|
C © updated 20052002 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/ma |
|
|
Nama:
Prof Dr Bagir Manan SH MCL
Lahir:
Lampung, 6 Oktober 1941
Agama:
Islam
Jabatan:
Ketua Mahkamah Agung RI
Isteri:
Dra Hj Komariah
Anak:
Tiga orang
Pendidikan:
- 1967, Sarjana Hukum Universitas Padjadjaran
- 1981, Master of Comparative Law, Southern Methodist University Law
School Dallas, Texas, AS
- 1990, Doktor Hukum Tata Negara, Unpad, Bandung
- 1993, Program Belajar tentang Sistem Pemerintahan, The Academy for
Educational Development, Washington, AS
- 1997-1998, Program Belajar Hukum Indonesia, Universitas Leiden, Belanda
Pekerjaan:
- 1968-1971, Anggota DPRD Kodya Bandung
- 1974-1976, Staf Ahli Menteri Kehakiman
- 1990-1995, Direktur Perundang-undangan Departemen Kehakiman
- 1995-1998, Dirjen Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman
- 2000-kini, Rektor Unisba, Bandung
- 2001-kini, Ketua MA
Sumber:
Berbagai sumber, antara lain Kompas dan Kontan
|
|
|
|
|
|
|
Prof. Dr. Bagir Manan, SH MCL
Dahulukan Perkara Korupsi
Setelah melalui proses panjang dan ketat,
Guru Besar FH Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung kelahiran Lampung,
6 Oktober 1941, ini diangkat menjabat Ketua Mahkamah Agung (MA) Republik
Indonesia.
Kariernya di bidang hukum tergolong panjang. Ia pernah menjabat sebagai Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen
Kehakiman.
Sebelumnya, ia menjabat
Direktur Perundang-undangan Ditjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen
Kehakiman (1990-1995), serta dosen luar biasa di UI, UGM dan sejumlah perguruan tinggi
lain.
Ayah dari tiga anak dan suami dari Dra Hj Komariah ini
juga menjabat sebagai Rektor Universitas Islam (Unisba) Bandung. Ia
alumnus FH Unpad (1967), Master of Comparative Law Southern Methodist di
University Law School Dallas Texas AS (1981), dan doktor ilmu hukum tata
negara lulusan Unpad tahun 1990.
Sebelum dipilih menjabat Ketua MA, ia menjabat Wakil Ketua Komisi Ombudsman Nasional
dan mempunyai tujuh
lokal tanah yang terletak di Jawa Barat dan Lampung. Tiga lokal yang
berada di Jabar masing-masing seluas 400 meter persegi (di Cibeunying
Kecamatan Cicadas, Bandung), 690 meter persegi (di Cipadung Kecamatan
Cibiru, Bandung), dan 400 meter persegi di kompleks Perumahan Unpad,
Jatinangor.
Selain itu ia mempunyai tiga mobil, yaitu sedan merek Toyota Corolla 1.600
cc tahun 1995, sedan merek Mitsubishi Lancer 1.500 cc tahun 1992, dan jeep
merek Toyota Land Cruiser Hardtop tahun 1980. Bagir juga pemilik tabungan
dan deposito di BNI kantor cabang Unpad senilai Rp 55 juta, serta di Bank
HSBC cabang Bandung sebesar Rp 30 juta.
Perkara Korupsi
Bukan berarti apriori menginginkan orang dijatuhi hukuman seberat-beratnya.
Pelakunya harus dibui. Itu tergantung pembuktiannya. Tapi, rasa keadilan
masyarakat jangan ternodai.
Bisakah kita berharap hukum akan segera ditegakkan di negeri ini? Sayang,
masih banyak yang menyangsikan. Betapa tidak? Mahkamah Agung (MA) saja,
sebagai benteng terakhir keadilan yang kini sudah diisi hakim-hakim agung
nonkarier, dinilai belum mampu memberikan putusan yang pasti dan memenuhi
rasa keadilan masyarakat.
