|
C © updated 29012005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
►e-ti/cbn |
|
|
Nama:
Dr. Gadis Arivia
Lahir:
New Delhi, India, 4 September 1964
Suami:
Rick Polard (berkebangsaan Amerika)
Menikah:
Bogor 9 Januari 1994
Anak:
Anissa Joice dan Benyamin Arif
Ayah:
Arif Effendi
Ibu:
Atikah
Pendidikan:
= Sekolah dasar di British Embassy School Budapest
= Kelas 1 SMP Tebet, Jakarta
= Mc. Lean High School Virginia Amerika
= Program Diploma III Sastra Prancis Universitas Indonesia
= Studi filsafat di Universitas Indonesia
= Ecole Haute Etudes Scientifique Sociale, Prancis
= Doktor filsafat Universitas Indonesia dengan disertasi Dekonstruksi
Filsafat Barat, Menuju Filsafat Berperspektif Feminis
Pekerjaan:
= Dosen studi feminisme dan filsafat kontemporer di Universitas
Indonesia
= Pendiri dan Direktur Yayasan Jurnal Perempuan
Tokoh Idola:
Jacques Derrida , tokoh gerakan pascamodernisme dari Prancis, yang
dikenal dengan teori dekonstruksi dalam filsafat Barat
Alamat Kantor:
Yayasan Jurnal Perempuan
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810
Telp. 62.21. 8370 2005 (Hunting)
Fax. 62.21. 830 2434
E-mail : yjp@yjp.or.id
Alamat Rumah:
Kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan
|
|
|
|
|
|
|
Dr. Gadis Arivia
Filsuf dan Aktivis Gerakan Feminisme
Dosen studi feminisme dan filsafat kontemporer di Universitas Indonesia
ini seorang aktivis perempuan. Ibu berparas cantik ini mendirikan Yayasan
Jurnal Perempuan, bersama rakan-rekannya pada tahun 1996. Namanya, Gadis
Arivia, menjadi akrab di telinga, mata dan hati publik setelah ditangkap
polisi ketika berdemonstrasi mengusung isu kelangkaan susu bayi di
bundaran Hotel Indonesia Jakarta, Februari 1998.
Ketika itu, krisis ekonomi melanda negeri. Nilai tukar rupiah terhadap
dolar melorot terus. Susu bayi jadi barang langka. Doktor filsafat dari
Universitas Indonesia dengan disertasi Dekonstruksi Filsafat Barat, Menuju
Filsafat Berperspektif Feminis, ini bersama puluhan ibu lainnya turun ke
jalan, menggugah kesadaran.
Mereka dengan dandanan rapi dan berkacamata hitam berdemonstrasi,
bernyanyi dan membagikan bunga mawar di bundaran Hotel Indonesia Jakarta.
Akibatnya, Gadis bersama dua ibu lainnya Wilasih Noviana dan Karlina
Leksono sebagai pimpinan rombongan, ditangkap polisi. Sejak itu, nama
Gadis Arivia menjadi populer. Maklum, dia demonstran yang cerdas, cantik
dan menawan.
Sebelumnya, tak banyak yang tahu bahwa lulusan Ecole Haute Etudes
Scientifique Sociale itu, bersama rekan-rekannya, telah mendirikan Yayasan
Jurnal Perempuan (YJP) tahun 1996. Mereka mendirikan yayasan itu, karena
melihat demokrasi bagi kaum perempuan di Indonesia masih sangat perlu
diperjuangkan. Betapa kaum perempuan yang tinggal di pelosok wilayah
Indonesia, sangat membutuhkan batuan, baik itu masalah pendidikan ataupun
masalah lain yang belum tersentuh oleh pemerintah.
Ibu dari dua orang anak, Anissa Joice dan Benyamin Arif, buah
pernikahannya dengan Rick Polard, laki-laki berkebangsaan Amerika, ini
tinggal di rumahnya yang asri di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan.
Mereka menikah di Bogor 9 Januari 1994.
Rick Polard dikenal sebelum dia kuliah ke Prancis. Polard bekerja di Bank
Dunia kantor Indonesia. Kala itu, setiap weekend, Polard menjenguknya ke
Prancis. Tak heran bila Gadis sangat mengagumi Polard yang disebut
berdedikasi dan memulai karier jadi guru di Nepal, Pakistan dan Afrika.
Selalu berpenampilan menarik dan anggun, ruangan kerjanya pun sangat sejuk
dan tertata apik. Tercermin pula dia seorang ilmuwan. Di ruang kerjanya
itu, tersusun rapi buku-buku yang kebanyakan tentang filsafat dan
feminisme. Di depan ruang kerjanya ada kolam renang yang airnya bening. Di
dinding belakang meja kerjanya terdapat poster besar Jacques Derrida,
tokoh gerakan pascamodernisme dari Prancis, yang sangat dikaguminya.
