A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
  H O M E
 ► Home
 ► Biografi
 ► Versi Majalah
 ► Berita
 ► Galeri
  P R O F E S I
 ► Dokter
 ► Guru-Dosen
 ► Search
 ► Poling Tokoh
 ► Selamat HUT
 ► Pernikahan
 ► In Memoriam
 ► Majalah TI
 ► Redaksi
 ► Buku Tamu
 

 
  C © updated 02052006  
   
  ► e-ti/kps  
  Nama:
Prof Dr dr Samsuridjal Djauzi, SpPD (K)
Lahir:
Bukit Tinggi, 3 Mei 1945
Agama:
Islam
Isteri:
Siti Chamisa
Anak:
- dr Irfan Wahyudi
- dr Hilma Paramita

Pendidikan:
- SDN Cilamaya Petang, Jakarta, 1957
- SMPN 1 Cikini, Jakarta, 1960
- SMAN 3 Jakarta, 1963
- Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1969
- Spesialisasi Penyakit Dalam, FKUI, 1976
- Subspesialisasi alergi-imunologi, FKUI, 1986
- S3 untuk imunologi, Program Pascasarjana UI, 1999
- Guru Besar Tetap Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2004

Pendidikan Tambahan:
- Diploma Tropical Medicine and Hygiene, Universitas Mahidol, Bangkok
- Kursus epidemiologi dan biostatik, Universitas Padjadjaran, Bandung
- Pelatihan kultur limfosit dan pemeriksaan makrofag peritoneal, Universitas Osaka City, Jepang
- Pelatihan Nucleic Acid and Monitoring HIV Invection, Thailand

Jabatan:
- Staf Subbagian Alergi Imunologi Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM
- Direktur RS Kanker Dharmais, 2001-2005

Kegiatan lainnya:
- Anggota Tim Kelompok Studi AIDS (Pakdiksus FKUI/RSCM)
- Aktif di Yayasan Pelita Ilmu
- Ketua Gerakan Nasional Meningkatkan Akses Terapi HIV/AIDS (GN-MATHA)
- Pengasuh Konsultasi Kesehatan Kompas Minggu

Penghargaan:
- Penghargaan Adi Satya Utama dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), 1996
- Penghargaan Sudjono Djuned Pusponegoro dari IDI sebagai penulis makalah terbaik dengan Dr Asnath Matondang SpPD, 2003
- Penghargaan dari Badan Narkotika Nasional untuk perorangan yang bekerja di bidang penanggulangan narkoba, 2005

Alamat:



 
 
     
 
SAMSURIDJAL HOME

 

Samsuridjal Djauzi

Peduli Penderita HIV/AIDS


Guru Besar Tetap Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ini sungguh mewarnai hidup dengan Surat An-Nisa 36: ”Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin.” Ayat Al-Quran itu dikutip pria kelahiran Bukit Tinggi, 3 Mei 1945 dalam buku pidato pengukuhan sebagai guru besar FKUI.

Ditambah dengan sumpah kedokteran bahwa setiap dokter harus menolong pasien tanpa membeda-bedakan manusia dan penyakitnya, ia terima dengan tangan terbuka mereka yang terinfeksi HIV/AIDS, pengguna narkoba yang sudah tidak ada harapan sama sekali, anak jalanan, juga pekerja seks.


Ibunya, Djubaedah, yang amat peduli pada kesulitan orang lain sudah mencontohkan bagaimana menerapkan ayat itu dalam kehidupan sehari-hari.

”Ibu banyak memengaruhi saya, terutama menumbuhkan empati dalam kehidupan saya sebagai dokter,” kata Samsuridjal suatu siang di ruang kerjanya di Subbagian Alergi Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Pernah suatu ketika, ada remaja Kebun Kacang, Jakarta Pusat, yang tidak bisa berjalan karena kakinya bengkak besar. Mendengar Puskesmas Kampung Bali memberi pengobatan ketergantungan narkoba cuma-cuma, ia datang dipapah ibunya. Kondisinya yang parah membuat ia harus dirujuk ke rumah sakit.

