|
C © updated 17012008 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/mlp |
|
|
Nama:
St Gr Tumpak Hasiholan Simanullang
Gelar:
Ompu Mangatur Doli
Lahir:
Saitnihuta, Doloksanggul, 2 Maret 1928
Meninggal:
Doloksanggul, 17 Januari 2008
Agama:
Kristen Protestan
Profesi:
Guru
Isteri:
Ame Nurianna br Situmorang(Ompu Mangatur Boru, lahir 2 Juni 1930,
menikah 1950)
Anak:
- Rospita br Simanullang/Tobing (1 putera, 6 putri, 2 menantu)
- Ch Robinson Binsar Halomoan Simanullang/Br Purba (3 putera, 2 menantu)
- Osman Simanullang/Br Sihombing (1 putera, 2 puteri)
- Sinta Mariaty br Simanullang/Sihombing (2 putera, 2 puteri)
- Oloan Simanullang, meninggal usia 5 tahun
- Parulian Simanullang/Br Siregar (2 putera, 3 puteri)
- Wilson Edward Simanullang/Br Silitonga (1 putera)
- Linda br Simanullang/Lbn Gaol (2 putera, 1 puteri)
- Nuraya br Simanullang/Manalu (4 putera, 2 puteri)
- Tagor Butti Simanullang/Br Siregar (1 puteri)
- Rita br Simanullang/Matondang (sebelumnya menikah dengan Situmorang
tapi bercerai), (2 putera, 2 puteri)
- Ade Maranatha Simanullang, meninggal dalam usia 2 tahun
- Hotsan Bantu Simanullang (putera adiknya Djaumar Simanullang/Br
Situmorang, yang diasuh sejak kecil)
Ayah:
Raja Kores Simanullang (Ompu Robinson Binsar Halomoan Doli,
meninggal 1959)
Ibu:
Sofiana br Purba (Ompu Robinson Binsar Halomoan Boru, meninggal
1980)
Pendidikan:
- KGC, Seminari Sipoholon, 1947
- SGA 1958
Karir:
- Guru Sekolah Rakyat Simanullang Toba, Matiti, Dolok Sanggul,
1946-1963
- Kepala Sekolah Dasar Negeri Sosor Tambok, Onan Ganjang, 1963-1967
Kepala Sekolah Dasar Negeri 2 Simanullang Toba, Pearaja Matiti, Dolok
Sanggul 1967-1991
Kegiatan Lain:
- Penetua Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Hutagurgur,
Doloksanggul, 1957-1972
- Penetua Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Hutagurgur,
Doloksanggul, 1972-1978
- Guru Huria (Gembala Sidang) Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI)
Hutagurgur, Doloksanggul, 1978-1995
- Penetua Senior Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Hutagurgur,
Doloksanggul, 1995-2008
***
Ende (Kidung) keluarga saat pelepasan Ompu
Mangatur Doli ke Rumah Bapa di Sorga
Sai Solhot tu SilangMi
Ende 449; Logu 300; 6/8; 1=F ; FH 72
1 =
Sai solhot tu silangMi,
Jesus ingananku.
Mual na mabaor disi,
i ma inumonku.
Ref: SilangMi, Tuhanki
i ma pujionku.
Paima sogot sahat ahu,
i endehononku.
2 =
Lao ma au tu silangMi,
i haporusanku.
Sai asi ma rohaMi,
unang tulak ahu.
Ref: SilangMi….
3 =
Domu ma tu silangMi,
i ma tioponku.
Asa unang lilu ahu,
Ho ihuthononku.
Ref: SilangMi….
4 =
Laos maniop silangMi,
sai paimaonku.
GokhonMi tu surgo i,
tu siteanonku.
Ref: SilangMi….
Pada Kaki SalibMu
KJ 368; 6/8; 1=F
1=
Pada kaki salibMu,
Yesus, ku berlindung.
Air hayat Golgota,
pancaran yang agung.
Ref: SalibMu, SalibMu,
yang kumuliakan.
Hingga dalam sorga klak
ada perhentian.
2=
Pada kaki salibMu,
kasihMu kut’rima.
