|
C © updated
02062005 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/tempo |
|
|
Nama:
Rudy Hartono Kurniawan
Lahir:
Surabaya, 18 Agustus 1949
Agama:
Kristen Protestan
Isteri:
Jane Anwar (Menikah 28 Agustus 1976)
Anak:
Christoper dan Christine
Ayah:
Zulkarnaen Kurniawan
Saudara Kandung:
Freddy Harsono, Diana Veronica, Jeanne Utami, Eliza Laksmi Dewi,
Ferry Harianto, Tjosi Hartanto, dan Hauwtje Hariadi.
Pendidikan:
- SMA
- Sarjana Muda, Fakultas Ekonomi Trisakti Jakarta
Prestasi:
- Juara tunggal putra All England delapan kali (1968, 1969, 1970,
1971, 1972, 1973, 1974, dan 1976):
1968: Menang mengalahkan Tan Aik Huang (Malaysia)
1969: Menang mengalahkan Darmadi (Indonesia)
1970: Menang mengalahkan Svend Pri (Denmark)
1971: Menang mengalahkan Muljadi (Indonesia)
1972: Menang mengalahkan Svend Pri (Denmark)
1973: Menang mengalahkan Christian (Indonesia)
1974: Menang mengalahkan Punch Gunalan (Malaysia)
1975: Kalah dari Svend Pri (Denmark)
1976: Menang mengalahkan Liem Swie King (Indonesia)
1978: Kalah dari Liem Swie King (Indonesia)
- Juara bersama Tim Indonesia dalam Thomas Cup (1970, 1973, 1976 dan
1979)
- Juara Dunia, 1980
- Japan Open, 1981
- Ketua Bidang Pembinaan PB PBSI (1981-1985)
Kegiatan lain:
- Main dalam film Matinya Seorang Bidadari (1971) bersama Poppy
Dharsono
- Pengusaha/agen peralatan olahraga (1984-sekarang)
Penghargaan:
- Olahragawan terbaik SIWO/PWI (1969 dan 1974)
- IBF Distinguished Service Award 1985
- IBF Herbert Scheele Trophy 1986 – penerima pertama
- Honorary Diploma 1987 dari the International Committee's "Fair Play"
Award
Alamat:
Taman Radio Dalam I/6, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Telp 714000, 714565
Sumber:
Dari berbagai sumber, khususnya badmintoncentral.com |
|
|
|
|
|
|
Rudy Hartono Kurniawan
Kunci Sukses ‘Berdoa’
Penampilan yang memukau dan smash yang mematikan dalam
olahraga bulutangkis, membawa ia menjadi juara All England delapan kali
dan bersama-sama dengan tim Indonesia memenangkan Thomas Cup pada 1970,
1973, 1976, dan 1979. Atas prestasi itu, nama pria yang suka berdoa
saat bertanding ini diabadikan dalam Guiness Book of World Records pada
1982.
Rudy Hartono Kurniawan yang lahir dengan nama Nio Hap Liang pada 18
Agustus 1949, adalah anak ketiga dari keluarga Zulkarnaen Kurniawan. Dua
kakak Rudy, Freddy Harsono dan Diana Veronica juga pemain olahraga
bulutangkis kendati baru pada tingkat daerah.
Saudaranya yang lebih muda adalah Jeanne Utami, Eliza Laksmi Dewi, Ferry
Harianto, Tjosi Hartanto, dan Hauwtje Hariadi. Beberapa adiknya pun ada
yang menjadi pemain di tingkat daerah. Keluarga besar ini tinggal di
Jalan Kaliasin 49, sekarang Jalan Basuki Rachmat, kawasan bisnis di
Surabaya. Tempat tinggal ini juga menjadi tempat usaha jahit-menjahit.
Bisnis mereka yang lain termasuk pemrosesan susu dekat Wanokromo.
Seperti anak-anak lainnya, Rudy kecil juga tertarik mengikuti berbagai
macam olahraga di sekolah, khususnya atletik. Saat masih SD, ia suka
berenang. SMP, ia suka bermain bola voli dan SMA, ia menjadi pemain
sepakbola yang baik. Meski demikian, bulutangkis menjadi minatnya yang
paling besar.
Saat usia 9 tahun, Rudy sudah menunjukkan bakatnya pada olahraga ini.
Namun ayahnya, Zulkarnaen Kurniawan, baru menyadari bakatnya ini saat
Rudy berusia 11 tahun. Ayahnya adalah pemain bulutangkis yang ikut
bertanding di masa mudanya.
Sang ayah, pertama kali bergabung di Persatuan Bulutangkis Oke yang ia
dirikan pada 1951. Pada 1964 organisasi ini dibubarkan dan ia pindah ke
Surya Naga Group. Di sini, sang ayah diminta melatih pemain-pemain muda.