Pemuda itu pengangguran, cuma lulus SMP. Ia menjadi joki—calo jual beli narkoba—sekaligus pakai sendiri. Ibunya berjualan lontong sayur di pagi hari, tapi modalnya lebih sering dihabiskan oleh si anak.

Ekstremnya, tidak ditolong pun tidak apa-apa. Namun, Samsuridjal tetap mengulurkan tangan, membantu biaya perawatan rumah sakit dan keperluan obatnya. Ternyata levernya bermasalah terkena hepatitis C berat, selain tentu saja terinfeksi HIV/AIDS.

Pemuda itu masih hidup sampai sekarang, namun tetap saja bermasalah. Sempat baik dan menjadi penyuluh HIV/AIDS, terakhir ia masuk penjara karena tertangkap basah menggunakan narkoba.

Sedangkan ayahnya, Djauzi, meski sering bepergian berdagang tekstil untuk menambah penghasilannya sebagai guru, memberi teladan untuk hidup jujur, sederhana, menghormati hak orang lain, dan bekerja keras. ”Nilai-nilai yang mereka ajarkan menjadi modal besar dalam menjalani pendidikan dan karier saya,” tambahnya.

Semua yang mengenalnya memang sepakat bahwa Samsuridjal amatlah low profile meski banyak karyanya yang bergaung nasional. Ketika masih menjabat Direktur RS Kanker Dharmais, misalnya, mobilnya cukup sedan Timor.

Ketika sudah menjadi doktor dan bahkan kemudian guru besar, ia meminta atribusinya tetap dokter saja di rubrik kesehatan Kompas Minggu. ”Di situ saya jadi dokter keluarga,” begitu alasannya.

Padahal, bersama sahabatnya, Prof Dr dr Zubairi Djoerban SpPD (KHOM), ia mendirikan Yayasan Pelita Ilmu (YPI) yang mengenalkan pencegahan HIV/AIDS dan memberi dukungan pada pasien dan keluargnya. Mereka pula yang aktif di Kelompok Studi Khusus AIDS (Pokdisus) FKUI/RSCM, mengembangkan layanan HIV/AIDS di berbagai rumah sakit, merintis obat murah untuk pasien yang akhirnya berkembang menjadi obat gratis dari pemerintah, mengembangkan pengobatan narkoba berbasis masyarakat di Kampung Bali, dan masih banyak lagi.

Kedua anaknya yang menjadi dokter—dan menikah dengan dokter pula—pilihannya juga terinspirasi sang ayah yang tidak pernah diskriminatif, yang selalu siap dipanggil pasien bahkan pada pukul 03.00 dini hari di Samarinda, tempat keluarga Samsuridjal tinggal selama lima tahun (1976-1981).

Merintis pencegahan

Mengapa tertarik AIDS?

Karena bidang saya imunologi, jadi terkait dengan kekebalan tubuh. Pada pertengahan 1980-an, ketika persoalan HIV/AIDS mulai muncul di dunia, Pak Zubairi baru pulang dari Perancis. Kami ngobrol-ngobrol. Selain dia belajar banyak tentang limfosit di sana, di berbagai kawasan sudah muncul kasus HIV/AIDS, termasuk Thailand yang sudah tergolong berat.

Kami berpikir, mumpung di Indonesia belum terjadi kenapa tidak diupayakan saja pencegahannya. Maka, mulailah kami penyuluhan di sekolah-sekolah. Waktu itu Sabtu belum libur, masih ke kantor setengah hari. Jadi, kami penyuluhan pulang dari kantor.

Saya masih ingat, Pak Zubairi punya mobil kijang untuk mengangkut overhead projector, layarnya, bahkan air minum kemasan dan camilan. Itu tahun 1986-87, persis di awal-awal HIV/AIDS muncul di Indonesia.

Sekolah bersedia?

