|
|
|
Nama:
Taufiq Kiemas
Lahir:
Jakarta, 31 Desember 1942
Agama:
Islam
Isteri:
Megawati Sukarnoputeri
Jabatan:
Anggota DPR
|
|
Taufiq Kiemas
Pemimpin Tanpa Rakyat Tak Berarti Apa-apa Itulah judul
buku yang diluncurkan Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati Soekarnoputri,
untuk merayakan ulang tahunnya ke-60. Memang terasa spesial, politisi
paling kontroversial merayakan ulang tahunnya dengan meluncurkan dan
sekaligus membedah buku yang ditulisnya sendiri.
Peluncuran dan bedah buku "Tanpa Rakyat Pemimpin tak Berarti Apa-apa",
Jejak Langkah 60 Tahun Taufiq Kiemas ini dilangsungkan, Selasa (31/12) -
tepat tanggal kelahiran Taufiq - di Agung Room, Inna Grand Bali Beach,
Sanur, Denpasar, Bali. Acara itu dimoderatori pengamat politik yang juga
dekat dengan Taufiq Kiemas, Rizal Mallarangeng. Sedang pembicaranya,
Soetardjo Soerjogoeritno, Panda Nababan yang juga editor buku tersebut,
dan Cornelis Lay, semuanya dari PDI Perjuangan. Dan dihadiri langsung
Presiden Megawati Soekarnoputri.
Buku yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan dan Panitia Penerbitan Buku 60
Tahun Taufiq Kiemas dengan editor Panda Nababan ini terdiri 4 bab 832
halaman. Berisi pokok-pokok pikiran Taufiq Kiemas dan pandangan
cendekiawan, kerabat, dan sahabat, bahkan lawan politiknya.
Panda Nababan dalam pengantarnya menyatakan, Taufiq Kiemas, orang
Palembang yang lahir di Jakarta, 31 Desember 1942, selama ini dikenal
sebagai tokoh di belakang layar (the man behind the scene). Benang merah
pemikiran Taufiq Kiemas berujung pada asas kerakyatan.
Perhatian besar Taufiq Kiemas terhadap kehidupan rakyat kecil dituangkan
pada halaman 16-17. "Tanpa dukungan rakyat, aku tidak akan jadi seperti
sekarang ini," kata Taufiq. Pada halaman lain disebutkan contoh perjuangan
Taufiq terhadap kehidupan rakyat kecil, yaitu, bersama beberapa kawannya,
Taufiq Kiemas memelopori pembentukan koperasi tukang becak.
"Mula-mula kami menangani langsung manajemen koperasi dan bengkel becak
itu. Tapi, setelah jalan, kami serahkan kepada para tukang becak sendiri,”
kenang Sjafei Ali Gumay, salah seorang kawan dekat Taufiq Kiemas semasa
aktif di GMNI Palembang.
Sekarang ini, peran dan pengaruh Taufiq dinilai sangat signifikan dalam
menentukan arah dan peta perpolitikan di Indonesia. Pengaruh Taufiq Kiemas
itu tidaklah semata-mata karena statusnya sebagai suami Presiden Megawati
Soekarnoputri, tapi juga karena posisinya yang cukup sentral sebagai
sesepuh PDI Perjuangan, partai yang kini berkuasa (the ruling party).
Selain itu, kemampuan Taufiq Kiemas dalam memainkan perannya sebagai aktor
politik, lewat berbagai manuvernya juga diakui mampu mewarnai kanvas
perpolitikan negeri ini.
Pada Bab IV berisi artikel-artikel yang ditulis empat intelektual muda -dua
orang wartawan dan dua orang ilmuwan politik-, yang menganalisis sosok
Taufiq Kiemas dalam peta perpolitikan nasional.
Selain mengisahkan penangkapan atas diri Taufiq Kiemas dan puluhan aktivis
GMNI Palembang pasca-tragedi 1965, buku ini juga menampilkan kisah asmara
Taufiq Kiemas dengan Megawati. Betapa Taufiq selama mendampingi Megawati
dalam perjalanan panjang kehidupannya membangun telah turut karakter Mega
sebagai politisi. Juga disinggung naiknya Megawati ke puncak kekuasaan,
menyusul lengsernya KH Abdurrachman Wahid sebagai Presiden RI pada
pertengahan 2001.
Yang menarik dari buku ini, tidak saja menampilkan pendapat para kerabat
dan sahabat Taufiq Kiemas serta analisis para intelektual yang kenal dekat
dengan Taufiq, melainkan juga menampilkan pandangan Soerjadi. Menurut
Soerjadi, otak Mas Taufiq ggak pernah tidur. Taufiq Kiemas, tambahnya,
juga baik. "Saya punya jam tangan dari dia," kata Soerjadi.