Untuk mengetahui kinerja MA itu Barly Haliem Noe mewawancarai Ketua MA
Bagir Manan di kantornya belum lama ini. Berikut petikannya:
Beberapa waktu lalu Anda membentuk tim klarifikasi untuk meninjau beberapa
putusan majelis hakim agung. Bisa diungkapkan hasilnya?
Ada dua tim. Tim pertama menyangkut klarifikasi perkara Tommy Soeharto
dengan anggota Pak Bustanul Arifin, Pak Purwoto, dan Pak Djoko Sugianto.
Tim kedua beranggotakan Pak Adnan Buyung, Pak Suhadibroto, dan Pak
Johansyah baru kita bentuk untuk perkara Joko Tjandra. Untuk yang Tommy
Soeharto, laporannya sekarang sedang disusun tim kecil di sini untuk
disatukan dan sedang dibuat kesimpulan-kesimpulan. Untuk perkara Joko
Tjandra kan baru timnya yang dibentuk. Yang jelas, saya tidak akan
menunda-nunda sanksi untuk hakim-hakim suap.
Anda sekarang menyebut itu tim klarifikasi, tapi kok sebelumnya disebut
sebagai tim eksaminasi?
Yang omong tim eksaminasi pasti bukan Ketua MA. Itu yang omong surat kabar,
ha, ha, ha…. Kami tidak membentuk tim eksaminasi, dan itu berarti kita
tidak sedang melakukan eksaminasi. Ini jelas beda.
Eksaminasi itu sempit, karena hanya untuk menguji apakah putusan itu
secara teknis benar atau tidak. Sedangkan klarifikasi itu bukan hanya
melihat teknis putusan, melainkan juga melihat aspek lain. Misal, apakah
putusan itu diambil berdasarkan kolusi apa enggak. Ada korupsi apa enggak.
Untuk sampai ke situ, tidak bisa hanya dengan eksaminasi, karena
eksaminasi hanya memeriksa teknis putusannya. Kemudian, andai hasil
eksaminasi itu mengatakan salah, apa tindak lanjutnya? Kan enggak ada
apa-apa. Upaya hukum untuk mengoreksi itu sudah tidak ada lagi. Makanya,
yang penting kita bisa menemukan latar belakang keputusan itu; membuktikan
ada apa-apa tidak dengan kesalahan putusan itu.
Berarti, hasil kerja tim klarifikasi itu mestinya lebih tegas dan keras
ketimbang tim eksaminasi, ya?
Ya, mestinya. Kita kan ingin mengungkap bila ada laporan keganjilan atau
kejanggalan dalam suatu putusan. Ini juga menyangkut apakah putusan ini
diperoleh secara jujur, ada kolusi, ada main mata, atau bagaimana. Saya
beri tahukan saja, salah satu bagian klarifikasi untuk perkara Tommy
Soeharto dalam ruislag Bulog itu ada hakim agung yang dituduh menerima
uang suap Rp 5 miliar. Karena itu, saya bilang, ”Kalau cukup alasan saja
ada penyimpangan, enggak perlu indikasi, teruskan saja pada penyidikan.”
Saya sudah menelepon Kapolri untuk itu, dan beliau menanggapi positif. Itu
salah satu bagian klarifikasi. Kalau sampai terbukti putusan itu dibuat
berdasarkan tindak kriminal, baru kita menetapkan sanksi yang sangat tegas.
Kalau sudah melibatkan polisi, paling tidak ada indikasi awal, dong?
Ha, ha, ha…. Jangan terlalu cepat meminta hasilnya. Berilah kami waktu.
Sebab, untuk memeriksa berkas setebal ini (seraya mengembangkan tangannya)
saja perlu berapa lama untuk membaca satu per satu? Polisi perlu waktu
juga, dong. Kalau semua ingin yang cepat-cepat, itu omong kosong. Sebab,
targetnya bukan lagi menemukan bahwa putusan itu secara teknis salah.
Targetnya kan sampai pada putusan itu dibuat berdasarkan tindakan kriminal
atau tidak. Kalau hanya putusan, sudah tidak ada lagi yang bisa dikerjakan
atau digali.
Kalau sanksinya lebih tegas, jangan-jangan nanti hakim agung di MA makin
habis?