Wah, tidak. Sekolah-sekolah yang ditawari umumnya menolak, karena mereka merasa sekolahnya sekolah baik-baik sehingga tidak perlu ceramah HIV/AIDS. Rupanya mereka mempersepsikan yang kena HIV adalah yang tidak baik-baik. Ya untungnya ada koneksi teman-teman kepala sekolah, guru, sehingga kami bisa masuk ke beberapa sekolah.

Penyuluhan makin sering setelah Yayasan Pelita Ilmu didirikan 4 Desember 1989, karena dengan adanya YPI ada tenaga-tenaga bantuan bukan dokter, termasuk istri Pak Zubairi yang alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat.

Lalu data pengetahuan siswa sebelum dan sesudah penyuluhan yang dicatat dari total 100-an sekolah setelah 1-2 tahun berjalan, kami ajukan dalam pertemuan jaringan epidemiologi nasional. Data itu menunjukkan rendahnya pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS dan pentingnya mengintervensi mereka.

Mulailah lembaga donor tertarik sehingga yang tadinya anggaran kue dan air minum kemasan dari kantong sendiri, sekarang ada yang membiayai.

Penyuluhan di sekolah berkembang tidak hanya di SMA, tetapi juga di SMP setelah kami tahu justru pemahaman masalah seksual diperlukan sejak SMP. Sebaliknya, kasus HIV/AIDS juga mulai berdatangan sehingga penyuluhan juga mencakup rumah sakit, tenaga kesehatan, sampai ke permukiman.

Bagaimana RSCM sendiri?

Itu juga pengalaman menarik. Operasi pertama pasien HIV/AIDS di rumah sakit ini perjuangannya tidak mudah. Masih ada yang ketakutan kalau berkontak atau dekat-dekat. Maka, terjadi lempar-lemparan antara ruang operasi depan dan belakang, mana yang bersedia digunakan. Lama tak ada tanggapan, akhirnya direktur RSCM memutuskan operasi di belakang, tempat yang biasa dipakai untuk operasi terencana.

Negosiasinya berat, saya bahkan sampai harus membeli bleaching—cairan pemutih baju—untuk mensterilkan ruangan pascaoperasi sampai ke plafon-plafonnya.

Akan tetapi, setelah pengalaman pertama itu, semua jadi punya keyakinan. ”O, cuma begitu.” Ini yang memperlancar operasi-operasi berikutnya, termasuk bedah caesar, hemoroid, dan sebagainya.

Sekarang hampir semua rumah sakit di Jakarta sudah merawat pasien HIV/AIDS dengan baik. Operasi mata, jantung, atau usus buntu pada mereka juga berjalan baik. Sepanjang universal precaution diterapkan, tak ada yang perlu ditakutkan.

Kalau perkembangan YPI?

YPI sekarang punya 10 kegiatan di 10 lokasi, dengan 80 anggota staf yang dibayar dan puluhan relawan. Kegiatan yang masih jalan terus, misalnya, program AIDS di sekolah, anak jalanan, anak yang dilacurkan, dan sanggar sebagai rumah singgah untuk keluarga dan pasien HIV/AIDS belajar hidup bersama. Mereka bisa tinggal dua hari, makan dan tidur bersama. Barangkali ini yang pertama di Indonesia.

Yang lain adalah klinik remaja di Bukit Duri, klinik keluarga di Jatinegara, dan program harm reduction di Kampung Bali untuk pengguna narkoba suntik.

Kenapa Kampung Bali?

Saya tinggal di sana sampai lulus menjadi dokter. Anak-anak yang terkena narkoba adalah anak teman-teman saya.

Akan tetapi, ada yang membuat saya tersentuh. Saya pernah menolong remaja yang sudah tidak sadar di dalam gerobak, di pasar loak dekat situ. Pemuda itu dehidrasi berat, namun tertolong setelah diinfus. Mengaku umur 18, kemudian saya tahu ia baru 16. Setelah keluar masuk rumah sakit, akhirnya ia meninggal.

