ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Search     A   B     D     F       I       L     N   O   P   Q   R   S     U     W     Y   Z
PEJABAT
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
C © updated 071102
BADAN POM
INDEX PEJABAT   

garis

:::::: Pejabat garis

:::::: Lembaga Tinggi
garis
:::::::::::: Presiden
garis
:::::::::::: MPR/DPR/DPD
garis
:::::::::::: MA
garis
:::::::::::: Bepeka
garis
:::::::::::: DPA
garis
:::::: Kabinet
garis
:::::: Departemen
garis
:::::: Badan-Lembaga
garis
:::::: Pemda
garis
:::::: BUMN
garis
:::::: Asosiasi
garis
::::::::::: Korpri
garis
::::::::::: APPSI
garis
::::::::::: Apeksi
garis
::::::::::: Apkasi
garis
::::::::::: Lainnya
garis
:::::: MK
garis
:::::: Purnabakti
garis
:::::: Redaksi
garis

 
garis
garis

 


Nama :
Drs. H. Sampurno. MBA
Lahir :
Nganjuk. 31 Desember 1950
Agama :
Islam
Isteri:
Hj. Sri. D. Herawati, S.Sos
Anak :
Moh. Romadhoni dan Nimas Nurul Nawangwulan
Pendidikan
:: SD Negeri Nganjuk (1963)
:: SMP Negeri Nganjuk (1966)
:: SMA Muhammadiyah 1 - Yogyakarta (1969)
:: Sarjana Farmasi - UGM (1976)
:: Apoteker - UGM (1977)
:: Pasca Sarjana Administrasi Bisnis - IPPM (1992)
:: Senior Management Course, Kankeiren, Osaka Jepang (1994)
:: LEMHANNAS (1997)
Pekerjaan :
:: Direktur Perencanaan dan Pengembangan Perum Bio Farma, Bandung (1994-1995)
:: Sekretaris Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan (1995-1998)
:: Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan (1998 -2001)
:: Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan ( sejak 31 Jan 2001)
Organisasi :
:: Ketua Umum KODEMA Farmasi-UGM (1972)
:: Sekretaris Jenderal MAFARSI (1972)
:: Ketua I DEMA UGM (1974)
Alamat Kantor:
Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Jalan Percetakan Negara 23, Jakarta 10560
Telepon (62-21) 4244688 Fax (62-21) 4250764)
Alamat Rumah:
Komplek Bank Indonesia
Unit I,
Jalan Dr. Sahardjo
Jakarta
Telp. (021) 829418
E-mail: spn@indo.net.id
dan
kabadanpom@yahoo.com

Drs. H. Sampurno, MBA

Bekerja Melebihi Panggilan Tugas

 

Seseorang yang ingin maju, harus bekerja melebihi panggilan tugas, all out jasmani dan rohani. Ia pun menolak anggapan bahwa PNS itu kurang kerjaan. Masalahnya adalah inisyatif, motivasi dan etos kerja. Penganut falsafah selalu memberikan kebaikan kepada sesama, ini adalah satu dari sekian orang PNS yang punya etos kerja all out.

Etos kerja total, all out atau melebihi panggilan tugas, telah tertanam dalam diri Drs. H. Sampurno, MBA, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) ini semenjak anak-anak, terutama sejak harus secara mandiri menyelesaikan SMA dan kuliah di Fakultas Farmasi UGM. Pria kelahiran desa Nganjuk, Jawa Timur, 31 Desember 1950 ini berasal dari keluarga miskin. Ayahnya hanya seorang guru ‘ngaji dan petani dengan penghasilan yang tidak menentu. Ia adalah anak pertama dari 5 bersaudara yang kesemuanya laki-laki. Namun, berkat kesungguhan, kerja keras dan kemandirian, serta doa orang tuanya, semua mereka dapat lulus dari UGM dan IPB.