Ha, ha, ha…. Saya punya satu kesimpulan: klarifikasi itu jelas lebih tegas.
Yang perlu Anda catat, ini tidak hanya cukup berhenti sampai kesimpulan.
Yang ada di otak saya bukan itu. No! Kalau hanya eksaminasi seperti itu,
kan hanya pekerjaan ilmiah. Paling-paling nanti hakimnya hanya dinilai
secara unprofessional conduct dalam pengambilan putusannya.
Kita harus sudah bicara kenapa ada unsur-unsur itu. Serahkan saja sama tim
yang sekarang sedang membuat laporan-laporannya. Kalaupun hasilnya
sedemikian buruk seperti yang Anda katakan, enggak masalah. Lebih baik
hakim agungnya sedikit dengan integritas moral tinggi daripada banyak tapi
merugikan.
Untuk kasus Tommy, Anda kan pernah memberikan pendapat hukum bahwa dia
harus menjalani utang penjara 18 bulan sesuai putusan kasasi. Tapi,
nyatanya jaksa tidak segera menjalankannya. Bagaimana ini?
Wah, itu saya tidak tahu kenapa. Kalau hakim tidak segera melaksanakan
putusan, tentu akan segera saya tegur. Tapi, kalau jaksa, itu bukan
wewenang saya. Siapa? Harusnya tahu. Yang jelas, kita sudah memberikan
jalan atas kebuntuan proses hukum saat itu.
Jaksa Agung meminta pendapat hukum kepada saya, dan saya sudah memberikan
pendapat seperti yang dia minta. Kalau ternyata tidak dilaksanakan, itu
hak Jaksa Agung. Kewenangan itu bukan tanggung jawab kami.
Pemeriksaan tim klarifikasi kan terkait dengan orang-orang dalam. Apa
tidak menimbulkan gejolak internal MA. Maklum, orang kan tahunya
hakim-hakim itu jarang bersih dari suap, sementara pemeriksanya orang dari
luar?
Oh, tidak. Sebab, di sini, khususnya antarpimpinan kan sudah ada
kesepakatan bahwa tim klarifikasi harus dibentuk; apa pun hasilnya. Kita
juga sudah sepakat, sekalipun kita mengambil dari luar, jangan sampai
menghambat penegakan wibawa MA.
Memang, sempat ada yang menanyakan komposisi tim ini karena —seperti yang
sudah menjadi kelaziman selama ini— tim pemeriksanya orang-orang dalam
sendiri. Apa pun timnya, kalau dari dalam, orang akan selalu meragukan
integritasnya. Maka, untuk merespon suara dari luar itu kita ambillah
orang dari luar.
Apakah hasil klarifikasi ini bakal disandingkan dengan perkara-perkara
terkait? Sebab, beberapa kasus tindak korupsi kan dilakukan bersama-sama,
tapi vonisnya berlainan. Sebutlah Gubernur BI Sjahril Sabirin diputus
bersalah, sementara Joko Tjandra dan Pande Lubis bebas?
Oh, kita enggak pernah berorientasi pada putusan-putusan lain. Kita
betul-betul fokus pada materi yang bersangkutan saja. Kecuali satu putusan
sudah menjadi doktrin umum, yurisprudensi, itu bisa saja seorang hakim
mempertimbangkan putusan-putusan lalu dengan kasus-kasus yang berjalan.
Okelah, dikatakan satu perbuatan dilakukan bersama-sama tapi vonisnya beda.
Tapi ingat, klarifikasi ini terkait dengan latar belakang putusan; bukan
untuk melakukan klarifikasi terhadap perkara yang diputuskan.
Tentunya pembuktian keterkaitan antarterpidana atau antarterdakwa atau
antarcalon terdakwa dilakukan jaksa; bukan hakim. Hakim memutus
berdasarkan dakwaan.
Pembuktiannya bukan wewenang hakim. Dari mana
ceritanya untuk memutuskan satu perkara berdasarkan inisiatif hakim?
