ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Search     A   B     D     F       I       L     N   O   P   Q   R   S     U     W     Y   Z
BPK
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
R up date 050702
INDEX PEJABAT   

garis

:::::: Pejabat garis

:::::: Lembaga Tinggi
garis
:::::::::::: Presiden
garis
:::::::::::: MPR/DPR/DPD
garis
:::::::::::: MA
garis
:::::::::::: Bepeka
garis
:::::::::::: DPA
garis
:::::: Kabinet
garis
:::::: Departemen
garis
:::::: Badan-Lembaga
garis
:::::: Pemda
garis
:::::: BUMN
garis
:::::: Asosiasi
garis
::::::::::: Korpri
garis
::::::::::: APPSI
garis
::::::::::: Apeksi
garis
::::::::::: Apkasi
garis
::::::::::: Lainnya
garis
:::::: MK
garis
:::::: Purnabakti
garis
:::::: Redaksi
garis

 
garis
garis

 


Nama:
Prof.Dr. Satrio B. Joedono
Lahir:

Pendidikan:

Pekerjaan:
- Menteri Perdagangan (1993-1995)
- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan 1998-2003

Satrio Billy Joedono

Bunyi Alarm Tiada Henti


Sejak menjabat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Oktober 1998, Billy --demikian panggilan Satrio B. Joedono-- kerap bersuara keras. Berbagai praktek penyimpangan anggaran belanja negara dibeberkan secara terbuka, blak-blakan, oleh mantan Menteri Perdagangan (1993-1995) itu kepada DPR dan pers. Bahkan, laporan perjalanan pejabat tinggi, termasuk presiden, diungkapkan lembaga yang dipimpinnya.

Pria beruban berusia 62 tahun ini menganggap pemerintahan Mega tidak serius memberantas korupsi yang dilaporkan lembaganya. Beberapa kasus tidak jelas tindak lanjutnya. Masih sedikit pejabat yang terlibat KKN diberi tindakan tegas. ''Tak ada perbedaan signifikan dalam persentase penyimpangan anggaran pada masa H.M. Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur, dan Megawati,'' ujarnya.

Dalam hal pemberantasan korupsi, Billy mengibaratkan BPK sebagai alarm mobil. Sedangkan pemerintah diibaratkan mobil. Yang terjadi saat ini, menurut Billy, mobilnya bobrok sehingga alarmnya berbunyi tiada henti. ''Berarti ada yang tak beres dalam pemerintahan,'' katanya.

Beberapa waktu lalu, wartawan GATRA Kholis Bahtiar Bakri dan fotografer Astadi Priyanto menemuinya di Gedung BPK, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, untuk sebuah wawancara. Petikannya:

Anda menilai pemerintahan Megawati tidak ada kemajuan dalam memberantas KKN?
Yang saya maksud, kalau diukur dari besarnya penyimpangan pelaksanaan anggaran belanja, pemerintahan Megawati memang tidak ada bedanya dengan masa sebelumnya. Tapi, untuk pemerintahan Megawati, kesimpulan ini masih sementara, karena baru berjalan lima bulan dan hanya melaksanakan sebagian anggaran 2001. Kami juga masih belum sepenuhnya memeriksa anggaran 2001.

Tapi, apakah selama 2001 tidak bisa terlihat?
Ya, tidak fair, dong. Dalam lima bulan ini tidak mungkin bisa dibenahi. Aparaturnya masih sama. Hanya pemerintahan yang baru. Aparat tak banyak berubah seperti pada zaman Pak Harto.

Perlu berapa lama BPK bisa menyimpulkan berapa penyimpangan pada masa Megawati?
Kami memerlukan sekurang-kurangnya tiga semester untuk mengetahui gambaran anggaran pemerintahan Megawati 2002 secara lebih lengkap. Apakah ada penurunan penyimpangan. Kalau terjadi penurunan, berarti pemerintahan Mega mampu mengendalikan aparatnya.

Beberapa departemen malah protes atas pemeriksaan BPK yang dianggap tidak akurat?
Yang kami catat adalah penyimpangan pada waktu pemeriksaan. Itu yang diakui oleh yang diperiksa. Yang kami laporkan adalah penyimpangan yang diakui kedua pihak. Pemeriksaan paling lama lima bulan. Banyak yang salah sangka, ketika dilaporkan ke DPR ada penyimpangan. Padahal, mungkin saja sebelum dilaporkan sudah diperbaiki penyimpangan itu.

Apakah penyimpangan itu banyak yang berindikasi korupsi?
Modus penyimpangan kan banyak, misalnya ada penyimpangan terhadap ketentuan administratif. Barang yang belum dicatat dalam inventaris bisa dicatat sebagai penyimpangan. Tapi, dari penyimpangan ke korupsi itu masih ada jalan panjang.

Bagaimana penyimpangan itu bisa dikatakan korupsi?
Korupsi terjadi karena memenuhi tiga unsur: pelanggaran terhadap undang-undang yang ada, menimbulkan kerugian negara, dan unsur memperkaya diri. Penyimpangan belum tentu pelanggaran tindak pidana korupsi. Selain itu, BPK tidak menangani jenis korupsi berupa pemerasan dan penyuapan, karena itu termasuk transaksi yang tidak tercatat. Tidak ada kuitansinya. Yang kami periksa cuma penyalahgunaan anggaran yang tidak sesuai dengan aturan.