Sejak SD hingga SMP ia bersekolah di kampungnya, Nganjuk. Kemudian SMA Muhammadiyah I Jogjakarta (1969) hingga selesai kuliah, sarjana farmasi (1976) dan apoteker (1977) dari Fakultas Farmasi UGM di Jogjakarta. Sehingga ia merasa lebih banyak dibesarkan di Jogjakarta daripada di Jatim. Bisa lulus dari perguruan tinggi itu dianggapnya sebagai sebuah miracle (mujizat) dari Tuhan. Karena jika dilihat dari ukuran normalnya, ia bisa bersekolah SMA saja sudah sangat beruntung, tanpa bermaksud mengecilkan arti dan peran orang tua dan keluarga.

Dua minggu selepas lulus sebagai apoteker dari Universitas Gajah Mada (UGM) pertengahan Maret 1977, ia langsung bekerja sebagai tenaga honorer di kantor Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makan (Ditjen POM). Hampir satu tahun dengan gaji sekitar Rp 10.000 per bulan, sebelum akhirnya ia diterima sebagai PNS mulai dari golongan 3A.

Padahal pada saat yang sama, ia juga menerima tawaran pekerjaan di sebuah BUMN dengan gaji dua puluh lima kali lebih besar dengan berbagai fasilitas. Namun, bukannya ia meremehkan bekerja di BUMN, tetapi ia merasa “tidak mantep”. Kalau merasa tidak klop, ia berkeyakinan akan sulit berprestasi. Maka ia tetap memilih lebih enjoy sebagai pegawai negeri sipil di Ditjen POM.

Menurutnya, bekerja itu adalah all out, baik rohani atau jasmani. Tidak sekedar bekerja meyelesaikan job description. Misalnya job description-nya 10 item lalu yang dikerjakan hanya 10 item. “Saya pikir itu hanya bekerja yang biasa-biasa saja,” kata mantan Dirjen POM (1998-2001) ini. Menurutnya, kalau mau menjadi orang sukses, harus mampu mengerjakan lebih dari job description yang diberikan. Jika diberi 10, harus mampu mengerjakan lebih dari itu. Dalam istilah lain disebut “bekerja melebihi panggilan tugas”.

Etos kerja ini selalu disampaikan kepada stafnya. Karena memang ia sendiri sejak dari muda sudah diajar untuk bekerja secara all out, dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang ada. Saat menjabat kepala seksi, dan tinggal di Sunter (tahun 80-an), ia menjadi penulis pidato Dirjen POM (Midian Sirait). Sirait sering berpidato di mana-mana baik dalam bidang farmasi, maupun bidang lain, bahkan dalam dewan gereja. Tetapi Sirait tetap memintanya menulis pidato, walaupun tahu bahwa ia berbeda agama.

Dalam mengerjakan (mengetik) pidato dan tugas-tugas itu sering sampai jam 2-3 pagi. Waktu itu ia menggunakan mesin tik IBM. Mungkin kalau siang hari tidak begitu terdengar, namun kalau sudah larut malam, suaranya sampai terdengar beberapa rumah di komplek itu. Sampai-sampai ada tetangga yang mungkin merasa agak terganggu, bicara kepada isterinya, “Itu suaminya mau jadi apa, kerja sampai jam 2, jam 3 pagi, mau jadi apa?”

“Mereka nggak tahu kalau saya tidak selesai, Pak Sirait pasti marah-marah,” kenang Sampurno. Lalu ia pun katakan pada isterinya, kalau begitu jawab saja “Mau jadi Dirjen”. Sebuah jawaban spontan sekaligus melepas kekesalan. Namun ternyata dengan kerja keras itu, kurang dari 20 tahun, hal itu menjadi terwujud. Ia benar-benar menjadi Dirjen. Bahkan sekarang menjadi Kepala Badan POM, sebuah badan yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Ia membuktikan bahwa dengan kesungguhan dan bekerja keras bukan hal yang mustahil untuk mencapai cita-cita.