Berbahaya sekali. Pekerjaan kita itu satu-satu enggak ada
pengaruh-pengaruhnya. Dan, putusan itu kan independen. Bahwa hakim
memperhatikan ini, ya silakan. Tapi, bukan berarti harus ada satu garis
kebijakan memperhatikan perkara lain. Itu sudah mencampuri.
Sekarang ini pengadilan menjadi sorotan karena kasus-kasus besar mulai
disidangkan. Bahkan, beberapa majelisnya ada yang merangkap-rangkap segala.
Persidangan Akbar Tanjung juga terlambat gara-gara ribut pindah tempat.
Apa Anda tidak khawatir kinerja hakim akan makin tidak optimal?
Ya, kalau soal perkaranya, putusannya, sekali lagi saya katakan itu
independen masing-masing hakim. Hanya, untuk jadwal sidang, bagaimana ini
bisa terlambat? Makanya kemudian melalui Ketua Muda Pengawasan (Mariana
Sutadi) kita tegur. Kalau nanti ditemukan unsur kesengajaan, jalurnya kita
koordinasi dengan Departemen Kehakiman untuk mengambil tindakan atas
kesengajaan itu.
Contohnya perkara praperadilan Ginandjar. Kemarin ada surat kabar yang
salah besar menulis bahwa MA sengaja menyimpan perkara itu. Lo, gimana,
sih. Wong malah Ketua MA-nya yang marah-marah karena tujuh bulan enggak
sampai di sini; kok malah MA yang dimaki-maki dibilang menyimpan perkara
Ginandjar. Yang begini ini saya tidak bisa terima.
Artinya, keterlambatan itu pun harusnya juga diperiksa. Mengapa sampai
terlambat? Saya tidak bisa terima kalau alasannya komputer rusak. Itu
enggak profesional. Itu enggak masuk akal.
Begitu saya menerima laporan ada pemalsuan putusan MA yang terjadi di
pengadilan Jakarta Timur, saya langsung lapor sama Kapolri agar itu
ditindak.
Pada kasus-kasus BLBI, Anda pernah menyatakan: jangan beleid pemerintah
yang diadili, tapi soal penyelewengannya. Untuk itu, mestinya jaksa juga
memperbaiki dakwaannya. Tapi, kelihatannya itu tidak juga dilakukan. Apa
sebaiknya perlu ada tangan besi agar penegakan hukum tidak kebobolan lagi?
Ya, sekali lagi, saya juga tidak habis pikir. Mestinya, perkara korupsi
yang jelas-jelas menyangkut kepentingan umum yang lebih luas harus
diperhatikan betul. Kalau misalnya perlu waktu lama, tapi hasilnya
optimal, enggak masalah. Daripada terburu-buru tapi hasilnya nol.
Misalnya, yang terbaru untuk perkara korupsi Rp 1,29 triliun dari Bank
Servitia yang ada di Jakarta Barat. Itu kan hanya dihukum satu tahun, ya.
Saya tadi baru saja ditelepon Jaksa Agung. Beliau bilang, ”Kenapa kok bisa
begini?” Saya langsung bilang, ”Jaksa Anda suruh saja segera banding.”
Harusnya jaksa itu memperbaiki dakwaannya. Jangan disuruh dulu. Kan
kewenangan banding ada di mereka. Kalau tidak puas dengan hukumannya,
segera saja banding.
Apalagi, sekarang dalam beberapa pasal KUH Pidana ada pidana maksimal,
tidak ada minimal. Kita kan melaksanakan UU. Kalau memang sudah ketahuan
korupsi, ya jangan jatuhkan minimalnya. Sudah ketahuan minimalnya lima
tahun, jaksanya cuma menuntut lima tahun. Hanya, tentunya dakwaan jaksa
juga harus bisa membuktikan itu, dong. Jangan perangkatnya sudah siap,
tapi dakwaan penuh bolong. Bukan berarti saya menginginkan orang dijatuhi
hukuman seberat-beratnya. Tapi, rasa keadilan masyarakat kan ternodai. Itu
korupsi Rp 1,29 triliun kan sudah terbukti.
Bagaimana dengan ulah terdakwa yang mengembalikan harta yang dikorupsinya
untuk meringankan hukuman?
