|
C © updated 31102004 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/tsl |
|
|
Nama :
Bob Sadino
Lahir :
Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933
Agama :
Islam
Pendidikan :
-SD, Yogyakarta (1947)
-SMP, Jakarta (1950)
-SMA, Jakarta (1953)
Karir :
-Karyawan Unilever (1954-1955)
-Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950-1967)
-Pemilik Tunggal Kem Chicks (supermarket) (1969-sekarang)
-Dirut PT Boga Catur Rata
-PT Kem Foods (pabrik sosis dan ham)
-PT Kem Farms (kebun sayur)
Alamat Rumah:
Jalan Al Ibadah II/12, Kemang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp:
793981
Alamat Kantor :
Kem Chicks Jalan Bangka Raya 86, Jakarta Selatan Telp: 793618
Sumber:
Antara lain, entrepreneur-university.com dan PDAT
|
|
|
|
|
|
|
Bob Sadino
Pengusaha Berdinas Celana Pendek
Pria berpakaian ''dinas'' celana pendek jin dan kemeja lengan pendek yang
ujung lengannya tidak dijahit, ini adalah salah satu sosok entrepreneur sukses yang memulai
usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal dari keluarga wirausaha.
Pendiri dan pemilik tunggal Kem Chicks (supermarket), ini mantan sopir
taksi dan karyawan Unilever yang kemudian menjadi pengusaha sukses.
Titik balik yang getir menimpa keluarga Bob Sadino. Bob rindu pulang
kampung setelah merantau sembilan tahun di Amsterdam, Belanda dan Hamburg,
Jerman, sejak tahun 1958. Ia membawa pulang istrinya, mengajaknya hidup
serba kekurangan. Padahal mereka tadinya hidup mapan dengan gaji yang
cukup besar.
Sekembalinya di tanah air, Bob bertekad tidak ingin lagi jadi karyawan
yang diperintah atasan. Karena itu ia harus kerja apa saja untuk
menghidupi diri sendiri dan istrinya. Ia pernah jadi sopir taksi. Mobilnya
tabrakan dan hancur. Lantas beralih jadi kuli bangunan dengan upah harian
Rp 100.
Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan depresi
yang dialaminya. Bob tertarik. Ketika beternak ayam itulah muncul
inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya.
Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang untuk hidup, tentu manusia pun
juga bisa.
Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa
kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki
banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa
Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana
terdapat banyak menetap orang asing.
Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing
sekalipun. Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan.
Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi
pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi
pemilik tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil
sederhana dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek.
Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis,
khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi
orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan
para petani di beberapa daerah.
Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi
kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya
sering jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang penting
kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang.
Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak
harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah
pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang,
terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak segera
melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata Bob.
Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung
terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob trampil dan menguasai
bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya
dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan profesional.
Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak
serba canggih, arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang
lain.
Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran dan
keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati pelanggan
dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan
menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu berusaha melayani
pelanggan sebaik-baiknya.
Bob menempatkan perusahaannya seperti sebuah keluarga. Semua anggota
keluarga Kem Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang utama,
semuanya punya fungsi dan kekuatan.
Anak Guru
Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan
pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan
Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad,
bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, pria Solo yang jadi guru kepala di SMP
dan SMA Tanjungkarang, meninggal dunia ketika Bob berusia 19.
Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an.
Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan.
Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan kebun.
Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya.
Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi
berita kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. ''Hati saya ikut hancur,''
kata Bob. Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas bekerja jadi kuli
bangunan. Padahal, kalau ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang
berpengalaman sebagai sekretaris di luar negeri, bisa menyelamatkan
keadaan. Tetapi, Bob bersikeras, ''Sayalah kepala keluarga. Saya yang
harus mencari nafkah.''
Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari
kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Dari sini Bob menanjak: Ia berhasil
menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem
hidroponik. Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan
sebuah ''warung'' shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan awal
1985 menunjukkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual 40 sampai 50
ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran
segar.
''Saya hidup dari fantasi,'' kata Bob menggambarkan keberhasilan usahanya.
Ayah dua anak ini lalu memberi contoh satu hasil fantasinya, bisa menjual
kangkung Rp 1.000 per kilogram. ''Di mana pun tidak ada orang jual
kangkung dengan harga segitu,'' kata Bob.
Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di luar
bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak ada
habis-habisnya. Karena itu ia tak ingin berkhayal yang macam-macam.
Haji yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik klasik dan
jazz. Saat-saat yang paling indah baginya, ketika shalat bersama istri dan
dua anaknya. ►e-ti/sh
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|