Ia empat bersaudara, dua kakaknya meninggal duluan karena narkoba. Belakangan, adiknya meninggal juga. Padahal, ayahnya cuma kuli tekstil di Tanah Abang. Bayangkan penderitaan keluarga sederhana ini, empat anaknya habis dengan penyebab yang sama.

Kampung Bali tidaklah amat istimewa dibandingkan dengan yang lain. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah mengakui, tidak ada kecamatan di Jakarta yang bebas narkoba. Mungkin lebih karena saya punya ikatan emosional di situ.

Narkoba dan AIDS

Saat ini peningkatan kasus HIV/AIDS di Indonesia sebagian besar disumbang oleh pengguna narkoba suntik. Kalau Badan Narkotika Nasional (BNN) mengestimasi jumlah pengguna narkoba suntik 575.000 dan 60 persennya tertular HIV/AIDS, maka paling tidak ada 340.000 kasus. Ini baru dari kalangan itu saja, belum termasuk hubungan seksual yang tidak aman. Dengan demikian, angka perkiraan HIV/AIDS 90.000-130.000 kasus perlu dikoreksi lagi.

Berkat rintisan Pokdisus—yang tahun 2001 ke India untuk mendapatkan obat generik antiretroviral (ARV) murah, kemudian berkembang menjadi produksi obat sendiri oleh Indo Farma dan akhirnya disediakan pemerintah secara gratis—banyak pengidap HIV/AIDS bisa menjaga kesehatannya, meneruskan hidupnya dan tetap produktif.

”Harga obat generik yang semula Rp 380.000 per bulan lalu menjadi gratis, berarti sekali di Indonesia,” kata Samsuridjal.

Saat ini yang sudah tercakup obat murah Pokdisus sekitar 2.000 pasien, sedangkan di seluruh Indonesia 4.500-an.

Maka ketika Indonesia ikut program Organisasi Kesehatan Dunia 3 by 5, artinya pengobatan bisa mencapai target 3 juta orang tahun 2005, infrastrukturnya sudah tersedia. Salah satunya adalah pemeriksaan virus yang dibawa Pak Zubairi dari Perancis.

Tanpa pengalaman penyediaan obat generik murah, untuk mengembangkan pemeriksaan saja akan perlu waktu setahun lebih. Belum lagi melatih orang untuk mengerti tentang ARV, manfaat, cara pakai, maupun efek sampingnya. Jangan-jangan tahun ke depan baru persiapan.

Meski sekarang terasa menguntungkan, ketika memulai Samsuridjal dan Zubairi sering dianggap orang bergerak terlalu cepat. ”Namun, latar belakangnya adalah karena kami berhadapan langsung dengan pasien. Orang lain mungkin bisa bilang bikin perencanaan dulu, dinilai dulu, yang bisa berlangsung sampai enam bulan. Padahal, setiap keterlambatan ada dampaknya,” papar Samsuridjal.

Ada yang masih memprihatinkan dalam layanan pasien?

Layanan yang ada masih heterogen. Ada yang baru mulai, ada yang kasusnya banyak. Jadi, keterampilan belum merata.

Makanya kami menawarkan program magang. Satu tim yang ada dokter dan perawatnya, bersama-sama merawat pasien di RSCM atau di RS Kanker Dharmais. Biasanya setelah itu, kalau ada kasus sudah percaya diri.

Anda begitu sibuk. Apa masih ada waktu menikmati puisi?

Ha-ha-ha.... Ada, ada. Kalau mas Taufiq Ismail atau Rendra biasanya saya kejar. Juga kalau ada film bagus dan pergelaran sastra, saya usahakan hadir.

Musik, puisi, film, novel bisa mengasah kepekaan untuk berempati pada orang lain. Saya percaya, kalau hati kita diumpamakan ada senarnya, maka menikmati seni bisa memperhalus senar untuk bergetar sesuai penderitaan orang. (Agnes Aristiarini, Kompas Minggu 4 Desember 2005) ►e-ti

 

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)