Dalam melatih, Zulkarnaen menerapkan empat standar: kecepatan, olah
nafas, konsistensi, dan agresivitas. Oleh karena standar itulah, ia
sering melatih para pemain agar mahir juga di bidang olahraga atletik
khususnya lari jarak pendek dan jauh, melompat, dan sebagainya.
Saat di Oke, Rudy untuk pertama kali memulai program latihannya yang
disusun sedemikan rupa. Sebelumnya Rudy lebih banyak berlatih dengan
turun ke jalan. Ia berlatih di jalan-jalan beraspal yang seringkali
masih kasar dan penuh kerikil, di depan kantor PLN di Surabaya,
sebelumnya bernama Jalan Gemblongan.
Ia ceritakan pengalamannya ini dalam buku Rajawali Dengan
Jurus Padi (1986). Saat itu, Rudi berlatih hanya hari Minggu dari pagi
hingga pukul 10.00. Dengan penuh percaya diri, Rudy mulai mengikuti
kompetisi di Surabaya, dari kampung ke kampung dalam penerangan
petromaks.
Setelah pindah ke Persatuan Bulutangkis Oke yang dimiliki ayahnya,
latihannya menjadi lebih sistematis. Ia dilatih di sebuah gudang dekat
jalur kereta api di PJKA Karangmenjangan. Ia berlatih di sana hingga
malam karena ada lampu. Lantainya cukup baik dan dekat dari situ
berkumpul para penjual makanan. Bila ia lapar, ia bisa pergi ke sana
untuk makan dan minum.
Tidak lama kemudian ia bergabung dengan Rajawali group yang telah banyak
menghasilkan pemain bulutangkis internasional. Ia merasa bisa memberikan
yang terbaik saat berlatih di Rawali. Namun, setelah mendapat masukan
dari ayahnya, ia mengakui bahwa kemampuan teknis dan taktisnya baru
dibangun lebih baik setelah bergabung dengan Pusat Pelatihan Nasional
untuk Thomas Cup di akhir 1965. Sebelumnya, di usia 15 tahun, Rudy mulai
mengukir nama pada saat menjuarai Kejuaraan Nasional Yunior.
Setelah bergabung dengan Pusat Pelatihan Nasional untuk Thomas Cup,
kemampuannya meningkat pesat. Ia menjadi bagian dari tim Thomas Cup yang
menang pada 1967. Setahun kemudian, di usia 18 tahun ia meraih juara
yang pertama di Kejuaraan All England mengalahkan pemain Malaysia Tan
Aik Huang dengan skor 15-12 dan 15-9. Ia kemudian menjadi juara di
tahun-tahun berikutnya hingga 1974.
Namun, nampaknya kedigdayaannya tidak berlangsung lama. Pada 1975, ia
kalah dari Svend Pri. Tetapi, gelar juara All England ia rebut kembali
pada 1976. Bersama tim Indonesia, Rudy menjuarai Thomas Cup pada 1970,
1973 dan 1976. Setelah absen selama dua tahun, Rudy tampil kembali pada
Kejuaraan Dunia Bulutangkis II di Jakarta, 1980. Semula dimaksudkan
sebagai pendamping, ternyata secara mengagumkan Rudy keluar sebagai
juara. Berhadapan dengan Liem Swie King di final, pada usia 31 tahun
Rudy membuktikan dirinya sebagai maestro yang tangguh.
Stuart Wyatt, presiden dari Asosiasi Bulutangkis Belanda berkata, “Tidak
diragukan lagi, Rudy Hartono adalah pemain tunggal terbesar di jamannya.
Ia handal dalam segala aspek permainan, kemampuannya, taktiknya, dan
semangatnya.” Juara tujuh kali berturut-turut dan yang ke delapan
(1968-1976) menjadi bukti akan hal itu.
Rekornya ini merupakah hasil dari kemampuannya yang luar biasa di bidang
kecepatan dan kekuatan dalam bermain. Gerakannya nyaris menguasai
seluruh area lantai permainan. Ia tahu kapan harus bermain reli atau
bermain cepat. Sekali ia melancarkan serangan, lawannya nyaris tidak
berkutik. Namanya sudah menjadi jaminan untuk menjadi pemenang, sebab ia
hampir tidak pernah kalah. Meski ia sudah mengundurkan diri, banyak
orang masih percaya bahwa ia masih bisa menjadi pemenang. Mungkin inilah
alasan mengapa orang menjulukinya ‘Wonderboy’.
Kunci Sukses ‘Berdoa’
Banyak orang ingin tahu kunci keberhasilannya. Rudi menjawab, “Berdoa.”