Sinar bintang fajar trang,
yang membri cahaya.
Ref: SalibMu…
3=
Pada kaki salibMu,
kuingat kurbanMu.
Dalam jalan hidupku,
kukenang selalu.
Ref: SalibMu…
4 =
Pada kaki salibMu,
kutetap percaya.
Hingga dalam sorga klak,
jiwaku bahagia.
Ref: SalibMu…
|
|
|
|
|
|
|
TH SIMANULLANG HOME |
|
|
St Gr Tumpak Hasiholan Simanullang (1928-2008)
Guru 45 Tahun, Tanpa Tanda Jasa
Pahlawan tanpa tanda jasa. Hanya penghargaan ini juga yang diberikan
kepada St Gr Tumpak Hasiholan Simanullang, yang telah mengabdikan
hidupnya selama 45 tahun aktif sebagai guru. Mulai mengajar sejak
berusia 18 tahun (1946) di SR Simanullang Toba, Matiti, Doloksanggul,
Sumut hingga pensiun sebagai Kepala SDN Simanullang Toba 2 tahun 1991.
Pria yang pernah bangkit dari kematian ini juga aktif melayani sebagai
penetua dan gembala sidang di gereja selama 51 tahun.
Dia seorang guru yang sangat mengasihi murid-muridnya. Seorang guru
yang tidak pernah menghukum muridnya dengan kekerasan. Beberapa muridnya
ada yang seusia dengannya. Maklum kala itu, masih ada anak berusia
belasan tahun baru berkesempatan masuk sekolah rakyat (Sekolah Dasar).
Sementara dia sendiri sudah menjadi guru pada usia 18 tahun, setelah
menamatkan SGB.
Tahun 1946 dia sudah mulai mengajar di Sekolah Rakyat (SR) Simanullang Toba, Matiti, Doloksanggul,
Sumut, satu-satunya SR di wilayah itu kala itu. Tiga tahun berikutnya,
dia diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Namun dalam pencatatan di SK
pengangkatannya tercantum tanggal lahirnya 2 Maret 1931 dari seharusnya
2 Maret 1928. Itu sebabnya dia baru pensiun pada tahun 1991.
Selama karirnya sebagai guru, dia hanya bertugas di tiga tempat.
Yakni, Guru Sekolah Rakyat Simanullang Toba, Matiti, Dolok Sanggul,
1946-1963; Kepala Sekolah Dasar Negeri Sosor Tambok, Onan Ganjang, 1963-1967;
dan
Kepala Sekolah Dasar Negeri 2 Simanullang Toba, Pearaja Matiti, Dolok
Sanggul 1967-1991. Dia ikut merintis berdirinya sekolah dasar di
Sosortambok, Kecamatan Onan Ganjang serta di Desa Pearaja Matiti, dan
Desa Hutagurgur, Kecamatan Doloksanggul. Dialah kepala SDN pertama di
SDN Sosortambok dan SDN Simanullang Toba 2, Pearaja Matiti. Sampai
pensiun (1991), dia dipertahankan mengabdi di SDN Simanullang Toba 2 ini,
atas permintaan masyarakat setempat.
Gembala Sidang
Pria yang disapa akrab para sahabatnya, Guru Tumpak, yang pada usia
lima tahun pernah meninggal selama kl 18 jam tapi bangkit kembali dari
kematian, itu juga mengabdikan diri dalam pelayanan di
gereja selama 51 tahun. Mulai aktif sebagai penetua sejak tahun 1957 di
gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Hutagurgur,
Doloksanggul, hingga 1972. Kemudian menjadi penetua di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Hutagurgur,
Doloksanggul, 1972-1978.
Lalu selama 17 tahun melayani sebagai Guru Huria (Gembala Sidang) Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI)
Hutagurgur, Doloksanggul, 1978-1995. Sebenarnya masa kerja seorang
gembala sidang dibatasi hanya 2 periode (2 x lima tahun), tapi oleh
desakan para anggota jemaat, dia 'dipaksa' melayani sebagai gembala
sidang selama tiga periode lebih dua tahun.
