England (1959) dan meraih medali emas Asian Games (1962). Selain itu, bersama
enam pebulu tangkis Indonesia lainnya, merebut Piala Thomas pertama
kalinya (1958) dan mempertahankan tahun berikutnya.
Dia seorang pahlawan bulutangkis Indonesia. Bayangkan dia berkorban
meninggalkan bangku sekolah demi mengharumkan nama bangsa melalui bulu
tangkis. Tan memulai main bulutangkis di jalanan. Ayahnya seorang
pedagang yang pemain
sepakbola, kemudian melihat bakatnya dan memberi dukungan. Darah pebulu
tangkis mengalir dari ibunya, yang juga pebulu tangkis.
Setelah mendapat dukungan dari kedua orangtuanya, prestasi Joe menaik
cepat. Pada usia 12, dia berlatih di lapangan yang dibangun ayahnya, di
depan rumah mereka. Kemudian, pelatih klub Blue White, Lie Tjuk Kong,
mengajaknya bergabung. Dia pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan
berlatih saban hari. Ia selalu bangun pukul 5 pagi, untuk berlari dua
jam.
Suatu ketika, anak kedua dari enam bersaudara ini
menyaksikan pertandingan tinju di Bandung. Dia sangat terkesan dengan
gerak kaki petinju itu. Lalu, dia pun meniru, dengan latihan skipping.
Dalam usia 17, tahun 1954, mulai menunjukkan kehebatannya
pada kejuaraan nasional di Surabaya. Dia menundukkan Njo Kiem Bie,
pebulu tangkis yang sedang tenar dan terkenal dengan smash-nya yang
mematikan saat itu. Dua tahun berikutnya (1956), ia mengalahkan pemain
terkenal Eddy Jusuf.
Setelah itu, dia menunjukkan kehebatannya kepada dunia. Dengan
mengandalkan stamina dan kecepatan, ia mengalahkan jagoan Denmark Finn
Kobbero dan Erland Kops. Lalu bersama enam pebulu tangkis Indonesia
lainnya, di antaranya Ferry Sonneville, mereka merebut Piala Thomas.
Pada usia 22 tahun, nama Indonesia dan namanya diulas lumayan
panjang di majalah Sports Illustrated, sebuah majalah olahraga bergengsi
di Amerika, ketika itu. di All England, Kanada dan AS Terbuka diulas
panjang lebar.
Dia pun menjadi kebanggan banyak orang di Indonesia, mulai dari rakyat
kecil, tukang becak, sopir, pedagang, mahasiswa, pejabat hingga Saat itu
ia merasa menjadi orang yang paling bahagia atas keberhasilannya.
Bagaimana Presiden Soekarno ketika itu.
Dia pun berkesempatan ketemu dengan Bung Karno. Saat itu, Bung Karno
bilang: "Indonesia punya banyak dokter dan insinyur, tapi hanya sedikit
yang seperti kamu. Saya akan dukung kamu."
Pada saat itu, Tan Joe Hok sambil kuliah dan menjadi asisten dosen
bidang kimia di Universitas Baylor, Texas, Amerika Serikat. Tapi, dia secara khusus dipanggil
pulang ke Indonesia untuk bertarung di arena bulu tangkis di Asian Games
1962 yang berlangsung di Jakarta. Dia pun meraih medali emas. Saat dia mau kembali melanjutkan kuliahnya
ke AS, Bung Karno memberinya selembar cek bernilai US$1.000. Tapi dia
bukan mata duitan dan karena merasa punya bekal cukup, ia dengan rendah
hati mengembalikan cek itu. Baginya, menjadi putra Indonesia yang
dibanggakan lebih berharga dari sejumlah uang. Sepulang
belajar di AS, dia bergabung dengan regu Piala Thomas Indonesia di
Tokyo. Dia menjadi bintang dengan mengalahkan Erland Kops dan K.A.
Nielsen. Indonesia menang 5x4, Indonesia dan berhasil mempertahankan
Piala Thomas, 1964.
Tahun berikutnya, dia menikah dengan Goei Kiok Nio (1965), dan
dikaruniai dua anak. setelah itu, pemegang sabuk kuning yudo, ini sempat
melatih bulu tangkis di Mexico (1969-1970) dan di Hong Kong (1971).
Lalu tahun 1972, kembali ke Indonesia. Dia pun mendirikan
usaha di bidang pest control. Tapi aliran darahnya tidak bisa lepas dari
bulu tangkis. Dia tak kuasa menolak manakala ditawari menjadi pelatih
Pelatnas Piala Thomas 1984.
