A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
  H O M E
 ► Home
 ► Biografi
 ► Versi Majalah
 ► Berita
 ► Galeri
 ► Mabes TNI
     ► TNI AD
     ► TNI AL
     ► TNI AU
 ► Majalah TI
 ► Nusantara
 ► Search
 ► Poling Tokoh
 ► Selamat HUT
 ► Pernikahan
 ► In Memoriam
 ► Redaksi
 ► Buku Tamu
 

 
  C © updated 21052008  
   
  ► e-ti/  
  Nama:
Jenderal TNI AD Djoko Santoso
Lahir:
Solo, 8 September 1952
Jabatan:
Panglima TNI, 28 Desember 2007-sekarang
Istri:
Angky Retno Yudianti
Anak:
- Andika Pandu
- Ardya Pratiwi Setyawati
Ayah:
Djoko Soedjono (alm)
Ibu:
Sulani (alm)

Pendidikan:
= Akabri (1975)
= Seskoad (1990)
= S1 FISIP (1994)
= S2 Manajemen (2000)

Riwayat Jabatan:
= Waassospol Kaster TNI (1998)
= Kasdam IV/Diponegoro (2000)
= Pangdivif 2 Kostrad (2001)
= Pangdam XVI/Pattimura & Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Pangkoopslihkam) 2002-2003
= Panglima Kodam (Pangdam) Jaya Mei 2003-Oktober 2003
= Wakil Kepala Staf TNI AD 2003-2005
= Kepala Staf TNI AD 2005-2007
= Panglima TNI, 28 Desember 2007-sekarang
 
 
     
 
BERITA

Djoko Santoso

Nasionalisme dan Globalisasi


(Refleksi Satu Abad Kebangkitan Nasional, oleh Jenderal Djoko Santoso Panglima TNI): Di tengah-tengah semangat kita mengusung reformasi nasional menuju masa depan bangsa yang lebih baik, kita pun dirisaukan dengan berbagai fenomena yang mengindikasikan menurunnya semangat nasionalisme bangsa kita.

 

Oleh karena itulah, hadirnya peringatan Satu Abad Hari Kebangkitan Nasional pada bulan Mei 2008 ini seharusnya dapat menjadi momentum penting dalam memperkokoh dan mengaktualisasikan kembali wawasan kebangsaan dan nasionalisme Indonesia dalam menghadapi tuntutan perkembangan yang ada.


Pernyataan Ernest Gellner (dalam Nations and Nationalism, 1983) bahwa ”Nasionalisme Melahirkan Bangsa” serasa menambah keyakinan betapa pentingnya memperingati lahirnya pergerakan Boedi Oetomo (1908) yang telah menggugah inspirasi bangkitnya nasionalisme dalam kancah pergerakan bangsa Indonesia.


Melalui pergerakan Boedi Oetomo yang tidak sepi dari berbagai ancaman dan tekanan, mereka berhasil membangun nasionalisme yang muaranya adalah persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan kebangkitan dan keyakinan atas masa depan bangsanya, dalam kurun waktu 20 tahun sejak lahirnya Boedi Oetomo, tepatnya tanggal 28 Oktober 1928, mereka berhasil merajut kebersamaan, meyakinkan saudara-saudaranya untuk menyatu dalam ikrar Sumpah Pemuda, yaitu sumpah setia untuk bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan berbahasa satu, bahasa Indonesia.


Sumpah Pemuda telah menjadi kekuatan yang mampu menundukkan keangkuhan dan sekaligus kepicikan dari sempitnya memaknai nilai-nilai kultural ”kebhinnekaan”. Nilai-nilai yang mengantar bangsa Indonesia berhasil merebut dan memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, tujuh belas tahun setelah diikrarkannya Sumpah Pemuda.


Liku-liku perjalanan panjang menuju kemerdekaan tersebut menggambarkan betapa mahalnya harga sebuah kemerdekaan bagi suatu bangsa. Faktanya, NKRI sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat dibangun dengan pengorbanan keringat, darah, dan air mata, termasuk gugurnya para pahlawan kusuma bangsa. Untuk itu, marilah kita renungkan dalam-dalam peringatan Panglima Besar Jenderal Sudirman melalui pesannya, ”Kemerdekaan yang Telah Dimiliki dan Dipertahankan, Jangan Sekali-kali Dilepaskan dan Diserahkan Siapa Pun yang Akan Menjajah dan Menindas Kita.”


