|
C © updated 03032008 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/we |
|
|
Nama:
Lesan Limanardja
Lahir:
Purwokerto, Jawa Tengah, 21 Februari 1939
Pekerjaan:
Chief Executive Officer (CEO) dan Presiden Direktur PT Metrodata Electronics Tbk
Pendidikan:
- Lulusan ITB, 1962
Kegiatan Lain:
)
|
|
|
|
|
|
|
Lesan Limanardja Home |
|
|
Lesan Limanardja
Metrodata Mirip Supermarket
Lesan Limanardja, CEO dan Presiden Direktur PT Metrodata Electronics Tbk, lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 21 Februari 1939. Selepas kuliah
di ITB, tahun 1962 ia bekerja di PT IBM Indonesia. Kariernya melesat
hingga meraih posisi chief financial officer. Namun, baru sebulan
menjabat, Lesan pindah ke Metrodata pada 1 Desember 1980.
Di tangan
Lesan, perusahaan yang berdiri tahun 1975 ini berkembang pesat, dari
hanya produsen kertas komputer (continues form) menjadi distributor
hardware-software papan atas. Rabu (17/1) pekan lalu di kantornya, Wisma
Metropolitan I, Jl. Jend. Sudirman, Jakarta, kepada Prayogo P. Harto
dari Warta Ekonomi Lesan menuturkan perjalanan kariernya, hobi, dan
mengungkapkan kegemasannya terhadap MoU Departemen Kominfo dengan
Microsoft yang memicu kontroversi itu. Petikannya:
Bagaimana tanggapan Anda tentang MoU pemerintah dengan Microsoft?
Saya presdir dari perusahaan yang tak mau bergantung pada satu teknologi.
Kalau Anda menanyakan pendapat saya tentang Republik Indonesia, masa sih
akan berbeda?
Baiklah ....
Tetapi, ada catatan. Setiap teknologi pasti punya kelebihan
masing-masing. Saya tidak sependapat jika harus memakai semua teknologi
atau hanya memakai satu saja. Somewhere in between, itu yang terbaik.
Kalau memakai semua teknologi juga tak akan optimal. Dunia TI, termasuk
Metrodata, berharap pemerintah cukup memberi contoh. Misalnya, dari 100
alternatif, pilih saja 10. Kalau pemerintah memilih A, pihak swasta
otomatis akan ikut. Sebab, pemerintah itu produsen yang terbesar. Jadi,
jangan bikin peraturan hanya Linux atau Windows.
Menurut Anda, apa dampak MoU itu?
Salah satu poin dalam MoU adalah untuk mengurangi pembajakan di
Indonesia. Namun, saya tidak sependapat dengan Tony Chen (presdir PT
Microsoft Indonesia—Red.). Mengurangi pembajakan dengan merazia bukan
jalan keluar yang tepat. Lebih baik, petinggi Microsoft mendatangi
CEO-CEO BUMN, swasta, dan kepala departemen pemerintahan. Imbau mereka,
“Tolong, jangan pakai bajakan.” Kalau mereka didatangi, CEO-CEO itu
pasti malu pakai bajakan. Apalagi orang Indonesia rasa malunya besar.
Ini jauh lebih efektif daripada mengejar orang-orang di Glodok.
Tahun lalu penjualan Metrodata mencapai US$153 juta atau sekitar Rp1,6
triliun, dan menguasai 10% pangsa pasar software-hardware yang US$1,5
miliar. Namun, menurut Lesan, sulit menyebut data itu valid karena
banyak perusahaan yang tak melaporkan angka penjualan sebenarnya.
“Ketika Rini Soewandi menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, ia
pernah mencoba menyamakan catatan ekspor Indonesia ke Singapura dengan
impor Singapura dari Indonesia. Hasilnya, tidak cocok,” tutur Lesan.
Bagaimana Anda bisa bergabung dengan Metrodata?
Saya ditawari oleh Budi Brasali (almarhum—Red.), teman kuliah kakak saya
di ITB. Waktu itu saya tidak tahu Metrodata. Namun, Budi Brasali bilang,
“Sudah, ketemu saja dulu dengan pemiliknya.” Ternyata pemiliknya ada
tujuh orang, antara lain, Budi Brasali, Hiskak Secakusuma, dan Ciputra.