Anggota jemaat kemudian merelakan dia pensiun, dengan harapan masih
aktif melayani sebagai penetua senior, terutama dalam pelayanan
berkhotbah dan sebagai penasihat.
Harapan anggota jemaat ini dipenuhi hingga akhir hayatnya. Sepanjang hidupnya,
termasuk setelah dia pensiun sebagai gembala sidang, tidak ada hari yang
dilewatkannya untuk beribadah, terutama pada hari kebaktian Minggu.
Dalam tiga tahun terakhir, kendati kesehatannya sudah mulai menurun dan
kadang kala penyakit asma yang dideritanya kambuh, setiap hari minggu
dia selalu tampil sehat, apalagi bila saatnya dia bertugas melayani
sebagai pengkhotbah.
Seringkali anggota jemaatnya kuatir jangan-jangan dia tidak mampu
naik turun podium manakala tampil sebagai pongkhotbah. Tetapi apa yang
dikuatirkan tidak pernah terjadi. Bahkan dia masih mampu bersuara
nyaring setiap kali berkhotbah kendati hari Sabtu, sehari sebelumnya,
dia masih tergolek lesu di tempat tidur akibat penyakit asmanya kambuh.
Tak jarang anggota jemaat meneteskan air mata manakala mendengar dia
berkhotbah.
Dia memang seorang yang sangat bersahaja, bahkan sangat sederhana.
Sangat sabar, nyaris tak pernah marah. Dia sangat tidak senang mendengar
seseorang membicarakan keburukan orang lain. Menurut, pengakuannya,
sejak kecil hingga masa tuanya, dia tak pernah mau berkelahi, kendati
dia sering disakiti orang lain. Dia tidak pernah mau menjadi serigala,
melainkan dia selalu ingin menjadi anak domba di antara serigala.
Kepada putera-puteri dan cucu-cicitnya, dia selalu mengajarkan agar hidup bersahaja dan selalu bergantung pada Tuhan. "Saya tidak
mewariskan harta kepada kalian. Tapi saya mewariskan firman Allah, agar
kalian tetap bertekun dalam kebenaran firman Allah," pesannya.
Hidup Kembali
Banyak kisah menarik sepanjang hidupnya. Salah satu di antaranya
adalah kisah kematiannya ketika berusia lima tahun (1933). Kala itu dia
jatuh sakit dan dinyatakan meninggal lebih 18 jam. Pagi subuh dia sudah
ditangisi ibunya Sofiana Boru Purba, karena sudah menghembuskan nafas
terakhir. Tiada lagi nafas dan denyut nadi. Ayahnya, Raja Kores Simanullang, juga
menangis histeris, karena putera kesayangannya meninggal dunia.
Maklum, cukup lama Raja Kores dan Sofiana menunggu kelahiran putera
pertamanya ini. Tumpak baru lahir setelah empat kakak perempuannya duluan lahir.
Bagi orang Batak, putera (laki-laki) adalah penerus garis keturunan.
Maka ketika ucok Tumpak lahir, Raja Kores dan Sofiana, mengadakan pesta
besar dengan memotong sapi (sigagat duhut), mengundang raja adat marga dan bius di
Sihutinghuting, Saitnihuta, Doloksanggul. (Dalam tradisi adat Batak,
terutama kala itu, tidak sembarangan memotong lembu (sigagat duhut) manakala anak lahir. Itu harus
persetujuan raja adat dan bius. Hal ini juga punya konsekwensi bagi
penyelenggara hajatan, yakni dalam hajatan-hajatan berikutnya, misalnya
pernikahan dan adat meninggal dunia, harus lebih tinggi dari sebelumnya).
Maka ketika Tumpak, anak kesayanganya itu, meninggal, Raja Kores dan
Sofiana sangat bersedih. Semua keluarga dan kerabat datang menangisi
jenazah putera kesayangannya itu.
Lonceng gereja juga dibunyikan pertanda kematiannya. Peti matinya juga
dibuat lengkap dengan kain kafannya, sengaja dipilih kain kafan yang
terbaik kala itu (1933).
