Oleh: Benny Susetyo pr
Negara Tanpa Negarawan
OPINI: Berbagai kejadian memilukan dan memalukan akhir-akhir ini membuat bangsa
ini kian kehilangan rasa optimistis untuk keluar dari krisis.
Busung lapar, polio, kurang gizi, kelaparan, krisis bahan bakar minyak,
pendidikan menurun, korupsi dan pemberantasannya, narkoba, penegakan
hukum yang payah, ketidaknyamanan fasilitas pelayanan publik, dan
seterusnya, membuat rasa optimisme menjadi bangsa yang kuat semakin
menipis.
Optimisme mulai pudar ketika sebagian besar elite bangsa mulai kehabisan
empatinya terhadap berbagai persoalan yang menimpa bangsa. Busung lapar,
misalnya, belum berhasil membuat elite bangsa ramai-ramai bersolidaritas
mengeluarkan sebagian depositonya untuk membantu mengurangi beban
penderitaan.
Empati lahir dari ketulusan hati. Namun, meski elite memiliki nurani,
tetapi empati terhadap persoalan bangsa belum menjadi bagian dari cara
mereka melihat, merasa, dan memikirkan bangsa. Realitasnya, empati kian
lama kian tidak dianggap sebagai bagian terpenting proses bangsa keluar
dari krisis. Jangankan bergerak menjadi simpati, sebagai sikap hidup,
nyatanya rasa empati pun kian hilang dari sanubari.
Tak pernah dibatinkan
Bangsa ini telah kehilangan kepercayaan diri sebagai kaum yang mampu
bergerak bersama untuk memiliki dan meraih harapan yang tersisa. Harapan
yang dinantikan tak kunjung datang karena kita melupakan hal yang paling
mendasar sebagai bangsa, yakni tidak berani melihat sejarah.
Sejarah sebagai bangsa tidak pernah dibatinkan dalam kehidupan bersama
karena hanya ditulis oleh jenderal pemenang perang dan selalu
dimanipulasi untuk melestarikan kekuasaan.
Katanya, kebesaran dan adidaya suatu bangsa bisa ditengok dari bagaimana
sejarah suatu bangsa dibangun. Nyatanya, sejarah kita lepas dari
pembatinan. Sejarah kita hanya menjadi materi pendidikan di sekolah dan
perdebatan yang membosankan.
Akibatnya, sikap obyektif tidak menjadi bagian dari kultur kehidupan.
Hidup hanya dimaknai apa yang menyenangkan indrawi. Kebijakan diambil
tanpa memedulikan dasar hukum. Semua serba kacau, serba bertentangan.
Pertentangan demi pertentangan boleh dijadikan ukuran bagaimana
demokrasi bangsa dihargai. Namun, pertentangan itu hanya tameng bagi
elite untuk mengelabui publik bahwa bangsa ini sudah demokratis.
Seolah-olah demokrasi hanya sekadar berbeda pendapat. Seolah demokrasi
hanya berisi pertentangan dan boleh mengabaikan kepentingan yang lebih
besar, yakni kesejahteraan rakyat.
Bangsa yang tak pernah membaca dan membatinkan sejarah adalah bangsa
yang tidak memiliki pathos, yakni bangsa yang sedikit demi sedikit
menghilangkan ingatan secara kolektif akan nilai-nilai ketulusan dan
kejujuran. Yang ada adalah ambisi politik dan kekuasaan untuk menguasai
dan menipu publik.
Dalam kenyataannya, uang menjelma menjadi monster baru dalam dinamika
demokrasi. Dalam pemilihan gubernur, bupati/walikota, pejabat, dan
pos-pos kekuasaan lain, uanglah yang berbicara, bukan nurani.
Tanpa pertimbangan akal
Uang juga berbicara dalam berbagai perumusan kebijakan negara. Berbagai
aturan dibuat tanpa ada pertimbangan akal sehat dan nurani. Tanah boleh
digusur, orang boleh ditipu. Semua dibungkus dalam aturan yang disahkan
atas nama bersama.
Kita tidak menyangkal karena sering kali aturan dibuat sebagai bentuk
deal dengan cukong. Dengan bahasa sarkastik, aturan dibuat karena ada
pesanan para cukong. Para cukong itu, di negeri ini, merasa paling
berkuasa.
Negeri ini sudah dipenuhi para cukong berdasi yang mengatur deal demi
deal dengan politisi.
Dan deal tentu secara logis dibuat dengan sama sekali meminggirkan
kepentingan rakyat. Lalu, di mana posisi rakyat dalam pertarungan dan
perumusan deal-deal antara mafia, politisi busuk, makelar politik,
pemodal hitam, atau para cukong?
Posisi rakyat amat dilematis karena tak berdaya menghadapi semua ini.
Sudah lama rakyat tidak memiliki kekuatan dan minim daya tawar akibat
sejak lama ditipu oleh aturan-aturan menyesatkan. Selama ini, publik
tidak pernah mendapat kecerdasan yang membuat mereka paham mengenai
demokrasi sebenarnya. Warga tidak pernah mendapat pendidikan politik
memadai.
Partai politik, entah besar entah gurem, perilakunya masih zaman Orba,
tidak berubah. Yang menjadi orientasi partai, bagaimana menguasai aset
negara sebanyak-banyaknya untuk kepentingan diri elite dan partainya!
Dalam kategori Maslow, kelompok politik ini masih dalam proses pemenuhan
kebutuhan paling mendasar, yakni rasa kenyang!
Partai hanya akan berbunyi bila dipandang ada kepentingan politik
praktis yang menguntungkan. Karena itu, jangan harap partai memiliki
empati terhadap berbagai penderitaan bangsa. Jangankan peduli penegakan
hukum, peduli busung lapar atau bencana alam pun amat rendah.
Inilah yang membuat negeri ini kian kehilangan daya nalar dan hati
jernih. Negeri yang serakah. Negeri yang menghasilkan orang tidak tahu
diri, tidak sadar atas kemampuan dan keterbatasannya.
Negeri dengan penghuni yang berlomba-lomba ingin menduduki kekuasaan,
tetapi tidak memiliki sikap kenegarawanan babar blas.
Negeri kita sedang menderita penyakit, akut dan kronis. Diperlukan
kesadaran kolektif yang bisa mendobrak semua kebekuan. Bencana di Aceh
hanya menghasilkan simpati sesaat, busung lapar belum menghasilkan
elite-elite dengan empati yang tangguh. Lalu, dengan cara apa bangsa ini
harus diajar dan dididik? (Kompas, Kamis, 28 Juli 2005) ►e-ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |