BERITA |
|
|
Djoko Santoso
Nasionalisme dan Globalisasi
(Refleksi Satu Abad Kebangkitan Nasional, oleh Jenderal Djoko Santoso
Panglima TNI): Di tengah-tengah semangat kita mengusung reformasi
nasional menuju masa depan bangsa yang lebih baik, kita pun dirisaukan
dengan berbagai fenomena yang mengindikasikan menurunnya semangat
nasionalisme bangsa kita.
Oleh karena itulah, hadirnya peringatan Satu Abad Hari Kebangkitan
Nasional pada bulan Mei 2008 ini seharusnya dapat menjadi momentum
penting dalam memperkokoh dan mengaktualisasikan kembali wawasan
kebangsaan dan nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tuntutan
perkembangan yang ada.
Pernyataan Ernest Gellner (dalam Nations and Nationalism, 1983) bahwa
”Nasionalisme Melahirkan Bangsa” serasa menambah keyakinan betapa
pentingnya memperingati lahirnya pergerakan Boedi Oetomo (1908) yang
telah menggugah inspirasi bangkitnya nasionalisme dalam kancah
pergerakan bangsa Indonesia.
Melalui pergerakan Boedi Oetomo yang tidak sepi dari berbagai ancaman
dan tekanan, mereka berhasil membangun nasionalisme yang muaranya adalah
persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan kebangkitan dan keyakinan atas
masa depan bangsanya, dalam kurun waktu 20 tahun sejak lahirnya Boedi
Oetomo, tepatnya tanggal 28 Oktober 1928, mereka berhasil merajut
kebersamaan, meyakinkan saudara-saudaranya untuk menyatu dalam ikrar
Sumpah Pemuda, yaitu sumpah setia untuk bertumpah darah yang satu, tanah
Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan berbahasa satu, bahasa
Indonesia.
Sumpah Pemuda telah menjadi kekuatan yang mampu menundukkan keangkuhan
dan sekaligus kepicikan dari sempitnya memaknai nilai-nilai kultural ”kebhinnekaan”.
Nilai-nilai yang mengantar bangsa Indonesia berhasil merebut dan
memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, tujuh belas
tahun setelah diikrarkannya Sumpah Pemuda.
Liku-liku perjalanan panjang menuju kemerdekaan tersebut menggambarkan
betapa mahalnya harga sebuah kemerdekaan bagi suatu bangsa. Faktanya,
NKRI sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat dibangun dengan
pengorbanan keringat, darah, dan air mata, termasuk gugurnya para
pahlawan kusuma bangsa. Untuk itu, marilah kita renungkan dalam-dalam
peringatan Panglima Besar Jenderal Sudirman melalui pesannya,
”Kemerdekaan yang Telah Dimiliki dan Dipertahankan, Jangan Sekali-kali
Dilepaskan dan Diserahkan Siapa Pun yang Akan Menjajah dan Menindas
Kita.”
Nasionalisme dan tantangan global
Dengan renungan kilas balik Kebangkitan Nasional, Peringatan Satu Abad
Kebangkitan Nasional 2008 ini mempunyai arti yang sangat penting dan
strategis. Penting dan strategis karena secara internal kita sedang
dalam perjalanan reformasi, yang dinamikanya di samping telah membuka
berbagai pintu harapan, tetapi juga sekaligus pintu kerawanan. Sementara
secara eksternal hantaman gelombang globalisasi yang mendunia mudah
menghanyutkan apa pun dan siapa pun yang tidak kokoh berakar dalam jati
dirinya.
Nilai-nilai intrinsik dan nilai-nilai fundamental bangsa yang selama ini
menjadi landasan bangunan kebangsaan dan kenegaraan kita seakan tiada
bermakna lagi karena terlalu silau dengan nilai-nilai baru yang belum
tentu sesuai dengan karakter dan kultur bangsa Indonesia.
Perbedaan-perbedaan yang muncul tidak saja sebatas perbedaan pandangan,
tetapi juga mengarah pada perbedaan ideologi dan bahkan juga benturan
fisik.
Perubahan yang mewarnai era global menunjukkan bahwa bentuk ancaman
terhadap dunia mengalami transformasi dari perang berskala besar menjadi
konflik berintensitas rendah. Konflik berintensitas rendah berkembang
dalam bentuk terorisme, vandalisme, penjarahan, konflik kesukuan,
konflik agama, dan pertikaian sosial.
Dalam bentuknya yang baru, penjajahan tidak selalu berupa penguasaan
teritorial dengan kekerasan bersenjata, tetapi menciptakan
ketergantungan dengan memainkan potensi konflik yang ada melalui perang
informasi dan perang ekonomi.
Revitalisasi nasionalisme Indonesia
Nasionalisme Indonesia dibangun dengan prinsip mengutamakan kebersamaan
dan hak kolektif. Karena hanya dengan kebersamaan dan kolektivitas,
potensi konflik akibat keanekaragaman suku, agama, ras, dan adat
istiadat dapat dicegah dan dieliminasi. Tanpa itu, sulit rasanya
terwujud Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentang dari
Sabang sampai Merauke. Dalam keadaannya yang demikian, keanekaragaman
merupakan sebuah ”potensi” berharga yang telah terbingkai oleh founding
fathers kita dalam sesanti ”Bhinneka Tunggal Ika” yang ruh sesungguhnya
tidak lain dari persatuan dan kesatuan.
Persoalan mendasar yang harus menjadi pemahaman bersama bahwa setiap
masa membawa tantangannya sendiri.
Penjajahan dalam bentuknya yang halus hadir bersama gelombang pasang
globalisasi, yaitu bergulirnya suatu proses transformasi berbagai
dimensi kehidupan sosial yang mengarah kepada satu pusat budaya
kosmopolitan dengan mendesakkan uniformitas secara universal.
Secara perlahan, tetapi pasti, proses universalisasi ini mengikis
batas-batas identitas individu dan negara secara hampir bersamaan
melalui liberalisasi ekonomi dan demokratisasi di tingkat global maupun
nasional. Dampak nyata yang kita rasakan adalah adanya kecenderungan
menguatnya sikap konsumerisme dan individualisme, serta mereduksi
semangat kolektivitas yang memunculkan gejala penolakan terhadap konsep
persatuan dan kesatuan sebagai sebuah dogma.
Jika tantangan yang harus kita hadapi memang demikian, tidak ada jalan
lain untuk menghadapinya kecuali dengan revitalisasi dan reaktualisasi
kebangsaan dan nasionalisme kita.
Kekuatan nasionalisme harus kita perkokoh lagi dengan melepaskan sikap
individualistis, egoistis, hedonistis, dan konsumeristis yang mengoyak
kebersamaan, toleransi, semangat gotong royong, dan musyawarah mufakat
yang selama ini menjadi kekayaan bangsa Indonesia.
Tentu kita tidak ingin kehilangan keindonesiaan kita. Selamat
memperingati Satu Abad Kebangkitan Nasional!. (kompas, 21 Mei 2008) ►ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|