Sebagai pelatih, di bawah bimbingannya regu bulu tangkis Indonesia
berhasil menundukkan Cina dalam final perebutan Piala Thomas di Kuala
Lumpur, 18 Mei 1984. Lalu, SIWO/PWI Jaya menganugerahkan penghargaan
sebagai Pelatih Olah Raga Terbaik (1984).
Sebagai pelatih, dia bergabung dengan PB Djarum sejak 1982. Kemudian
merangkap sebagai project manager cabang PB Djarum di Jakarta. Dia
melahirkan beberapa pemain nasional. ► TokohIndonesia.com/crs
*** Tan Joe Hok
Mengembalikan Hadiah Uang
Sepertinya sudah menjadi kelaziman saat ini, jika atlet berprestasi,
hadiah uang pun mengalir. Tetapi pernahkan ada atlet menolak pemberian
uang?
Tan Joe Hok rupanya pernah melakukannya. Dan tidak tanggung-tanggung:
mengembalikan uang pemberian Bung Karno, sebanyak 1.000 dollar AS.
”Saya kan sudah mendapat beasiswa dari Baylor University (Texas). Kenapa
saya mesti menerima uang lagi? Kasihan, masih banyak mereka yang
membutuhkannya. Uang saku, saya pun sudah bisa mendapatkannya sendiri
dengan bekerja di kampus,” tutur Tan Joe Hok, ketika ditemui di rumahnya
di Pancoran, Tebet, Kamis (4/12) lalu.
Ketika itu, menurut Tan Joe Hok, jumlah 1.000 dollar AS besar sekali
untuk ukuran masa itu. Sebagai mahasiswa perantauan (Tan Joe Hok
mendapat beasiswa studi sampai selesai S-1 di Baylor University, jurusan
premedical dengan major kimia dan biologi sejak 1959-1963), tentu, ia
bukan tak butuh uang.
”Saya kembalikan uang itu melalui Prof Dr Prijono, di Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, ke alamat pengirimnya,” tutur Tan Joe Hok.
Gile. Kan pengirimnya Bung Karno?
Kisah hadiah uang itu bermula dari keberhasilan Tan Joe Hok, yang
bersama Ferry Sonneville, pulang kembali dari negeri seberang guna
mempertahankan Piala Thomas di Jakarta (1961), setelah untuk pertama
kalinya mereka dan timnya merebut lambang supremasi beregu bulu tangkis
itu pada tahun 1958.
”Saya cari-cari nomor telepon Ferry di Amsterdam (Belanda), dan berhasil
saya hubungi pagi-pagi pukul 01.30. Saya bilang kepada Ferry, ayo Fer
kita pulang untuk mempertahankan Piala Thomas,” tutur Tan Joe Hok. Ferry
yang tengah studi ekonomi di Amsterdam setuju pulang. Dan dengan biaya
serta kesadaran sendiri, Tan Joe Hok pun kembali ke Jakarta. Sementara
Ferry berhasil ”didatangkan” dari Belanda dengan dana yang digalang oleh
pembaca-pembaca koran Star Weekly.
Begitu pertandingan usai dan Indonesia berhasil mempertahankan Piala
Thomas, Tan Joe Hok segera kembali ke AS untuk menyelesaikan studinya.
”Yang saya hargai bukan pemberian uangnya, akan tetapi falsafah di
baliknya. Sebagai pemimpin tertinggi, Bung Karno sangat menghargai
rakyatnya,” tutur Tan Joe Hok. Ia bahkan ingat benar kata-kata Bung
Karno ketika Indonesia berhasil mempertahankan Piala Thomas 1961.
”Kamu mewakili bangsa dan negaramu. Banyak doktor, insinyur...., tetapi
orang yang seperti kamu itu hanya bisa dihitung dengan jari. Saya bangga,”
kata Tan, menirukan sang pemimpin besar revolusi itu. Sambil
menunjuk-nunjuk, Bung Karno itu berkata, ”I’ll give you scholarship.”
Dan ternyata, begitu tiba di kampus di Texas, sudah ada sepucuk amplop
yang menerangkan bahwa Tan Joe Hok mendapat kiriman uang sejumlah 1.000
dollar AS dari seseorang di Indonesia.... ***
Selalu punya cita-cita, punya tujuan. Sikap hidup inilah yang membuat
Tan Joe Hok—satu-satunya pebulu tangkis anggota tim Piala Thomas 1958
yang masih tersisa—meraih sukses demi sukses dalam hidupnya. Bahkan,
dalam usia senja sekalipun, ia masih punya cita-cita.