Berapa kasus yang sudah dilaporkan ke kejaksaan?
Relatif jarang, karena kami harus benar-benar teliti. Yang kami rasa cukup yakin, ya, bantuan likuiditas Bank Indonesia.

Anda keberatan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, dan Pengawasan Keuangan. Apa alasannya?
Sampai saat ini, kita masih menggunakan Undang-Undang Perbendaharaan yang berasal dari Indische Comptabiliteits Wet, undang-undang masa penjajahan Belanda. Dalam peraturan ini terkandung prinsip dan mekanisme comptable, yaitu ''barang siapa yang ditugaskan menerima, menyimpan dan membayarkan uang, barang berharga dan barang yang dianggap setara dengan uang merupakan orang yang comptable''.
Artinya, kalau terjadi kekurangan bayar atau tekor, orang yang ditugasi itu wajib membuat catatan mengenai pengurusan uang tersebut. Petugas tadi juga wajib menyerahkan laporan kepada pihak ketiga.
Nah, dalam RUU tersebut tidak ada konsep itu. RUU tersebut cuma menyebut: bendahara bertanggung jawab pada atasannya. Bendahara tidak ada keharusan menyerahkan catatannya kepada pihak ketiga untuk diperiksa. Makanya saya ribut karena uang negara bakal jebol.

Apakah ini tidak menyalahi hierarki jabatan?
Bendahara tetap bertanggung jawab pada atasannya, tapi ia juga harus diperiksa pihak ketiga yang independen. Kalau dia hanya menyerahkan ke atasannya, potensi manipulasi masih besar. Saya lalu dituding oleh orang-orang Departemen Keuangan hanya ingin mempertahankan BPK supaya lebih kuat dan berkuasa. Katanya, aneh, masak pemegang kas di departemen bertanggung jawab pada BPK. Padahal, masalahnya bukan tanggung jawab. Tapi, bendahara itu harus diperiksa juga oleh pihak ketiga yang independen. Siapa saja, tidak mesti BPK.

Jadi, dalam RUU itu peran BPK menjadi kecil?
Tidak, dalam RUU Pengawasan Keuangan Negara, BPK dibuat bertaring besar. Tapi, itu percuma kalau bendaharanya hanya bertanggung jawab pada atasan dan tidak menyerahkan catatannya pada pihak ketiga.

BPK tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU itu?
Itulah masalahnya, seolah-olah semua keuangan negara itu monopoli pemerintah. Nah, akuntabilitasnya di mana, dong? Lucunya, rancangan itu disusun pada zaman Soeharto, diselesaikan pada masa B.J. Habibie, dan diserahkan pada DPR pada masa Abdurrahman Wahid. Mungkin disahkan pada masa Megawati.

Dalam menerbitkan obligasi, pemerintah mengabaikan fungsi BPK untuk melakukan pengesahan. Apakah ini bukti monopoli?
Memang demikian. Itu sebenarnya yang perlu diwaspadai. Walaupun bukan sikap pemerintah secara keseluruhan, ini suatu tanda masih belum berubahnya aparat pemerintah. Mereka mengabaikan dan mengurangi wewenang BPK.

Menurut Anda, apa fungsi dan wewenang BPK yang harus tercantum dalam RUU itu?
Sebenarnya saya tidak terlalu peduli fungsi BPK besar atau kecil. Saya hanya peduli dengan sistem dan mekanismenya. Buat apa menciptakan BPK yang kuat kalau sistemnya tidak mengandung unsur pengendalian intern yang bagus.

Apa saran Anda untuk membenahi kebobrokan ini?
Saya pernah menjadi duta besar di Prancis. Saya tanyakan pada BPK-nya di sana. Katanya, mereka hanya 600 orang. Mereka memeriksa anggaran lebih dari US$ 1 trilyun, 15% dari gross domestic product (GDP) Prancis. Uang sebesar itu bisa diperiksa hanya sedikit orang karena pengawasan intern mereka berjalan baik. Jadi, ketika BPK-nya memeriksa, laporan keuangannya sudah tidak bermasalah lagi. Sedangkan anak buah saya 2.500 orang. GDP kita pun kurang dari anggaran belanja mereka.

Kongkretnya bagaimana?
Benahi aparat pemerintah, dan sistem harus disempurnakan. Saya yakin, di sini masih banyak yang mau bekerja dengan idealisme. Ada jutaan orang yang bisa bekerja dengan baik. Kita harus memilih orang yang punya idealisme tinggi. Untuk menjadi aparat harus lulus fit and proper test. Begitu terpilih, mereka harus digaji tinggi. Namun, jangan hanya gaji gede, orangnya tetap sama seperti yang dulu.

Apa lagi?
Intinya, pemerintah harus bisa mengendalikan aparatnya karena sudah dipercaya oleh rakyat. Untuk itu, pemerintah perlu memperbaiki undang-undangnya.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), Repro Gatra Nomor 09 Tahun ke VIII)
Copyright © 2002 Ensiklopedi Tokoh Indonesia. All right reserved. Design and Maintenance by Esero