Setelah sama-sama di GMNI (1966-2969), keduanya kemudian sama-sama berada
di gerbong PDI, dengan Soerjadi sebagai ketua umum. Tapi, dalam
perkembangannya, menjelang kongres PDI di Medan yang pertama, pertemanan
yang telah terbangun puluhan tahun itu menjadi kurang serasi. Sejarah
akhirnya mencatat PDI terbelah dua. Yang satu dipimpin Soerjadi, yang
dikenal sebagai partai onderbouw pemerintah; satunya lagi dipimpin
Megawati dan Taufiq Kiemas berada di belakangnya.
Setelah menjadi Ketum PDI, Soerjadi punya kesempatan membukakan pintu
kepada seseorang untuk masuk. Pada wkatu itu, Soerjadi mengaku punya
keinginan kuat untuk memunculkan salah seorang anak Bung Karno. "Keinginan
saya waktu itu, demi Allah, motifnya bukan untuk membesarkan PDI, tapi
sebagai rasa terima kasih saya kepada Bung Karno yang telah memerdekakan
bangsa ini. Saya berpikir, kalau bangsa ini ggak merdeka, nggak mungkin
saya bisa seperti sekarang. Saya pastilah akan tetap menjadi petani miskin
di kampung saya. Paling banter, saya hanya bisa makan, itu pun kurang,"
kata Soerjadi.
"Saya hanya mau mengatakan, saya telah diperintahkan kepada seluruh
pendukung saya untuk mendukung Mbak Mega sebagai ketua umum. Namun, setiap
saya menelepon, teleponnya dikasihkan ke Mas Tjipto (Soetjipto, sekarang
Sekjen DPP PDIP). Saya pribadi sebenarnya telah berusaha berkomunikasi.
Jadi, saya tidak ada masalah apa-apa dengan Mas Taufiq," demikian Soerjadi.
Buku ini layak dibaca para politisi dan para pemimpin negeri ini, serta
para ilmuwan dan juga masyarakat. Dalam buku ini Taufiq seperti
mengingatkan bahwa masalah-masalah kenegaraan selalu terkait dengan aspek
kerakyatan.
"Pemimpin itu harus selalu mendampingi rakyat, memberi semangat kepada
rakyat. Jangan malah menjual rakyat. Tanpa rakyat, pemimpin tidak berarti
apa-apa. Ibarat ikan enggak dapat air, lama-lama mati sendiri. Pemimpin
jangan Cuma bisa ngajarin rakyat, tapi justru belajar dari rakyat," kata
Taufiq. (Surya)
Jogja Rumah Sendiri
Suami Presiden Megawati Soekarnoputri, Taufiq Kiemas, merasa seperti
berada di rumah sendiri jika berada di Yogyakarta. Ia merasa senang
mendapat sambutan yang ramah. Taufiq yang berasal dari Palembang ini
ternyata memiliki kenangan tersendiri di Yogyakarta.
Menurut dia, 46 tahun yang lalu, ayah dan ibunya dari Palembang pindah ke
Yogyakarta. Tanpa pernah tahu bagaimana Yogyakarta, dan tidak pernah
mengetahui bahasa Jawa, kedua orang tuanya masuk ke Yogyakarta karena
merasa sebagai orang republiken harus ikut andil berjuang. "Pada masa awal
republik, Yogyakarta sudah menjadi kota yang modern yang bisa menerima
orang lain, kota yang majemuk dan kotanya kaum republiken," ujarnya kepada
Media.
Menurut Taufiq, ketika itu usianya baru sekitar 4-5 tahun. Saat itu
ayahnya sempat hilang di kawasan Gunung Merapi selama hampir enam bulan.
Selama waktu enam bulan itulah, katanya, ia bersama ibunya dihidupi oleh
orang desa di kawasan Merapi.
Namun, Taufiq tidak menjelaskan di kawasan mana kehidupannya saat ayahnya
hilang dan di desa mana yang menjadi tempat tinggalnya itu. Tidak hanya
dirinya yang merasa senang berada di Yogya. Menurut dia, Megawati juga
merasa sebagai orang Yogya. Karena pada masa kecilnya pernah tinggal di
Yogyakarta saat kota ini menjadi ibu kota republik.
Karena itu, lanjutnya, ia juga merasa akrab dengan Raja Yogyakarta, Sri
Sultan Hamengku Buwono X ini. Bahkan, Taufiq selalu memanggil Gubernur DIY
ini dengan sebutan Mas Sultan. "Karena sejak awal saya panggilnya memang
Mas Sultan." (Kompas)
*e-ti
|
|