Kita hidup, menurut Tan Joe Hok (71), memang selalu harus punya
attainable goal, tujuan yang bisa kita capai. Kalau tidak punya
cita-cita, itu sama halnya dengan kapal yang tanpa tujuan di tengah
lautan, lalu limbung diombang-ambingkan ombak.
Ketika ia masih kecil, misalnya. Mungkin sekitar umur 12 tahun. Si kecil
Tan Joe Hok di Kampung Pasir Kaliki, Bandung, juga punya cita-cita
sederhana, ”ingin hidup berkecukupan, bisa makan”.
Maklumlah. Masa itu, setelah perang kemerdekaan, sungguh sebuah masa
yang sangat sulit. Bisa makan pun masih untung.
”Saya bawa keinginan itu dalam doa, ’Ya Tuhan, bawalah saya kepada apa
yang saya impikan, apa yang saya tuju...’,” tutur Tan Joe Hok.
Si kecil Tan lalu merintis tujuannya itu melalui bulu tangkis. Berlatih
di lapangan yang dibangun ayahnya, di depan rumah mereka. Dan, ikut
bergabung di klub Blue White, Bandung, ketika ia ditawari Lie Tjuk Kong.
Siapa tahu bisa berkecukupan dari bulu tangkis....
Tentu bukan tanpa upaya untuk meraih cita-citanya. Ia biasa berlatih
keras dari pagi-pagi buta (sampai sekarang pun Tan Joe Hok terbiasa
bangun pukul 04.15 dan senam di gym pribadinya untuk tetap menjaga
kebugarannya di usia senja, di rumahnya di kawasan Jalan Mandala,
Pancoran, Tebet, Jakarta).
Pintu menuju tujuan sederhananya mulai terkuak lima tahun kemudian di
Surabaya tahun 1954.
”Saya mengalahkan Njoo Kiem Bie dan tampil sebagai juara nasional pada
usia 17 tahun,” katanya. Setelah sukses pertamanya itu, pintu-pintu
cita-cita seperti mulai terbuka.
”Saya mulai diundang ke kanan, ke kiri, dan saya pun diundang ke India
bersama (pasangan juara All England) Ismail bin Mardjan dan Ong Poh
Lin,” tutur Tan.
Mulailah Tan pergi keliling India—ke Bombay, New Delhi, Calcutta,
Ghorapur, Jabalpur, dan kota lainnya di India. Keliling lebih dari
setengah bulan, pulangnya mampir di Bangkok dan Singapura (Malaya, waktu
itu).
”Ismail tidak hanya menjadi kawan seperjalanan saya, tetapi juga sahabat
saya,” ungkap Tan Joe Hok, tentang pemain Melayu itu. Dari mulut Ismail
pula terembus cita-cita kedua Tan Joe Hok yang mulai ”bisa hidup
berkecukupan”.
”Ismail bin Mardjan bilang kepada saya, ini saya tak akan lupakan, ’Eh,
Joe Hok, kamu akan menjadi yang terbaik di dunia. Asalkan kamu latihan
keras seperti sekarang. Tetapi jangan hidupnya kayak saya ini...’,”
tutur Ismail bin Mardjan.
Ketika mampir di rumah Ismail di Malaya, barulah mengerti apa arti kata
Ismail ”jangan hidupnya kayak saya”.
”Jangan bayangkan Singapura seperti sekarang ini. Rumah Ismail ada di
kampung, kotor, dan sungainya hitam, berbau,” tutur Tan. Sore hari,
pukul 18.00, Ismail selalu pamit kepada Tan Joe Hok. Ternyata, guna
menyambung hidupnya, sang juara All England itu harus bekerja jadi
petugas satpam, dari pukul 6 petang sampai pukul 6 pagi.
”Doa” Ismail kepada Tan Joe Hok itu rupanya terwujud. ”Saya kerja keras
dan rupanya doa itu dikabulkan. Saya diundang ke (kejuaraan bulu tangkis
paling bergengsi—sebuah kejuaraan dunia tak resmi) All England, ke
Kanada dan Amerika Serikat. Ketiga-tiganya saya juara dalam kurun waktu
sekitar tiga minggu,” tutur Tan Joe Hok.
