A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::
  P E J A B A T
 ► Pejabat
 ► Presiden
 ► MA
 ► Bepeka
 ► MK
 ► Kabinet
 ► Departemen
 ► Badan-Lembaga
 ► Pemda
 ► BUMN
 ► Purnabakti
 ► Asosiasi
 ► Search
 ► Poling Tokoh
 ► Selamat HUT
 ► Pernikahan
 ► In Memoriam
 ► Majalah TI
 ► Redaksi
 ► Buku Tamu
 

 


 
  C © updated 22042008-11092004  
   
  ► e-ti/eks  
  Nama:
Widjanarko Puspoyo, MA
Lahir:
Yogyakarta 22 April 1949
Jabatan:
Kepala Perum Bulog (Badan Urusan Logistik)

Alamat Kantor:
Jalan Gatot Subroto No.49, Jakarta 12950
Telp (021) 5250267
Fax (021) 5222876

Alamat Rumah:
Jalan H Kamang No.38, Pondok Labu, Jakarta Selatan
Telp. (021) 7658075
Fax. (021) 7505112

Sumber:
Eksekutif Edisi No.278 Oktober 2002, dan lain-lain

 
 
     

Widjanarko Puspoyo

Eh, Malah Tersandung Korupsi


Ketika memimpin Bulog, ia ingin berbenah dan mengembangkan model bisnis baru. Ia ingin menghapus calo-calo birokrasi yang selama ini menjadi benalu, mengubah mekanisme organisasi dan menyinergikan program bisnis. Serta mengubahnya menjadi Perum, ia  mem-persiapkan generasi baru di Bulog yang lebih bervisi. Eh, ia malah tersandung korupsi.
 
Keinginannya adalah menjadikan Bulog sebagai price leader untuk komodittis pangan, mendirikan pusat perkulakan pangan dan mengembalikan status State Trading Enterprise (STE) Indonesia di WTO dalam waktu dekat.
 
Sebagai orang yang cukup tahu mengenai seluk-beluk Bulog, kepemimpinannya di lembaga ini diharapkan memberi makna tersendiri. "Ini saatnya Bulog berubah," kata pria yang pernah bekerja di Departemen Perdagangan Internasional PBB ini. Mungkin bagi Widjanarko lebih penting memikirkan upaya pembenahan Bulog ketimbang meng-counter komentar miring tadi. Pembenahan itu mulai dari persiapan Bulog menjadi Perum hingga memagari masuknya komoditi pokok seperti beras atau gula pasir impor dan selendupan yang akhir-akhir ini semakin membanjiri pasar nasional.
 
Di masa lalu, Bulog sering dibuat tidak berdaya oleh permainan penguasa untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka. Bulog memang identik dengan lumbung uang. Kewenangannya memonopoli komoditi pangan pokok seperti beras, gula pasir, kedelai, dan tepung terigu membuat uang mengalir begitu deras ke lembaga ini. Bentuknya sebagai LPND yang langsung berada di bawah kekuasaan Presiden membuat akses masyarakat untuk mengontrol lembaga ini nyaris tertutup.
 
Ketika Soeharto lengser akibat tekanan mahasiswa dan masyarakat, kelompok-kelompok politik baru dan aktor-aktornya pun tergiur untuk menguasai lembaga yang didirikan 30 tahun lalu oleh Ahmad Tirtosudiro tersebut. Kemampuan Bulog mengumpulkan dana besar menggodai partai politik untuk menjadikannya salah satu sumber dana guna memperlancar aktivitas politik mereka.
 
Karenanya ketika Widjanarko Puspoa diangkat menjadi Kepala Bulog (Kabulog) pada 2001, spontan banyak orang melontarkan nada minor. Sebagai kader PDI-P, partai yang tengah berkuasa, Widjan - demikian pangggilan akrabnya dinilai akan memanfaatkan Bulog sebagai sarana atau kendaraan untuk kepentingan partainya. Setidaknya, begitulah "tembakan" yang dilontarkan partai-partai politik lainnya. "Ini adalah persiapan PDI-P menuju Pemilu 2004," kata seorang pengurus salah satu partai rivalnya. Benarkah?
 