Baginya menjadi pegawai negeri sipil di instansi publik jauh lebih menarik daripada bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Maka ia menolak adanya anggapan menjadi pegawai negeri itu tidak ada kerjaannya. Anggapan ini sangat salah. Malah sebenarnya banyak sekali pekerjaan seorang pegawai negeri. Namun masalahnya apakah ia punya inisyatif dan motivasi untuk mengerjakannya?

Selain harus memiliki inisyatif dan motivasi, hal lain yang menjadi modal dasar sebagai pekerja yang tangguh dan keras adalah harus memiliki kesukaan membaca. Ia bersyukur walaupun besar dalam keluarga miskin, tetapi ayahnya seorang ‘pendidik’ dan guru ‘ngaji yang baik serta mampu menularkan tradisi membaca sejak ia masih kanak-kanak. Ketika ia masih SD kelas dua (1964), ayahnya berlangganan majalah Panji Masyarakat dan surat kabar harian Abadi. Ia pun ikut membaca dan sudah mengerti isinya, walau baru kelas dua SD. Sering ia mendemontrasikan kebolehannya dengan membaca majalah dan koran itu keras-keras di depan orangtuanya.

Akhirnya kebiasaan membaca itu menjadi kebutuhan. Kegemaran membaca itu membentuknya sedemikian rupa. Terutama terasa saat berhadapan dengan masalah rumit, ia menjadi seolah-seolah mendapat intuisi, cepat untuk menggali, menganalisa serta mencari alternati-alternatif solusi. Semua itu, ternyata adalah hasil endapan proses yang panjang dari kebiasaan membaca itu.

 

Sehingga pengalaman membaca mensintesa dengan pengalaman-pengalaman di lapangan. Hal ini sangat ia rasakan. Bahwa membaca buku itu menjadi guru dan referensi ketika sedang menghadapi masalah yang real-life. Maka, ia menekankan kebiasaan membaca perlu ditanamkan dari sejak dini. Anak-anak harus diberikan motivasi membaca dimulai dari lingkungan keluarga.

Dari pengalamannya, tentang pentingnya kebiasaan membaca. Sejak ia menjadi pegawai rendahan, setiap kali terima gaji, ia selalu menyisihkan untuk membeli buku. Baginya, membaca buku menjadi kebutuhan untuk mengasah intelejensia dan rohani serta belajar untuk berpikir disiplin.

Sehubungan dengan itu, kepada stafnya selalu dikatakan, untuk menjadi pejabat atau pegawai di Badan POM bukan hanya didasarkan pada kewenangan yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Tetapi harus sungguh mengerti makna dan arti essensi di balik peraturan perundang-undangan itu. Harus mampu menguasai substansi permasalahan hingga ke dasarnya. Tidak bisa meletakkan kebijaksanaan berdasarkan peraturan perundang-undangan semata. Sebab suatu saat, peraturan perundang-undangan itu kalau perlu harus dievaluasi dan di-review. Untuk itu, diperlukan kemampuan membaca.

Menurutnya, seseorang yang hanya mengetahui persoalan semata-mata berdasarkan peraturan yang ada, ia bisa menjadi pejabat yang arogan. Karena hanya menyandarkan diri kepada peraturan. Sedangkan peraturan itu, sewaktu-waktu dapat menjadi tidak produktif dan penghalang bahkan dapat mencederai masyarakat karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan masyarakat. Sehingga perlu adanya kedinamisan dalam memahami dan melaksanakan perundang-undangan. Tetapi kalau hanya mengerti secara harfiah, kita menjadi statis dan arogan.

Ia bilang, dengan membaca seseorang dapat memahami banyak hal secara mendalam. Saat ini bahkan bahan bacaan jauh lebih produktif dibanding zaman ia sekolah dulu. Saat ini ada internet yang memberikan segala informasi yang diperlukan. Juga hal-hal yang menyangkut informasi farmasi dan pengawasan obat dan makanan, semuanya lengkap.