Nasionalisme dan tantangan global
Dengan renungan kilas balik Kebangkitan Nasional, Peringatan Satu Abad Kebangkitan Nasional 2008 ini mempunyai arti yang sangat penting dan strategis. Penting dan strategis karena secara internal kita sedang dalam perjalanan reformasi, yang dinamikanya di samping telah membuka berbagai pintu harapan, tetapi juga sekaligus pintu kerawanan. Sementara secara eksternal hantaman gelombang globalisasi yang mendunia mudah menghanyutkan apa pun dan siapa pun yang tidak kokoh berakar dalam jati dirinya.


Nilai-nilai intrinsik dan nilai-nilai fundamental bangsa yang selama ini menjadi landasan bangunan kebangsaan dan kenegaraan kita seakan tiada bermakna lagi karena terlalu silau dengan nilai-nilai baru yang belum tentu sesuai dengan karakter dan kultur bangsa Indonesia.


Perbedaan-perbedaan yang muncul tidak saja sebatas perbedaan pandangan, tetapi juga mengarah pada perbedaan ideologi dan bahkan juga benturan fisik.


Perubahan yang mewarnai era global menunjukkan bahwa bentuk ancaman terhadap dunia mengalami transformasi dari perang berskala besar menjadi konflik berintensitas rendah. Konflik berintensitas rendah berkembang dalam bentuk terorisme, vandalisme, penjarahan, konflik kesukuan, konflik agama, dan pertikaian sosial.


Dalam bentuknya yang baru, penjajahan tidak selalu berupa penguasaan teritorial dengan kekerasan bersenjata, tetapi menciptakan ketergantungan dengan memainkan potensi konflik yang ada melalui perang informasi dan perang ekonomi.


Revitalisasi nasionalisme Indonesia
Nasionalisme Indonesia dibangun dengan prinsip mengutamakan kebersamaan dan hak kolektif. Karena hanya dengan kebersamaan dan kolektivitas, potensi konflik akibat keanekaragaman suku, agama, ras, dan adat istiadat dapat dicegah dan dieliminasi. Tanpa itu, sulit rasanya terwujud Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dalam keadaannya yang demikian, keanekaragaman merupakan sebuah ”potensi” berharga yang telah terbingkai oleh founding fathers kita dalam sesanti ”Bhinneka Tunggal Ika” yang ruh sesungguhnya tidak lain dari persatuan dan kesatuan.


Persoalan mendasar yang harus menjadi pemahaman bersama bahwa setiap masa membawa tantangannya sendiri.
Penjajahan dalam bentuknya yang halus hadir bersama gelombang pasang globalisasi, yaitu bergulirnya suatu proses transformasi berbagai dimensi kehidupan sosial yang mengarah kepada satu pusat budaya kosmopolitan dengan mendesakkan uniformitas secara universal.

 

Secara perlahan, tetapi pasti, proses universalisasi ini mengikis batas-batas identitas individu dan negara secara hampir bersamaan melalui liberalisasi ekonomi dan demokratisasi di tingkat global maupun nasional. Dampak nyata yang kita rasakan adalah adanya kecenderungan menguatnya sikap konsumerisme dan individualisme, serta mereduksi semangat kolektivitas yang memunculkan gejala penolakan terhadap konsep persatuan dan kesatuan sebagai sebuah dogma.


Jika tantangan yang harus kita hadapi memang demikian, tidak ada jalan lain untuk menghadapinya kecuali dengan revitalisasi dan reaktualisasi kebangsaan dan nasionalisme kita.


Kekuatan nasionalisme harus kita perkokoh lagi dengan melepaskan sikap individualistis, egoistis, hedonistis, dan konsumeristis yang mengoyak kebersamaan, toleransi, semangat gotong royong, dan musyawarah mufakat yang selama ini menjadi kekayaan bangsa Indonesia.
Tentu kita tidak ingin kehilangan keindonesiaan kita. Selamat memperingati Satu Abad Kebangkitan Nasional!. (kompas, 21 Mei 2008) ►ti


*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)