Selain menekuni pekerjaannya sebagai seorang akademisi, Gadis mengabdikan
diri sebagai Direktur Yayasan Jurnal Perempuan (YJP). Kendati dia tidak
pernah menerima gaji dari kegiatannya di YJP itu. Prinsip bekerja sebagai
pimpinan dalam LSM, menurutnya, adalah harus siap untuk tidak di bayar.
Dia sangat berbahagia karena memiliki kesiapan mental dan dukungan dari
suami dan anak-anaknya. "Tanpa dukungan mereka saya tidak bisa bekerja
dengan maksimal,"katanya. Namun, sesibuk apa pun dia, baik sebagai dosen
dan aktivis perempuan, dia tetap memprioritaskan keluarga. Tak jarang dia
mengajak anaknya ikut keluar kota sekaligus menyelesaikan pekerjaanya.
Pada masa kecil sampai beranjak dewasa, Gadis telah melanglang buana dari
satu negara ke negara lain, mengikuti ayahnya Arif Effendi, berdarah
Melayu Deli, yang bekerja di British Council, sebuah lembaga kebudayaan
kerajaan Inggris. Sementara, ‘darah aktivis’ diwarisi dasi ibunya Atikah,
berdarah campuran Aceh dan Minang, kelahiran Pematang Siantar, yang semasa
mudanya aktif sebagai aktivis Aisyah, organisasi perempuan Muhammadiyah.
Gadis, anak ketujuh dari sembilan bersaudara (empat perempuan dan lima
laki-laki) lahir di New Delhi, India pada 4 September 1964, tempat ayahnya
bertugas. Namun, ketika itu, ayahnya Arif Effendi sedang bertugas ke
Etiopia. Sesaat dia lahir seorang kerabat mengusulkan nama Gadis. Sang Ibu
mengamini. Lalu, saat Sang Ayah kembali dari Etiopia, diberi tambahan
Arivia. Sebuah nama yang berasal dari nama ayahnya Arif (Ari) dipadu nama
neneknya Lathifah (Via).
Saat bayi Gadis baru berumur dua minggu, keluarga besar ini pindah ke
Etiopia, mengikuti kepindahan tugas Sang Ayah. Dua tahun keluarga ini
tinggal di Etiopia. Kemudian pulang ke Indonesia. Setelah tiga tahun
menetap di Indonesia, keluarga ini pindah mengikuti Sang Ayah yang
ditugaskan ke Budapest, Hongaria, selama empat tahun.
Di negeri ini, Gadis masuk sekolah dasar di British Embassy School
Budapest. Kemudian keluarga ini mengikuti Sang Ayah kembali lagi ke
Indonesia. Tinggal di daerah Tebet, Jakarta. Gadis pun masuk ke sekolah
menengah pertama di Tebet, namun, hanya sampai kelas satu. Saat itu, Gadis
mengalami kesulitan mengikuti mata pelajaran yang menggunakan bahasa
Indonesia. Dia lebih fasih berbahasa bahasa Inggris.
Ketika itu, Sang Ayah sakit parah dan meninggal Juli 1977 dalam usia 55
tahun. Gadis dan segenap keluarga besar ini berduka. Untunglah beberapa
kakaknya sudah bekerja. Gadis pun ikut kakaknya nomor dua, Arrizal
Effendi, yang bertugas sebagai diplomat di Washington. Gadis remaja ini
melanjutkan sekolah menengah di Mc. Lean High School Virginia Amerika.
Setelah lulus sekolah menengah di Virginia, Gadis pulang ke tanah air.
Sang Ibu sangat merindukannya, ingin selalu dekat dengannya. Di Jakarta,
dia melanjutkan studi di Program Diploma III Sastra Prancis Universitas
Indonesia. Gadis memilih sastra Prancis dilatari kekagumannya pada Paris.
Sang Ayah sering mengajak mereka sekeluarga keliling Eropa. Gadis
mengagumi gaya hidup penduduk Paris dan keindahan kotanya.
Bahkan saat sekolah di Virginia, dia juga banyak membaca buku-buku para
pemikir Prancis seperti Albert Camus, Simone d'Beauvoir, dan Jean Paul
Sartre. Pasalnya, Gadis dan teman-temannya mendapat tugas membuat makalah
tentang para sastrawan Prancis itu. Saat itu, Gadis sering merasa papernya
kurang bagus dibanding temannya yang lebih menguasai bahasa Prancis.
Saat kuliah Sastra Prancis Universitas Indonesia, awal 1980-an, Gadis pun
sering mengunjungi perpustakaan di Centre Culturel Francais atau Pusat
Kebudayaan Prancis, Jalan Salemba Raya Jakarta. Di situ dia banyak membaca
buku tokoh-tokoh filsafat Prancis. Dia pun makin tertarik pada filsafat.
Maka, setelah program diploma sastra Prancis selesai, Gadis pun
melanjutkan studi filsafat di Universitas Indonesia.