Lantas saya bertanya, “Bos saya siapa?” dan dijawab, semuanya. Saya
bilang, “Saya cuma mau satu bos.” Kemudian Pak Ci bertanya, “Siapa yang
mau kamu pilih jadi atasan?” Mungkin Pak Ci mengira saya akan memilih
Budi Brasali karena sudah kenal. Namun, saya memilih Hiskak Secakusuma.
Alasannya, karena di antara mereka semua, cuma Hiskak yang bisa komputer...
hahaha.
Apa tugas pertama Anda sebagai CEO?
Saya diminta mengkaji kembali bisnis Metrodata. Saya lihat, produk
kertas continues form prospeknya kurang menjanjikan. Kami akan kalah
bersaing dengan pabrik lain yang lebih besar. Akhirnya saya
rekomendasikan kepada dewan komisaris untuk ditutup saja.
Selanjutnya?
Tahun 1983 saya mulai merombak produk portofolio Metrodata. Waktu itu
saya melihat personal computer (PC) mulai populer. Jadi, bersama seorang
staf, saya berangkat ke Taiwan untuk melobi Appleclone. (Appleclone
adalah perusahaan pertama yang mengembangkan PC—Red.). Singkat cerita,
saya mulai jualan PC Appleclone dengan membuka toko di Ratu Plaza,
Jakarta. Rupanya ada eksekutif Epson yang tertarik setelah melihat toko
kami. Kemudian ia menawari Metrodata untuk menjadi distributor eksklusif
Epson. Waktu itu, saya tidak tahu apa itu Epson. Jadi, saya bilang ke
Hiskak, komisaris utama Metrodata, “Ini ada orang yang menawari kita
jadi distributor eksklusif Epson. Bagaimana?” Begitu mendengar Epson,
dia langsung bilang, “Ambil.” Jadilah Epson produk portofolio Metrodata
yang kedua.
Anda lama di IBM, mengapa tidak tahu soal Epson?
Saat itu saya memang awam soal merek-merek PC. Di IBM, saya lebih banyak
mengurusi mainframe. Bahkan, saya pertama kali melihat desktop di ruang
Hiskak, waktu diwawancarai untuk menjadi CEO. Namun, saya tidak awam
dengan komputer. Dulu saya pernah mengajari beberapa rektor ITB memakai
komputer. Tetapi, supaya mereka tidak malu, saya yang datang ke rumah
mereka... hahaha.
Bagaimana kelanjutan toko Metrodata di Ratu Plaza?
Dua tahun setelah buka, toko itu kami tutup. Ceritanya, ada pengusaha
Glodok yang ikut-ikutan jualan PC. Ia membuka gerai berjarak dua toko
dari kios kami dan beriklan: lebih murah dari toko kami. Saya pikir,
sudahlah, kita tutup saja. Toh, kami sudah menikmati manfaat dari toko
itu, yakni menjadi distributor eksklusif Epson. Malah, dengan Epson,
kami menjadi distributor tunggal yang paling lama, hingga sekarang.
Setelah sukses dengan Epson, bagaimana kelanjutannya?
Saya menjajaki menjadi distributor National Advance System (NAS), yang
dikenal sebagai IBM plat compatible. Produk ini memiliki operating
system yang sama persis dengan mainframe IBM, tetapi harganya cuma
70%-nya. Intinya, cuma beda merek, tetapi kemampuannya sama. Ini produk
legal, meski tentu saja IBM protes keras. NAS ini perusahaan AS, tetapi
produknya dibuat oleh Hitachi, Jepang. Sekarang NAS berubah menjadi
Hitachi Data System. Singkat cerita, saya pun berangkat ke Jepang.
Tetapi, ternyata Jepang hanya membuat komponennya. Sedangkan untuk
menjadi distributor harus langsung berhubungan dengan kantor pusatnya di
AS. Jadi, dari Jepang saya terbang ke AS. Sampai di sana, pertanyaan
pertama orang NAS kepada saya, “I’m sorry, where is Indonesia?” Ternyata,
tahun 1980-an Indonesia belum ada di peta bumi AS... hahaha. Namun,
meski akhirnya menjadi distributor NAS, ada yang saya sesali.
Apa itu?
Ternyata NAS belum memiliki distributor di wilayah ASEAN. Saya menyesal
mengapa hanya meminta menjadi distributor wilayah Indonesia, mengapa
tidak sekalian ASEAN. Inilah kalau visi terlalu terbatas.
Kini, apa bisnis utama Metrodata?
Ada dua, yaitu distribusi hardware-software dan services atau IT
solutions. Saat ini, pendapatan distribusi masih 80% dari total
pendapatan Metrodata. Anda perlu tahu, Metrodata ini mirip supermarket.