Saat semua keluarga dan kerabat menangisinya, Sang Ayah Raja Kores
Simanullang, justru masuk ke bilik rumahnya: Berdoa dan membaca Alkitab.
Kepada kerabat yang melayat, dia menyatakan anaknya tidak akan mati. "Dia
akan hidup kembali," teriaknya histeris, berulang-ulang. Sementara Sang
Ayah terus berdoa dan membaca Alkitab. Raja Kores punya Alkitab Perjanjian Baru
yang disalin dengan
tulisan tangannya sendiri.
Namun, orang-orang sekitarnya mengira Sang Ayah sudah gila: Bibelon!
(Istilah bagi orang yang dianggap gila karena terlalu banyak membaca dan
salah memahami Bibel). Karena dianggap sudah gila, Sang
Ayah malah sengaja sempat dikunci dalam biliknya sendirian. Sudah gila.
Bibelon!
Lalu saat Sang Ayah sendirian berdoa di biliknya, semua acara pemakaman, layaknya seorang anak berusia lima tahun
meninggal, sudah dilakukan. Namun belum bisa dikebumikan, selain
dilarang oleh Sang Ayah, juga karena ada permintaan Sang Ibu untuk
menunggu Amangborunya (Suami dari kakak perempuan Sang Ayah) yang
tinggal di Pakkat Dolok. Amangborunya (Marga Purba) ini sangat sayang
dan dekat dengan si bocah Tumpak. Amangborunya, kala itu, tidak sedang
berada di rumah (kampung). Sehingga, sampai pukul 15.00 WIB,
masih belum dimakamkan, tapi didengar kabar, Amangborunya sudah akan
segera datang.
Beruntung, belum dimakamkan. Ketika Sang Ayah bangkit dari bilik
kesendiriannya, dia meminta dibukakan pintu, lalu menghampiri puteranya
Tumpak yang terbaring kaku di peti mati
dalam balutan kain kafan, sambil menatap dan menengadahkan tangan ke
atas berdoa: "Tuhan Jesus, bangkitkan puteraku, seperti Lazarus!"
Tiba-tiba mata si bocah Tumpak berkedip. Lalu menatap Sang Ayah yang
berdiri di hadapannya dan Sang Ibu yang menangis tersedu di sampingnya. Sang
Ayah mengangkat, memeluk dan menciuminya, seraya berulang-ulang memuji kebesaran
Tuhan. Puji Tuhan! Haleluya!
Suasana pun menjadi gempar. Ini mujizat. Tumpak dibangkitkan dari
mati. Raja Kores ternyata tidak gila, tidak bibelon. Upacara pemakaman (kematian) berubah
menjadi sukacita (kebangkitan dari mati). Raja Kores pun melantunkan kidung rohani berulang
kali, diikuti oleh semua hadirin: Sai Solhot tu SilangMi (Pada Kaki
SalibMu).
Sementara, Amangborunya yang
ditunggu-tunggu, tiba dengan dua bungkus roti marie di tangannya. Dari
kejauhan, dia sudah menangis meraung-raung. Tetapi tangisannya tiba-tiba
berhenti manakala dia saksikan keponakannya (paramaannya), Tumpak, sudah hidup
kembali dalam pelukan iparnya (Raja Kores).
Kisah ini nyata di tengah masyarakat Saitnihuta, Doloksanggul. Tumpak
pun kemudian sehat walafiat dalam pengasuhan kedua orangtuanya. Sebelum Tumpak
menjadi guru, dia sempat mengikuti Sang Ayah, berdagang garam. Kala itu
garam diambil dari Barus menapaki jalan terjal lewat Pakkat. Saat itu, Tumpak masih memakai kain kafannya,
yang dijadikan celana dan kemeja. Kala itulah kain kafan itu rusak.
Sementara peti matinya sudah sejak hari pertama dibakar, bersamaan
lubang kuburnya ditimbun (diuruk) kembali hingga rata.