Selain gemar membaca, sejak kecil ia sudah diajar untuk hidup mandiri, akibat keterbatasan ekonomi. Terlebih sejak di tingkat II UGM. Tetapi ia melihat semua pengalaman (kesulitan ekonomi) masa kecil dan remaja itu bukan sebagai musibah. Bahkan kehidupan yang pas-pasan itu mendorongnya untuk survive (bertahan) dan tidak pernah menyerah dengan keadaan. Pengalaman itu juga menempanya untuk dapat mengatasi kesulitan yang lebih besar daripada itu. Pengalaman itu telah membuatnya terbiasa berjuang dengan sebaik-baiknya.

Misalnya, ketika bersekolah, akibat tidak ada biaya, ia harus berjuang antara lain menjadi penulis di sebuah surat kabar atau menjadi penjual batik. Untunglah beberapa tahun sebelum lulus dari UGM, ia mendapatakan beasiswa dari pemerintah sebagai mahasiswa berprestasi. Dengan beasiswa itu, ia menjadi sangat lega dan dapat menyelesaikan kuliah dengan baik.

Kendati ketika kuliah itu, ia benar-benar ditempatkan tidak memiliki pilihan lain. Ia harus berusaha dan berjuang menyelesaikan kuliah tepat waktu sesuai batas waktu beasiswa yang diberikan. Jika tidak, dari mana ia membiayai kuliah? Tetapi dengan segala tekanan yang dirasakan itu, ia menjadi kuat. Bahkan menjadi sebuah kebiasaan dalam dirinya untuk selalu bekerja keras dan terus berjuang dengan sungguh-sungguh secara total.

Ketika hendak pelantikan, ia pun harus meminjam uang ayahnya. Suatu bentuk kemandirian hidup. Maka tak heran bila ia merasa menjadi seorang mahasiswa pada waktu itu merupakan kesempatan amat langka dan ajaib.

Pada masa kuliah, ia tidak hanya berfokus menekuni bidang akademi, tetapi juga aktif dalam banyak kegiatan pergerakan kemahasiswaan dan sosial. Jika mahasiswa lain mungkin 70-90% waktunya difokuskan dalam bidang akademis dan sekitar 10-30%-nya untuk kegiatan kemahasiswaan atau sosial, ia justru sebaliknya. 60% untuk kegiatan kemahasiswaan dan sosial, sisanya 40% untuk akademis. Sehingga prestasinya di bangku kuliah tidak sebaik prestasinya ketika di SMA.

Tetapi ia sadar betul, bahwa kegiatan-kegiatan kemahasiswaan itu memberikan pemahaman atau menjadi modal baginya ketika memasuki dunia kerja. Sejak berada di bangku kuliah di tingakat pertama ia sudah aktif di kepengurusan senat dan di pergerakan kemahasiswaan di luar kampus. Bahkan hingga tingkat-tingkat akhir ia masih menjabat sebagai Ketua I Dewan Mahasiswa UGM dan Sekjen Mahasiswa Farmasi Indonesia. Jadi mulai dari tingkat pertama hingga lulus, ia tak pernah lepas dari kehidupan organisasi dan sosial.

Padahal jika dilihat dari kondisi keuangan yang sangat minim, ia sepatutnya tak bisa pergi ke mana-mana. Tetapi dengan aktif dalam keorganisasian, ia memperoleh fasilitas dan kesempatan untuk bertemu dengan banyak mahasiswa lain, seperti dari ITB dan UI. Bahkan ia sempat dikirim ke luar negeri, ke Nairobi, Afrika. Hal ini merupakan pengalaman yang sangat menarik baginya. “Masa-masa ketika saya menjadi seorang mahasiswa adalah masa-masa yang saya kenang paling indah,” katanya dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia di ruang kerjanya, Jumat sore, 1/11/02.