Hampir semua merek hardware atau software ada di sini. Mengapa? Ini
karena kami tak mau tergantung pada satu vendor. Supaya kalau perusahaan
induknya terjadi sesuatu, kami bisa survive.
Apakah akan terus menjadi supermarket?
Tidak. Sekarang kelihatannya kami harus lebih fokus. Tidak tunggal,
tetapi beberapa. Apalagi sekarang vendor-vendor tak hanya memanfaatkan
distributor. Mereka juga langsung berjualan.
Ke depan, Metrodata akan menjadi perusahaan apa?
Beberapa bulan lalu, seluruh eksekutif Metrodata berkumpul. Kami
melakukan rethinking. Keputusannya, kami akan menjadi IT solutions
company. Hanya, kami masih terbentur masalah SDM yang selain jarang dan
mahal, juga rawan dibajak. Tahun lalu, 20 karyawan Metrodata dibajak
perusahaan yang berbasis di Singapura. Saya mengerti di sana mereka
mendapat gaji lebih tinggi, lingkungan yang baik, dan kesempatan untuk
mereka berkembang. Distribusi juga tetap kami kembangkan selama masih
menguntungkan.
Lesan adalah pria “rumahan”. “Saya lebih senang di rumah, menonton DVD
atau drama Korea,” kata pria yang memiliki sepasang putra-putri ini.
Hobi lainnya, membaca komik dan cerita silat. Lesan adalah penggemar
berat pengarang Chin Yung. Ia mengoleksi karya-karyanya, bahkan ikut
milis khusus para penggemar Chin Yung.
Pernah punya pengalaman bisnis yang terkait dengan hobi?
Sekitar 10 tahun lalu saya pernah minta tolong Pak Ciputra untuk
dikenalkan dengan salah seorang petinggi bank. Mulanya, Pak Ci ngobrol
mulai bisnis properti hingga hobinya mengoleksi lukisan. Oleh karena
tidak mengerti, saya diam saja. Namun, ketika dia bercerita tentang
hobinya membaca cerita silat, giliran saya masuk dan gantian Pak Ci yang
diam. Rupanya bapak itu kolektor Chin Yung dan ada satu serinya yang dia
belum punya. Kebetulan saya punya dua. Jadi, yang satu saya kirim buat
dia. Hasilnya, Metrodata pun dapat bisnis... hahaha.
Apa filosofi hidup Anda?
Selalu berpandangan positif. Ini pula yang saya ajarkan kepada
teman-teman di Metrodata. Pernah ada salesman mengeluh, “Susah jualan
komputer.” Lalu saya bilang, “Untung jual komputer itu susah, jadi kamu
punya kerjaan. Coba kalau menjual komputer itu mudah, bisa-bisa sekarang
kamu jadi penganggur.”
Ngomong-ngomong, kapan Anda pensiun?
Saya pensiun 1 Juli 2007. Saya sudah mengajukan surat pengunduran diri
dan dewan komisaris setuju.
Siapa kira-kira penggantinya?
Wah, saya tidak tahu. Tetapi, kami ada blueprint Metrodata masa depan
yang sedang dikerjakan oleh Ernst & Young dan bakal selesai di akhir
Maret. Nanti, dewan komisaris akan menawarkan kepada teman-teman direksi
atau orang luar, siapa yang sanggup menjalankan blueprint itu. Dari
mereka yang sanggup, dewan komisaris akan memilih satu.
Selama menjadi CEO, pernah merasa gagal?
Pernah, yakni gagal membuat Pak Ci bisa memakai komputer... hahaha.
Beliau bilang, “Untuk apa ada sekretaris?” Padahal, saya sudah
meyakinkan beliau dengan segala macam cara. Pernah suatu kali Pak Ci
menelepon, minta dikirimi notebook. Tak lama kemudian, saya dapat
kiriman e-mail dari Pak Ci. Saya sangat surprise dan bilang ke
teman-teman di Metrodata, “Kita harus selamatan karena Pak Ci sudah bisa
kirim e-mail.” Tetapi, ternyata itu e-mail Pak Ci yang pertama dan
terakhir saya terima. Waktu saya tanya ke Pak Ci, beliau bilang, “Kalau
Lesan mau kirim e-mail, ke anak-anak saya saja.” (Kamis, 1 Maret 2007
14:30 WIB - warta ekonomi.com)
|
|