Tumpak pun tumbuh sebagai seorang anak dan remaja yang diasuh dalam
balutan pengalaman relijius. Dia dibawa pindah oleh Sang Ayah dari
Saitnihuta ke Desa Hutagugur saat berusia 10 tahun. Di sini dia
bertumbuh menjadi remaja dan dewasa. Kedatangan keluarga Raja Kores di desa ini
bukan atas kehendak yang direncanakan, tetapi demi menegakkan kebenaran.
Kala itu, enam keluarga saudara dekat semarga, pomparan (keturunan) Ompu
Raja Panuturi, diusir dengan fitnah begu ganjang (dukun santet) dari kampung itu.
Tapi Raja Kores menduga ada iri hati dan maksud terselubung untuk mengambil-alih semua harta kekayaan enam
keluarga, saudaranya itu.
Raja Kores yang berdomisili di desa lain, tidak rela
saudara-saudaranya diperlakukan seperti itu. Dia berusaha mencegah
terjadinya kekerasan dan pengusiran tak manusiawi kepada saudara-saudaranya itu. Tapi
dia tidak kuasa membendung kemarahan penduduk setempat yang memaksakan: Mereka harus
pindah!
Dalam suasana kalut seperti itu, Raja Kores selalu berdoa untuk tampil di depan
membela kebenaran. Dia dengan bijak
melaporkan hal itu kepada penguasa (pendudukan Belanda) dan
bermusyawarah dengan penetua dan penduduk setempat. Dia minta agar
keselamatan saudara-saudaranya terjamin. Lalu, dia pun membekali segala
keperluan kepindahan saudara-saudaranya ke Sidikalang, hingga mereka
juga bisa memiliki rumah dan tanah di tempat baru itu. Sepadan dengan
itu, saudara-saudaranya pun menyerahkan hak kepemilikan dan penguasaan semua harta,
terutama tanah, peninggalan mereka di kampung itu. (Saudara-saudaranya
hidup makmur dan tenteram di Sidikalang, keturunannya ada yang jadi
pendeta, pejabat, dokter dan lain-lain).
Sepeninggal saudara-saudaranya, Raja Kores sangat memahami posisinya yang
masih baru dan 'sendirian' di kampung itu. Dia tidak mau diperlakukan seperti saudara-saudaranya. Maka dia meminta
pemerintah turun tangan, memberi jaminan atas keberadaannya di kampung
itu.
Pada awalnya, keluarga Raja Kores, nyaris dikucilkan dalam pergaulan
sehari-hari dan adat di kampung itu.
Namun Raja Kores dan keluarga serta para pekerjanya semakin tekun
bekerja dan melakukan kebaktian di Rumah Bolon (Rumah Batak Besar) yang
telah dibangunnya di kampung itu. Nama dusun itu dia sebut Pansinaran na
Uli (Diadakan upacara adat untuk peresmian dusun itu). Selain rajin bekerja, dengan puluhan orang pekerja, tiga orang
kemudian menjadi menantunya, keluarga Raja Kores pun selalu setia
melakukan kebaktian di Ruma Batak itu.
Sampai beberapa tahun kemudian, terjadi paceklik (haleon) di daerah
itu. Beberapa
penduduk kemudian mendekati keluarga ini. Karena di ladang dan
perkampungan keluarga ini banyak persediaan makanan, seperti beras, ubi jalar
dan ubi kayu (ketela), gundur dan jelok (labu) dan berbagai jenis buah-buahan
lainnya.
Mula-mula mereka datang pada acara kebaktian yang secara berkala
setiap pekan diadakan di Ruma Batak (rumah tanpa bilik). Setiap selesai
kebaktian selalu diadakan jamuan makan. Peserta kebaktian juga boleh
mengambil buah tangan berbagai buah-buahan yang ada di pekarangan
perkampungan Pansinaran itu. (Sebagaimana lazimnya kala itu, dibangun
tembok pembatas ditanami pohon dan bambu sekeliling perkampungan).