Menurutnya, pengalaman seperti itu tidak mungkin dialami mahasiswa sekarang ini. Sebab mahasiswa sekarang sudah terbebani oleh sistem kuriluler SKS dengan hal-hal yang fabricated (tersusun). Sistem yang menyebabkan mahasiswa sangat jarang dapat melakukan kegiatan interaksi, apakah itu dalam bidang keilmuan, profesi atau sosial.

Inilah yang tidak dimiliki mahasiswa Indonesia saat ini. Sedangkan di zamannya dahulu, mungkin kurikulumnya memiliki banyak kelemahan, namun mahasiswa diberi peluang untuk berinterkasi. Misalnya, menghadiri pertemuan dewan-dewan mahasiswa. “Saya pikir, sekarang tidak ada lagi seperti itu,” ujarnya.

Menurutnya, ini merupakan hal yang sangat menyedihkan. Jangan dilihat sebagai hal yang sederhana. Sebab jika kita salah dalam menghasilkan sebuah sistem pendidikan, selama 5 tahun misalnya, nanti yang menjadi korban adalah generasi yang berada di 5 tahun itu.

Sementara ia banyak mengikuti kegiatan sosial dan pergerakan kemahasiswaan, lalu apa yang mendorongnya kuliah di fakultas farmasi? Apalagi ketika lulus SMA, ayahnya berkeinginan agar ia masuk fakultas ekonomi. Keinginan ayahnya tidak bisa dipenuhi. Karena ia sudah terlanjur mendaftarkan diri di fakultas farmasi. Waktu itu lulusan SMA dapat mendaftarkan diri di fakultas mana pun, baik sosial maupun kedokteran dan teknik kimia. Sebenarnya ketika itu ia mau juga mendaftar di ekonomi, tapi ia tidak punya uang lagi. Waktu itu uang pendaftaran sekitar lima ribu rupiah.

Ia pun mengikuti tes di fakultas farmasi dan diterima. Akhirnya jika ia menjadi seorang farmasis atau apoteker adalah karena kesempatan dan kebetulan. Barangkali sudah merupakan garis hidupnya untuk masuk dalam bidang farmasi. Ketika berada di bangku kuliah, ia bahkan merasakan bahwa sepertinya ia salah masuk. Ia merasakan beban segala bahan kuliah yang rumit dan ketat yang harus diikuti dengan berbagai standard operating procedur dan berbagai referensinya sehingga improvisasinya tidak dapat berkembang. Hal yang jauh berbeda dengan ilmu sosial seperti ekonomi dan sospol.

Hingga di tingkat tiga, ia masih berpikir bahwa ia salah jurusan. Tetapi karena sudah tidak ada langkah mundur lagi, ia harus maju dan terus aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Namun secara sadar atau tidak, hal ini malah memberi nilai tambah baginya. Sebab, kebanyakan mahasiswa farmasi kurang memberi perhatian dalam bidang manajemen, organisasi, dan aspek-aspek ekonomi seperti yang dialami dan didalaminya. Sehingga setelah ia selesai kuliah dalam disiplin farmasi, ia kembali belajar mengembangkan aspek ini tetapi terfokus dalam bidang manajemen kefarmasian.

Setelah lulus dari UGM, ia memulai hidup pertama kali datang ke Jakarta sebagai orang kampung, tanpa mempunyai sanak saudara. Ia betul-betul berjuang sendirian. Hanya mengandalkan kemampuan, kemauan dan tekad bekerja keras. Ia pun melamar kerja dan diterima sebagai tenaga honorer di Ditjen POM. Ia percaya diri sebab telah membina profesionalisme sejak muda. Strategi berikutnya, ia berupaya mengembangkan kemampuan yang banyak orang lain tidak menguasainya.