Pada 1990-an, Gadis merasa tertarik pada pemikiran baru tentang
pascamodernisme. Ketika itu, Asikin Arif, dosen filsafat Universitas
Indonesia, pulang dari Jerman membawa pemikiran pascamodernisme. Sebuah
gerakan yang bermula dari kritik seni, arsitektur dan filsafat, kemudian
berkembang jadi skeptisisme yang sistematis terhadap teori-teori lama
tentang modernisasi dan industrialisasi. Gerakan ini, antara lain dimotori
Jacques Derrida dari Prancis, yang dikenal dengan teori dekonstruksi dalam
filsafat Barat.
Gadis sangat tertarik atas pemikiran itu. Dia pun ikut aktif membentuk
kelompok diskusi Lingkaran Studi Filsafat. Sampai kemudian, Gadis
berobsesi bertemu Jacques Derrida, sekaligus untuk melanjutkan studi
filsafat di perguruan tinggi ilmu sosial, Ecole Haute Etudes Scientifique
Sociale, tempat Derrida mengajar.
Obsesi itu tidak mudah dicapai. Karena, ketika itu tidak ada jatah
beasiswa dari pemerintah Indonesia untuk ilmu filsafat. Tapi Gadis bergiat
dengan optimis untuk mewujudkan keinginannya. Akhirnya, kegigihannya
membuahkan hasil, dia mendapat beasiswa dan kerinduannya mengikuti kuliah
Derrida terpenuhi.
Dia berangkat ke Prancis. Dua tahun (antara 1992 -1994), dia studi dan
melahap banyak buku, berdiskusi dengan para mahasiswa dan yang paling
menarik mengikuti kuliah Jacques Derrida. Masa itu dianggap sebagai suatu
masa yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Banyak kenangan indah yang
diperolehnya selama mengikuti studi itu.
Di antaranya, kesannya perihal Derrida yang sangat populer saat itu walau
teorinya tentang dekonstruksi telah diperkenalkannya sejak 1968. Di mata
banyak mahasiswa ketika itu, Derrida itu tampan, berwibawa, pintar dan
mudah diajak ngobrol oleh siapa pun taanpa mengambil jarak.
Jurnal Perempuan
Sepulang dari Prancis, Gadis mengajar studi feminisme dan filsafat
kontemporer di Universitas Indonesia. Saat itu, mahasiswanya mengalami
kesulitan lantaran bahan-bahan bacaan berbahasa Indonesia sulit ditemukan.
Gadis pun membuat buletin. Dicetak sekitar 200 eksemplar dan langsung
habis.
The Ford Foundation, sebuah embaga dana Amerika Serikat, tertarik dengan
buletin berisi teori dan perkembangan feminisme itu. Lembaga itu bersedia
mendanai dengan syarat harus ada legalitas secara hukum. Gadis bersama
Toeti Heraty Noerhadi dan Asikin Arif mendirikan badan hukum yang dinamai
Yayasan Jurnal Perempuan. Modalnya hanya empat juta yang segera pula
dikembalikan setelah yayasan berdiri.
Langsung mulai bekerja diawaki tiga orang. Awalnya hanya bahan bacaan,
Jurnal Perempuan. Ternyata makin berkembang hingga menjadi Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang diawaki lebih 20 orang.
Sekitar 60 persen dana yang membiayai kegiatan Yayasan Jurnal Perempuan,
bersumber dari lembaga dana dan perusahaan nasional dan international. Di
antaranya The Ford Foundation, Canada International Development Agency,
The Body Shop, Martha Tilaar, Rio Tinto dan Philip Morris.
Yayasan Jurnal Perempuan ini pun dapat bertahan menerbitkan Jurnal
Perempuan (jurnal ilmiah soal feminisme) dan program radio Jurnal
Perempuan (mulai tahun 1999). Jurnal Perempuan yang formatnya seperti
majalah Granta dan bertiras 2.000 eksemplar, dikhususkan untuk segmen
menengah-atas dan akademisi. Sedangkan program radio (102 stasiun radio),
ditujukan untuk segmen menengah ke bawah.
Ketertarikan Gadis soal studi feminisme sudah bergelora semasa kuliah
filsafat. Dia sudah getol membicarakan wacana feminisme pada
teman-temannya. Suatu teori atau wacana yang dianggap baru ketika itu. Dia
memang sangat bergairah untuk mempelajari sesuatu teori yang baru. Baginya
teori Marxis yang bnyak digemari teman-teman kuliahnya yang kebanyakan
lelaki, sangat membosankan.
Salah satu pemikir feminisme yang dikaguminya adalah Barbara Smith.
Barbara dalam bukunya All the Women are White, All the Blacks are Men, But
Some of Us are Brave, yang bersumber dari pidatonya (1979) menyebut
feminisme adalah teori dan praktik politik yang berjuang untuk membebaskan
(pembebasan total) semua perempuan.
Di dalam negeri, dia mengagumi Toeti Herati Nurhadi. Gadis banyak
berdiskusi dengan dosennya yang jika ke luar negeri sering membeli
buku-buku bagus tentang perempuan itu. Gadis sering meminjam buku-buku
Toeti tentang feminisme itu. ►e-ti/crs, dari berbagai
sumber
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|