Pria kelahiran Yogyakarta 22 April 1949 ini sejak awal telah menyadari bahwa posisinya sebagai kader PDIP yang dipercaya menjadi Kabulog bakal melahirkan sejumlah komentar "miring". Cara dia menjawab komentar semacam itu ternyata cukup khas: bekerja keras dan berusaha membuktikan bahwa tudingan mereka tidak berdasar.

 

Widjanarko Puspoyo
Bulog Harus Menjadi “Price Leader” Komoditas Pangan
Sinar Harapan 19 April 2004

Apa yang terpikir dalam benak orang ketika berbicara soal Perum Bulog? Sarang korupsi, kolusi, pundi pundi uang bagi kelompok politik yang berkuasa dan sebagainya? Pikiran tersebut memang wajar-wajar saja, karena faktanya beberapa skandal korupsi lahir dari lembaga pengelola pangan itu.

Ini menjadi tantangan bagi Direktur Utama Perum Bulog, Widjanarko Puspoyo, untuk mengubah image buruk Bulog menjadi lembaga yang bersih dan transparan dan mampu berkompetisi di pasar internasional.

Perubahan status Bulog menjadi Perum diharapkan akan membawa lembaga ini lebih profesional. Manajemen dilakukan secara terbuka dan menghilangkan budaya birokrat.
Widjanarko Puspoyo mengakui citra buruk Bulog dengan statusnya yang lama. Sebagai pejabat direktur utama pertama Bulog pasca perubahan status menjadi Perum, Widjanarko menjamin bahwa Bulog sekarang berbeda dengan Bulog yang dulu. Bulog kini sudah menjalankan manajamen modern. “Bulog dulu terkenal single fighter, manajemen tertutup, tidak tersentuh aparat, semua ditentukan pusat, menikmati banyak fasilitas, sumber KKN dan korupsi,” katanya.

Menurut Widjanarko, sekarang pengelolaan manajemen Bulog transparan. Ada akuntan publik yang siap mengaudit keuangan. Intinya,ditegaskan Bulog tidak lagi akan dicemari oleh bentuk-bentuk korupsi di masa lalu. Bulog ke depan akan lebih mengemuka dibandingkan Bulog versi lama.

Jaminan yang diutarakan mantan anggota DPR ini, tidak lepas dari tuntutan akan kompetisi yang semakin ketat. Dengan status sebagai Perum, Bulog memiliki peluang melakukan kegiatan bisnis kendati masih tetap sebagai penyangga harga dasar gabah dan stok beras nasional dan menyalurkan beras untuk orang miskin (raskin). Bisnis adalah keharusan bagi Bulog karena tidak lagi mendapat alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Cuma, dalam kegiatan publik ini Bulog mendapat uluran tangan pemerintah. Bagaimanpun, beras masih menjadi komoditi strategis sekaligus politis. Karena itu, pemerintah berkepentingan menjaga keamanan ketersediaan beras nasional dengan harga terjangkau. Beras Raskin, misalnya dijadikan sebagai program perlindungan sosial yang ditujukan kepada keluarga miskin. Begitu juga sebagai penyangga stok pangan nasional, pemerintah memerintahkan Bulog harus mempunyai cadangan optimal minimal 1 juta ton beras untuk mengantisipasi keadaan darurat.

Hanya saja, pemerintah dianggap tidak konsisten. Ketika Bulog pemerintah meminta Bulog menyelenggarakan program pengamanan harga dasar tetapi tidak menyediakan anggaran. Justru Bulog harus mengeluarkan dana pengadaan gabah dalam negeri, kendati modal itu kemudian dibayar oleh pemerintah. Pemerintah hanya menyediakan jaminan kepada bank terhadap kredit yang dibuka Bulog.