Ketika sudah berada dalam lingkungan farmasi, ia melihat banyak sekali orang-orang yang mempuyai kemampuan farmasi yang sangat baik. Maka ia tidak mengambil arah atau bidang yang sama. Sebab jika ia berusaha untuk mengambil arah yang sama, ia merasa akan sulit menyainginya. Sehingga ia mengambil spesialisasi yang lain yaitu manajemen farmasi. Sebab di kantornya belum ada satu pun yang menguasai bidang tersebut.

Maka di tengah kesibukannya bekerja, ia pun mengikuti program pasca sarjana bidang manajemen IPPM (1992). Kemudian mengikuti pelatihan manajemen di Kankeiren, Osaka, Jepang (1994). Lalu tahun 1997 mengikuti pendidikan LEMHANAS (1997).

Strategi berikutnya adalah mengoptimalkan latarbelakang organisasi dan pelatihan-pelatihan oraganisasi kemahasiswaannya. Semua pelatihan-pelatihan keorganisasian yang telah ia peroleh bahkan dari luar negeri, menjadi modal dasar untuknya dalam meniti karir. Namun, katanya, dari semua itu, kuncinya adalah kesungguhan. Jika ada kesungguhan, semua orang dapat melakukannya.

Di sela karirnya di Direktorat Jenderal POM (sekarang Badan POM), ia pun sempat menjabat Direktur Perencanaan dan Pengembangan Perum Bio Farma di Bandung, kurang lebih dua tahun (1994-1995). Kemudian ditarik kembali ke POM pada tahun 1995, menjabat Sekretaris Direktorat Jenderal POM (1995-1998). Sampai menjadi Dirjen POM (1998-2001) dan menjadi Kepala Badan POM, setelah Direktorat Jenderal POM Depkes berobah menjadi Badan POM.

Selalu memberikan kebaikan kepada sesama. Itulah menjadi pandangan atau falsafah hidup apoteker lulusan UGM (1977) ini. Falsafah hidup yang ia peroleh dari ketua Muhammadiyah ketika di Jogjakarta. Falsafah itu bukan hanya sekedar retorika semata, tetapi ia terapkan dalam kedinasan ataupun non-kedinasan. Sebab, menurutnya, ketika melakukan sesuatu dengan motivasi kebaikan, akan terasa lebih mudah dibandingkan bila kita melakukan hal sama dengan marah-marah atau menggerutu.

Di Badan POM yang dipimpinnya sejak berdiri 31 Januari 2001, ia memang berusaha menerapkan hal tersebut kepada sesama tanpa memandang etnis, suku, agama atau latarbelakang sosial-budaya. Itu benar-benar ia terapkan di kantor tempatnya bekerja. Dimulai dari dirinya sebagai pimpinan Badan POM dengan bukan hanya sekedar melayani tetapi juga mengusahakan yang terbaik bagi setiap staf. Dengan memiliki cara pandang itu maka ia berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat atau publik.

Ketika kepadanya ditanyakan visi dan misinya dalam melihat bangsa dan negara terutama dalam situasi saat ini, ia melihat itu bukan sebuah pertanyaan yang gampang (sambil menghela nafas panjang). Karena ia melihat tahun-tahun belakang ini, masyarakat kita menjadi suka saling menyakiti diri sendiri. Ia melihat bangsa ini seperti kapal yang menjadi tenggelam karena setiap penumpangnya menggerogoti kapal itu sendiri.

Menurutnya, kalau kita terus meluncur seperti ini, para Bapak Bangsa (founding fathers) di alam baka sana pasti menangis. Bangsa Indonesia sedang mengalami kemunduran rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Maka dengan keadaan yang demikian, secara nyata ia pun berusaha membangkitkan kembali semangat itu dalam instansi yang dipimpinnya.

Sikap yang nyata adalah tidak adanya determinan etnik, determinan agama, bahkan latar belakang pendidikan di instansi yang dipimpinnya. Dengan tidak adanya determinan seperti itu, ia berupaya secara nyata membangun kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Tidak sekedar retorika.