Dengan berdoa, Rudy memperkuat pikiran dan iman. Berdoa tidak hanya
sebelum bertanding, tetapi juga selama bertanding. Itu melibatkan
kata-kata atau ekspresi yang akan membangkitkan percaya diri dalam hati
dan pikiran.
Untuk setiap poin yang ia peroleh selama bertanding, ia ucapkan terima
kasih kepada Tuhan, “Terima kasih Tuhan untuk poin ini.” Dia terus
berkata seperti itu hingga skor terakhir dan pertandingan berakhir. Ia
mengatakan kebiasaannya ini dalam biografinya yang diedit oleh Alois A.
Nugroho. Ia percaya bahwa manusia berusaha namun Tuhan yang memutuskan.
“Saya melakukan itu dalam semua pertandingan besar khususnya All
England. Bagi saya ini adalah kenyataan. Kita berusaha tetapi Tuhan yang
memutuskan. Saya juga percaya bahwa kalau kita kalah memang sudah
ditentukan demikian, dan kalau kita menang, itu juga adalah kehendak
Tuhan. Kalah adalah hal yang alami, karena sebagai manusia kita semua
pernah mengalami kekalahan. Pemahaman ini akan melepaskan stress selama
bertanding, mengurangi ketakutan, dan kegusaran, “ kata Rudy
menjelaskan.
Pada tahun 1968 saat pertama kali tampil di All England ia ingin
mengikuti jejak Tan Joe Hok. Pada 1969, ia ingin menjadi orang Indonesia
pertama yang memenangkan Kejuaraan All England dua kali. Sementara pada
1970, ia ingin memenangkannya untuk ketiga kali. Sebab jika ia tetap
mempertahankan sikap ini, ia akan bisa mempertahankan piala yang
diraihnya. “Jadi, dalam setiap pertandingan All England, seolah-olah
sudah menjadi kewajiban bagi saya untuk terus memecah rekor
terus-menerus,” kata pria yang meninggalkan kuliahnya di Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga demi bulutangkis ini.
Musuh terbesarnya adalah Svend Pri dari Denmark yang mempunyai kemampuan
memberi kejutan dan membuat bingung lawan. Sementara Rudy memiliki
taktiknya sendiri dengan cara bermain cepat. “Itulah yang saya lakukan
dalam bertanding. Untuk menghadapi lawan seperti Svend Pri, Anda tidak
bisa memberikan dia kesempatan. Satu kesalahan kecil dan kita berikan
dia kesempatan untuk mengolah permainannya, Anda bisa tamat!”
Meski punya ‘taktik’ sedemikian rupa, Rudy tidak bisa menghalangi Svend
Pri menjadi juara All England pada 1975. Dalam pertandingan yang ketat
dan menegangkan, Svend Pri mengalahkan Rudy dalam dua set langsung,
15-11 dan 17-14.
“Saya akui permainan Pri memang bagus. Ia sudah mempersiapkan diri
dengan baik. Sepuluh tahun ia bertanding untuk memenangkan All England
dan akhirnya ia berhasil, “ kata Rudi tentang kemenangan yang diraih
Svend Pri. Svend Pri dikenal sebagai pemain temperamental yang mempunyai
smash mematikan. Prinsipnya dalam bermain adalah memenangkan set
pertama, kalah dalam set kedua dan menang dalam set ketiga.
Pada pertandingan Thomas Cup 1973 di Istora Senayan, Jakarta, Svend Pri
kembali mengalahkan Rudy. Tahun itu, Indonesia mengalahkan Denmark 8-1
dan meraih juara. Ironisnya, Rudy menjadi pemain satu-satunya yang kalah
melawan Denmark. Bagi Rudy, itu menjadi kekalahan yang paling
menyakitkan sepanjang karir bulutangkisnya.
Ia kemudian menyadari bahwa semua keberhasilannya adalah hasil dari
usaha berbagai pihak termasuk para ahli pijat yang bergabung dalam tim
Indonesia. Biasanya, otot lebih mudah ‘menyerah’ dalam udara dingin.
Sedikit lelah akan membuat asam laktat berkumpul di sejumlah bagian
dalam tubuh. Untuk memperlancarnya dalam sistem peredaran darah, pijat
otot menjadi penting. Soetrisno, yang memijat Rudy dalam berbagai
pertandingan menyatakan bahwa setelah bertanding para pemain harus
dipijat. “Biasanya, Rudy akan tidur di malam hari setelah saya
memijatnya,” Soetrisno mengakui.
Terlepas dari faktor teknis yang mempengaruhi setiap pertandingan,
terkadang muncul faktor non teknis. Rudy kadang kurang siap. Itu terjadi
saat ia harus memberikan pidato dalam bahasa Inggris sebagai juara All
England. Untunglah, ia ‘diselamatkan’ oleh Ferry Sonnevillewho yang
sudah mempersiapkan teksnya.