Tak hanya berhasil tampil sebagai orang Indonesia pertama yang mampu
juara All England, pada tahun 1959, Tan Joe Hok rupanya juga memikat
publik di Amerika Serikat.
”Saya dimasukkan di majalah Sports Illustrated,” tutur Tan Joe Hok.
Majalah itu masih rapi disimpannya dan, memang, profil Tan Joe Hok
menghiasi dua halaman majalah tersebut, terbitan 13 April 1959.
”Wonderful World of Sports. Tan Joe Hok Takes Detroit...”, tulis majalah
tersebut. Ada satu foto besar Tan Joe Hok yang berselonjor dengan kedua
telapak kaki telanjangnya melepuh-darah, blood-blister, setelah
menjuarai AS Terbuka.
”Ketika dioperasi, isinya darah dan nanah,” tutur Tan Joe Hok. Hadiah
juaranya? Tan Joe Hok mendapat kesempatan untuk meninjau pabrik mobil di
Detroit.
Cita-cita apa lagi? Menurut Tan Joe Hok, semua impiannya sejak masa
kecil dan juga ketika remaja sudah tercapai semua. Cita-cita berikutnya,
Tan Joe Hok ingin menggapai sukses dalam studi.
Sejak tahun 1959 itu, Tan Joe Hok studi di Texas, memenuhi beasiswa dari
Baylor University Jurusan Premedical Major in Chemistry and Biology.
”Antara tahun 1959-1963 (saat menyelesaikan studi di Baylor), saya masih
sempat pulang untuk mempertahankan Piala Thomas 1961 di Jakarta serta
1964 di Tokyo. Tahun 1962, saya juga pulang untuk Asian Games,” kata Tan
Joe Hok, yang menjadi atlet bulu tangkis pertama yang meraih medali emas
di arena Asian Games.
Meski demikian, ada juga ”pengorbanan” yang dilakukan Tan Joe Hok untuk
bulu tangkis. Gara-gara ia harus pulang untuk mempertahankan Piala
Thomas di Tokyo 1964, studi S-2-nya di Baylor gagal lantaran kurang
empat jam kredit (credit hours), maka dia tak lulus, tutur Tan Joe Hok.
Situasi konfrontasi, Bung Karno mencanangkan ”Ganyang Malaysia” dan
”Ganyang Antek Imperialis”, membuat Tan Joe Hok mengurungkan niatnya
untuk kembali ke AS meneruskan studi S-2. Ia lalu tinggal di Tanah Air.
”Apa kata Bung Karno, saya nurut saja. Saya malah sempat main di
perbatasan Kalimantan sampai ke Mempawah, menghibur sukarelawan kita di
medan perang,” ungkap Tan Joe Hok.
”Dulu Ganyang Amerika, eh, tahun 1965 giliran Ganyang China. Dampaknya,
kita yang nggak ngerti apa-apa jadi kena,” tutur Tan Joe Hok.
Di pelatnas Senayan pun terjadi perubahan drastis. Suatu siang, di flat
atlet—kini Plaza Senayan—Kolonel Mulyono dari CPM Guntur, Jakarta Pusat,
mengumpulkan para atlet.
”Kami semua disuruh ganti nama begitu saja. Pak Mulyono yang tentukan,”
tutur Tan.
Maka, anggota-anggota Piala Thomas pun ”diberi nama” Indonesia, Ang
Tjing Siang menjadi Mulyadi, Wong Pek Sen menjadi Darmadi, Tan King Gwan
menjadi Dharmawan Saputra, Lie Tjuan Sien menjadi Indra Gunawan, Tjiong
Kie Nyan menjadi Mintarya, Lie Poo Djian menjadi Pujianto, dan Tjia Kian
Sien menjadi Indratno.
”Saya diberi nama Hendra oleh (Panglima Kodam Siliwangi) HR Dharsono.
Kartanegara saya karang sendiri, pokoknya ada ’tan’- nya,” papar Tan Joe
Hok.
Ternyata tak sesederhana pergantian nama. Perlakuan terhadap Tan Joe Hok
dan kawan- kawannya itu ternyata ”dibedakan”.
Mengurus KTP dan paspor, mereka harus menunjukkan bukti Surat Bukti
Kewarganegaraan RI (SBKRI) meski nyata-nyata bertahun-tahun mereka
sebenarnya telah berjuang untuk negeri ini. Itulah namanya dinamika
hidup, terkadang manis, ada waktunya pula pahit-getir. (Jimmy S Harianto,
Kompas, Minggu, 7 Desember 2008)
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|