Semua orang juga bisa berjanji mau mengembalikan. Itu omong kosong saja.
Semua orang bisa saja berjanji mau membayar, tapi setelah itu dilupakan.
Beberapa kali ada kasus begitu, bukan hanya yang terakhir-terakhir ini
diputus. Ada yang sudah berjanji di perdamaian, tapi akhirnya digugat lagi
karena enggak dibayar juga. Itu di bidang hukum bisnis, ya. Apalagi ini
kepada negara. Jadi, pengembalian hasil korupsi itu tidak menutup proses
hukumnya.
Nah, dalam kasus dana nonbujeter Bulog, terdakwa Winfried Simatupang kan
sudah mengembalikan duit Rp 40 miliar?
Ha, ha, ha… Jangan ngomongin perkara yang masih disidangkan. Makanya,
antara polisi, jaksa, dan hakim harus ada komunikasi. Kalau dari sudut
saya, selain surat resmi, tak henti-hentinya saya juga omong agar
perkara-perkara korupsi itu betul-betul ditangani secara sungguh-sungguh.
Dalam petunjuk kami, untuk perkara-perkara yang menjadi perhatian umum
hendaklah jangan terlalu terikat pada formalitasnya selama tidak mengancam
hak-hak orang. Jadi, masuk saja ke dalam pokok perkara agar kebenarannya
ditemukan dalam pokok perkara itu. Kalau memang tidak terbukti, ya
bebaskan. Termasuk juga soal BLBI.
Kita enggak bisa apriori, pelakunya harus dibui, tergantung nanti di
pembuktiannya. Cuma, mencari bukti juga yang benar-benar, dong. Apalagi
dalam perkara korupsi, mencari bukti itu kan sulitnya bukan main. Sebab,
enggak mungkin korupsi pakai tanda tangan kwitansi. Itu bodoh bener
koruptornya. Justru itu, karena enggak ada kwitansi itu, harus dibuktikan.
Kalau sudah ada kwitansi, ada transfer bank, wah, kenapa harus ragu-ragu?
Itu, sih, perkara mudah dan sederhana.
Hanya, misalnya dalam kasus Bulog ini, kan ada beberapa bukti yang ditolak
jaksa karena wujudnya fotokopian. Padahal, sebagai bukti awal, harusnya
bisa ditelusuri lebih lanjut, kan?
Nah, itulah. Harus responsif, dong. Apalagi perkara korupsi itu selalu
saja melibatkan orang banyak. Dalam perkara Bulog ini kan terkait juga
pembagian uang itu ke parpol. Menurut UU No. 2/1999 tentang Partai Politik,
di Pasal 15, setiap tahun, 15 hari sebelum pemilu dan 30 hari setelah
pemilu, semua parpol wajib melaporkan keuangannya atau sumbernya.
Berdasarkan laporan itu, MA dapat meminta laporan itu diaudit. Kalau
laporannya saja tidak diterima, dari mana bisa dilakukan audit?
Kita lihat beberapa kasus sangat cepat diajukan ke pengadilan. Ini kan
menimbulkan dugaan adanya unsur politis atau setidaknya ada prioritas?
Dalam UU, istilahnya bukan prioritas. Menurut UU No. 31, perkara korupsi
harus didahulukan. Dalam bahasa teknis kita, itu diartikan sebagai
prioritas. Misalnya, kami tidak melihat kasus Ginandjar sebagai yang harus
dilebih-lebihkan. Itu karena orangnya. Dia sama saja kedudukannya. Hanya,
perkaranya kan ada dugaan korupsi. Karena UU mengatakan bahwa mengenai
korupsi harus didahulukan, ya secara teknis harus diprioritaskan. Tapi,
dalam peradilan, kedudukannya sama saja.
Nah, sekarang ini juga lagi hangat dipersoalkan mengenai putusan kasasi
untuk praperadilan perkara Ginandjar. Putusan ini dianggap kontroversial
dan menambah ruwetnya sistem hukum kita?