Rudy juga bisa gelisah bila ia harus menghadiri undangan makan malam.
“Setiap kali saya harus menghadiri makan malam, saya akan ketakutan
melihat berbagai jenis sendok di atas meja. Di situ ada sendok makan,
sendok sup, sendok teh, pisau, dan garpu. Mengapa banyak sendok? Itu
(ketakutan dalam undangan makan malam -red) hanya semakin mempersulit
saya menjadi juara,” kata Rudy.
Masalah non teknis juga muncul saat ia tampil dalam film Matinya Seorang
Bidadari (1971) bersama Poppy Dharsono arahan sutradara Wahyu Sihombing.
Sebuah adegan dalam film itu menimbulkan kehebohan. “Saya menyesal tidak
memberi waktu pada diri saya untuk berpikir tentang itu, walaupun
awalnya saya berpikir itu bisa menjadi suatu perubahan (terlibat dalam
film),“ kata pecinta film ini.
Sebagai pendekar bulu tangkis, ia juga berambisi menaklukkan jago-jago
Cina yang tidak pemah dihadapinya sewaktu Rudy masih jaya. Keinginannya
bertarung itu terpenuhi dalam perebutan Piala Thomas 1982, ketika
usianya telah menua. “Ketemu sekali saja saya kalah," ujarnya tertawa.
Kiprahnya di arena bulutangkis semakin meredup setelah ia kalah dari
pemain India, Prakash Padukone, dalam semifinal All England pada 1989.
“Saya menyadari, saya mulai kewalahan bermain,” ujarnya. Meskipun
demikian, dengan namanya yang terabadikan di Guiness Book of World
Records pada 1982, ia tetap terlibat dalam olahraga yang ia tekuni
semenjak kecil ini, di pinggir lapangan. Olahragawan terbaik SIWO/PWI
(1969 dan 1974) ini menjadi Ketua Bidang Pembinaan PB PBSI dalam kurun
waktu 1981-1985 di bawah kepengurusan Ferry Sonneville.
Sejak itu, ia memusatkan perhatian pada pembinaan pemain-pemain yang
lebih muda, yang diharapkan dapat menggantikannya. Dari klub yang
dipimpinnya, misalnya, lahir Eddy Kurniawan yang, kendati belum
berprestasi secara stabil, mampu membunuh raksasa bulu tangkis Cina
seperti Zao Jianghua atau Yang Yang. Pemain-pemain belasan tahun seperti
Hargiono, Hermawan Susanto. atau Alan Budi Kusuma, juga banyak menerima
sentuhan Rudy, untuk bisa tampil dalam kancah pertarungan dunia kelak.
Sewaktu masih menjadi pemain, hadiah uang, tanah, rumah, dan mobil,
mengalir untuknya. Beberapa di antaranya berupa tanah dari DKI, sebuah
rumah di Kebayoran, Tabanas Rp 5 juta dari Presiden Soeharto, dan mobil
Toyota Corrola dari PT Astra, yang presdimya, William Soerjadjaja, masih
paman Jane Anwar.
Dengan materi yang dimilikinya, ditunjang oleh hubungan yang luas dengan
banyak pengusaha, dan hasil kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas
Trisakti Jakarta, Rudy mengembangkan bisnis. Peternakan sapi perah di
daerah Sukabumi adalah awal mulanya ia bergerak dalam bisnis susu. la
juga bergerak dalam bisnis alat olahraga dengan mengageni merk Mikasa,
Ascot, juga Yonex. Kemudian melalui Havilah Citra Footwear yang
didirikan pada 1996, ia mengimpor berbagai macam pakaian olahraga.
Berkat nama besarnya di dunia bulutangkis, United Nations Development
Programme (UNDP) menunjuk Rudy sebagai duta bangsa untuk Indonesia. UNDP
adalah organisasi PBB yang berperang melawan kemiskinan dan berjuang
meningkatkan standar hidup, dan mendukung para perempuan. Di mata UNDP,
Rudy menjadi sosok terbaik sebagai duta kemanusiaan. Kiprahnya di dunia
olahraga dan kerja kerasnya menjadi juara dunia menjadi teladan bagi
generasi yang lebih muda. “Ia menjadi teladan,” kata Ravi Rajan,
Resident Representative of UNDP in Indonesia (Gatra 8 November 1997).
Kini, Rudy tidak lagi mengayunkan raketnya di udara. Faktor usia dan
kesehatan membuat ia tidak bisa melakukannya. Sebab sejak ia menjalani
operasi jantung di Australia pada 1988, ia hanya bisa berolahraga dengan
berjalan kaki di seputar kediamannya. Walaupun demikian, dedikasinya
pada bulutangkis tidak pernah mati. ► e-ti/mlp
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|