Ia selalu menegaskan bahwa Badan POM adalah institusi publik Indonesia. Secara praktis ia menempatkan setiap kepala Balai POM di daerah-daerah tidak harus berasal dari wilayah tersebut. Dengan demikian akan lahir sikap kebangsaan yang sungguh-sungguh terwujud dan terimplementasi dalam kehidupan organisasi. “Kita harus tampil sebagai bangsa yang memiliki rasa kebangsaan, menghormati pluralisme dan menjujung tinggi profesionalisme,” seru mantan Ketua I Dewan Mahasiswa UGM (1974) ini.

Mengenai tantangan yang dihadapi dalam bidang tugasnya sebagai Kepala Badan POM, ia mengatakan bahwa pekerjaan dalam bidang Pengawasan Obat dan Makanan, bukan sebuah pekerjaan yang sederhana. Pengawasan harus dilakukan secara komprehensif dan sistemik mulai bahan baku, proses produksi sampai produk tersebut beredar di masyarakat. Badan POM harus mengawasi peredaran komoditas yang memiliki nilai ekonomi kira-kira Rp 200 trilyun.

Pengawasan obat dan makanan ini tidak mungkin dilakukan oleh Badan POM sendiri atau pemerintah sendiri. Maka BPOM mengembangkan sistem pengawasan yang memiliki tiga lapisan. Lapisan pertama adalah produsen. Artinya, produsen bertanggung jawab secara hukum bila terjadi kemunduran mutu produknya. Ia dapat dituntut secara hukum. Lapisan kedua adalah pengawasan pemerintah, dan hal ini melalui Badan POM bekerjasama dengan instansi terkait.

Lapisan ketiga dan yang terpenting adalah pengawasan dari masyarakat. Karena kesadaran (awareness) yang tinggi itu jauh lebih efektif dibandingkan dengan pengawasan apapun yang dilakukan oleh pemerintah. Jika masyarakat sudah sadar akan hak-haknya, punya kemampuan untuk memilih produk yang terbaik untuk dirinya itu adalah bentuk pengawasan yang efektif. Sehingga Badan POM terus mendorong agar kesadaran konsumen lebih meningkat.

Sebagai contoh kasus, menghadapi kasus-kasus pemalsuan obat atau jamu. Badan POM bekerjasama dengan Polri. Bahkan telah membuat kesepakatan dalam bentuk surat keputusan bersama untuk melakukan investigasi bersama. Tetapi bagaimanapun usaha pemerintah akan mengalami kesulitan, jika tidak ada kesadaran publik dalam memilih produk. Dalam hal ini perlu sosialisasi dan edukasi kepada konsumen melalui berbagai cara dan melalui media massa.

Contoh lain, untuk menghambat peredaran ilegal obat-obat asing, maka Badan POM memberikan pengumuman kepada publik tentang produk-produk tersebut. Sementara itu, Badan POM harus menggalang kerjasama dengan Ditjen Bea dan Cukai, karena mereka yang mempunyai otoritas legal di pelabuhan dan bandara.

Dari segi kemampuan teknis, saat ini Badan POM telah memilki laboratorium tercanggih di Asia Tenggara. Bahkan baru-baru ini Badan POM telah diaudit oleh WHO yang didasarkan atas 6 indikator. Dan hasil audit tersebut, Badan POM Indonesia mendapatkan nilai 94, Philipina hanya mendapat nilai 72. Namun kelemahan yang menjadi perhatian pihak internasional adalah masuknya produk asing dalam bentuk penyeludupan (smuggling).

Masukan yang diberikan oleh WHO bagaimana Indonesia membuat suatu regulasi atau tindakan yang ada di tingkat parlemen untuk menangkal produk-produk asing ini dengan memberikan wewenang kepada Badan POM.