Mari kita baca KUHAP. Lihat di Pasal 77, 78, 79, 80, dan 81. Terhadap
putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Jadi, tidak ada dalam
KUHAP yang menyatakan tidak boleh kasasi. Tidak ada satu pun kata soal
kasasi. Yang ada hanya soal boleh dan tidak boleh banding.
Ya, memang ini tafsir dan menimbulkan debat. Tafsir pertama, karena tidak
boleh banding apalagi kasasi. Tapi, ada yang mengatakan, kalau yang
dinyatakan boleh dan tidak boleh itu bandingnya saja, kasasi tidak disebut,
berarti dibolehkan. Ini disebutkan dalam hukum acara. Padahal, hukum acara
harus diikuti betul sesuai dengan bunyinya, tidak bisa ditafsir-tafsirkan
begitu saja. Karena tidak dinyatakan kasasi dilarang, berarti kasasi boleh.
Itu kesimpulan kita.
Jadi, tidak benar kalau orang mengatakan ini kekacauan. Sebab,
ketentuannya sendiri yang menimbulkan beda pendapat. Pendapat mana pun
boleh selama tidak keluar dari substansi KUHAP. Selain itu, kasasi untuk
praperadilan bukan hanya terjadi pada Ginandjar. Sudah banyak sebelumnya.
Kenapa kok Ginandjar yang diributkan dan diomongkan?
Proses untuk praperadilan ini saja kan sudah menyita banyak waktu.
Bagaimana pendapat Anda?
Justru saya katakan, seperti kasusnya Ginandjar, kalau kita bisa segera
masuk ke dalam pokok perkara, itu tidak hanya menguntungkan negara sebagai
penuntut. Itu juga menguntungkan si terdakwa. Saya bukannya membantu
terdakwa-terdakwa itu lolos, ya. Bukan. Kalau tidak masuk proses hukum,
pendapat umumlah yang akan mengadili dia sebagai orang yang korup tapi
tidak diadili. Tapi, kalau masuk ke pengadilan, dan dapat membuktikan dia
tidak bersalah, artinya putusan pengadilanlah yang menyatakan tidak
bersalah.
Jadi, saya berpikir, mengapa orang-orang ini takut sekali masuk ke pokok
perkara? Kalau tidak bersalah, ya jangan takut masuk ke pokok perkara.
Selama ini yang diributkan soal pengadilannya, apakah peradilan biasa atau
peradilan militer, karena Ginandjar itu latar belakangnya militer,
sekarang sudah jelas?
ni cukup peradilan biasa. Sebab, sekarang ini ketentuan-ketentuan UU
Korupsi dan ketentuan-ketentuan dalam perubahan UUD menyebutkan kalau
militer melakukan tindak pidana umum atau korupsi, ya diadili di peradilan
umum dan bukan peradilan militer.
Risiko Memimpin Orang Tua
Penumpukan perkara di Mahkamah Agung menjadi masalah klasik yang tidak
terselesaikan hingga kini. Pertengahan tahun lalu ada 11.000 perkara
kasasi dan peninjauan kembali yang menumpuk. Setengah tahun kemudian
jumlahnya malah melesat menjadi 16.000 berkas. Hakim agung malas-malas?
Ternyata, banyak hakim agung yang mulai pensiun, sementara DPR tak juga
menentukan nama-nama calon pengganti mereka. ”Hari ini saya baru saja
meneken 12 surat pensiun hakim agung,” kata Bagir, kelu.
Hingga akhir 2002, menurut Bagir, jumlah hakim agung tinggal 31 orang.
Padahal, idealnya harus ada 52 hakim agung di MA. Akibatnya, beban kerja
menjadi makin berat. Bila wajarnya seorang hakim agung memeriksa 50
perkara per bulan, sekarang menjadi 70-80 perkara per bulan.
Ujung-ujungnya, Bagir pun kena semprot koleganya. ”Inilah risiko memimpin
orang-orang tua. Tenaganya sudah melemah,” seloroh ayah tiga anak yang
kelahiran Lampung, 6 Oktober 1941. Makanya ia mengusulkan agar persyaratan
calon hakim agung itu diubah, sehingga ketika seorang hakim masuk ke MA
tidak dekat dengan masa pensiunnya.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|