Keluarga ini
membawa suasana relijius baru di kampung itu. Kala itu masih banyak yang belum mengenal
Kristus di daerah itu. Sebagian besar masih menganut kepercayaan animisme,
agama tradisi Batak (Parmalim) dan sebagian
beragama Islam. (Pada tahun 1972, di bagian sudut tertinggi, bukit,
dusun Pansinaran, kemudian berdiri bangunan gereja GKPI di mana Guru
Tumpak menjadi gembala sidang selama 17 tahun).
Di rumah keluarga yang baru datang ini, secara berkala dilakukan
kebaktian (partangiangan). Banyak orang yang mengenal Kristus melalui
kebaktian di rumah keluarga ini. Termasuk gadis remaja Ame Nurianna br
Situmorang, puteri seorang saudagar Tumbur Situmorang/Br Simanullang,
seorang Parmalim yang kala itu sempat menganut agama Islam, yang kemudian
dipersunting Tumpak menjadi isterinya.
Keluarga Saudagar Tumbur
Situmorang (Ompu Marolop) ini mendiami dusun Parmonangan yang bertetangga dengan dusun
Pansinaran. Keluarga Saudagar Situmorang, yang rumahnya bertangga semen, ini kemudian menjadi sahabat dekat
keluarga Raja Kores. Sampai akhirnya, Tumpak, putera Raja Kores menikah
dengan Ame Nurianna, puteri Saudagar Tumbur Situmorang, tahun 1950. Dikaruniai 12 anak (7 putera, dua meninggal masih anak-anak,
dan lima puteri).
Dalam suasana itulah Tumpak diasuh menjadi manusia relijius yang nyaris tak
pernah berpikir tentang harta kekayaan duniawi, sampai dia mencapai usia
80 tahun.
Saurmatua
Guru Tumpak, panggilan akrab dari rekan-rekannya, Ompu Mangatur Doli,
Gelar masa tuanya, meninggal dengan tenang dalam pelukan isterinya Ame
Nurianna Br Situmorang (Gelar Ompu Mangatur Boru), Kamis 17 Januari 2008
pukul 09.30 WIB. Meninggal saat dirawat lebih satu bulan di RSU
Doloksanggul akibat penyakit asma. Saat dia meninggal, keturunannya
berjumlah 61 orang, termasuk dua orang cicitnya yaitu satu nini
bernama Asasira (cucu dari putera pertamanya) dan satu nono bernama
Daniel (cucu dari putri pertamanya). Cicitnya (nini) baru lahir di
Jakarta tanggal 18 Desember 2007, persis satu bulan sebelum dia
meninggal.
Upacara pemakaman, sesuai dengan pesannya, lebih banyak diisi
upacara kebaktian. Antara lain kebaktian (kesaksian) keluarga, dan kebaktian
umum. Acara kebaktian (kesaksian) keluarga berlangsung khidmat diwarnai
iringan Ende 449 Sai Solhot tu SilangMi dan Kidung Jemaat 368
Pada Kaki SalibMu. Juga kebaktian oleh Jemaat Gereja HKBP Hutagurgur dan kebaktian oleh
Gereja Kristen Potestan Indonesia pada Minggu siang 20 Januari 2008. Serta kebaktian pelepasan di gereja
GKPI Hutagurgur (21 Januari 2008), di mana dia bertugas selama 17 tahun sebagai gembala
sidang (guru huria).
Kemudian dimakamkan di Pemakaman Keluarga
Ompu Robinson Binsar Halomoan di Desa Hutagurgur, Kecamatan Doloksanggul,
Kebupaten Humbang, Provinsi Sumatera Utara, pada Senin 21 Januari 2008.
Selain diisi upacara kebaktian gereja, upacara pemakamannya juga
diisi upacara Adat Saurmatua dengan Gondang Sabangunan dipadankan
seruling dan musik tiup (musik modern). Upacara kebaktian dan adat
saurmatua ini berlangsung dari Kamis 17 Januari s/d Senin 21 Januari
2008 di Dusun Pansinaran, Desa Hutagugur, Doloksanggul. Upacara ini
termasuk singkat dibandingkan lazimnya upacara adat saurmatua lainnya di
Tapanuli, yang sering kali harus selama tujuh hari.
►ti/rbh
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|