Dari segi SDM, Badan POM sekarang memiliki 3000 pegawai yang tersebar 26 propinsi. Tetapi untuk masa ke depan, Badan POM perlu membentuk pos-pos POM, bukan saja yang berada di tingkat propinsi, tetapi juga mendirikan pos-pos POM di kawasan perdagangan seperti di Batam, perbatasan Kalimantan Timur, sehingga dapat mengawasi produk-produk ilegal yang masuk ke wilayah itu.

Perubahan dari Dirjen POM menjadi Badan POM sudah memberikan kewenangan yang lebih fokus bagi instansi ini. Proses perubahan itu dimulai dengan adanya diskusi besar oleh Menpan, Menkes termasuk juga Dirjen POM pada waktu itu. Ada sebuah keinginan untuk membangun lembaga yang mandiri dan kuat, yang tidak sebagai birokrasi biasa. Namun disadari perubahan tersebut tidak mudah. Sehingga diperlukan langkah-langkah penyesuaian secara psikologis. Contohnya, di Depkes ada Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat-alat Kesehatan. Sehingga diperlukan kesepahaman akan tugas-tugas yang dikerjakan agar tidak menimbulkan duplikasi tugas.

Mengenai banyaknya peredaran obat dan makanan dari luar negeri di dalam negeri, ia mengatakan, dengan begulirnya era pasar bebas sesungguhnya kita tidak dapat menahan peredaran makanan asing masuk ke Indonesia. Sebagaimana negara-negara lain tidak dapat menahan produk makanan yang datang dari Indonesia yang saat ini telah tersebar di 100 negara.

Peranan Keluarga
Baginya orang tua, khususnya sang ayah bukan sekedar ayah biologis. Jauh lebih dari sekedar hubungan garis keturunan. Ayahnya juga sebagai penasehat spritual. Menurutnya, ayahnya mempunyai kemampuan spritual, tapi khusus kepada anak-anaknya, tidak kepada orang lain. Contohnya, dahulu jika ia mau ujian. Ia harus melapor tentang hari, jam dan pelajaran apa yang diujikan. Setelah itu, mereka, terutama ayahnya, melakukan ritual-ritual tertentu dalam agama Islam, terutama sholat tahajud, sebelum hari H ujian.

Kemudian, entah bagaimana sebelum ia mengikuti ujian, ia selalu merasakan sebuah pengalaman rohani atau keyakinan apakah ia akan lulus atau tidak. Ia bisa merasakan lulus atau tidak. Sebuah pengalaman yang tak dapat dikatakan dengan rasio. Tidak bisa dilukiskan tetapi bisa dirasakan. Sehingga teman-temannya sering mengatakan ia bisa lulus karena didoakan orangtua.

Maka ketika ayahnya meninggal pada tahun 1988, ia sangat merasakan kehilangan penasehat spritual. Ia dan adik-adiknya, semua berhasil berkat doa-doa ayahnya. Walaupun ayahnya tidak bisa membiayai dengan materi, tetapi doanya selalu tulus dan kuat.

Selain dengan kesungguhannya sendiri dan berkat nasehat spiritual orang tua, peranan isterinya juga sangat dirasakan besar mendorongnya selalu maju dalam karir. Isterinya adalah seorang yang berprinsip untuk tidak pernah dan tak mau ikut campur dengan pekerjaan suami di kantor. Seingatnya, isterinya, Hj. Sri D. Herawati, S.Sos, hanya sekali masuk ruang kerjanya. Kalaupun isterinya datang karena urusan dharma wanita, tidak pernah masuk ke ruang kerjanya. “Dia menempatkan diri memang bukan sebagai pejabat tetapi sebagai isteri saya secara pribadi. Begitu juga anak-anak saya,” katanya memuji sikap isteri dan kedua anaknya, Moh.Romadhoni dan Nimas Nurul Nawangwulan.
 

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
 

Copyright © 2002 Ensiklopedi Tokoh Indonesia. All right reserved. Design and Maintenance by Esero