Setiap tahun, katanya, Bulog harus mengusahakan sendiri pinjaman tidak kurang Rp 8,5 triliun–Rp 9 triliun dengan bunga komersial dari tiga bank, yaitu Bank Mandiri, Bank BNI dan Bank Bukopin. Jadi Bulog, tiap hari harus membayar bunga tidak kurang Rp1 miliar. Kondisi ini dihadapi Bulog mulai berat ketika fasilitas kredit likuiditas Bank Indonesia dicabut.

Masalah ini, tak urung, telah dilaporkannya dilaporkannya dalam sidang kabinet. Tanggapan pemerintah positip, namun Bulog harus bersabar hal itu terwujud dalam APBN 2005. “Tiap awal tahun Bulog selalu membuka kredit baru. Kredit komersial dengan bunga 13 persen sangat memberatkan Bulog. Bulog diwajibkan berbagai macam tapi kita tidak diberikan hak-hak yang memadai,” ujar Widjanarko.

Bagi Bulog, mekanisme yang ditempuh dalam pengamanan pangan nasional menjadi biaya manajemen yang seharusnya adalah tanggung jawab pemerintah. Padahal sebagai lembaga ketahanan pangan nasional Bulog, dinilai sewajarnya mendapat kemudahan.
Diakui, banyak suara-suara minor tentang keberadaan Bulog. Terlebih ketika harga dasar ditingkat petani anjlok maka Bulog adalah pihak yang dianggap paling bertanggung jawab.

Menjawab masalah ini, Widjanarko menegaskan, Bulog harus tetap berpegang pada syarat pembelian gabah petani. Bulog hanya akan membeli gabah pada tingkat kekeringan 14 persen sesuai dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2002 tentang penetapan harga dasar gabah.

“Kalau harga gabah jatuh, harus dilihat datanya kualitas apa? Karena panen itu biasanya pas musim hujan jadi, kadar air di atas 34 persen. Padahal yang kita terima kadar air yang 14 persen. Kalau kita beli dengan harga yang standar itu sama dengan beli air bukan beli gabah,” papar Widjanarko.

Mengantisipasinya, lanjutnya, seharusnya dengan melengkapi petani dengan sarana pengeringan. Namun, departemen berwenang tampaknya hanya fokus pada peningkatan produksi tidak diimbangi dengan pascapanen.

Manfaatkan Peluang
Rendahnya kemampuan pascapanen, tak pelak segera dimanfaatkan Bulog sebagai peluang bisnis. Hal itu dilakukan, takkala pemerintah dinilai tidak mampu mengatasi rendahnya kualitas gabah. Sedangkan petani dengan kemampuan terbatas sulit mendirikan pengeringan. Petani hanya mengandalkan cara-cara tradisional seperti lantai jemur dan tidak mengetahui menggunakan mechanical drier.

Soalnya, petani berpikir dengan kualitas apapun gabah pasti laku kendati harga merosot. “Bulog tidak mungkin membiarkan ini terjadi terus, konsumen akan dirugikan terus. Tetapi peningkatan kualitas pasca panen tidak muncul-muncul, itu sebabnya saya masuki bisnis drying center,” jelas Widjanarko.

Bulog telah membangun 20 drying center di Pulau Jawa. Namun, dipastikan Bulog hanya akan masuk dalam investasi pasca panen tidak dalam kegiatan produksi (on farm)
Minimnya penanganan pasca panen, kata Direktur Utama Perum Bulog itu, tidak lepas dari kebijakan orde baru. Pemerintah ketika itu, lanjut Widjanarko, hanya mendorong tumbuhnya industri penggilingan kecil kapasitas 1-2 ton. Itu pun sudah berumur tua. Tentunya mengharapkan gabah dengan kualitas bagus tidak mungkin. Sesungguhnya tidak cukup hanya mendorong peningkatan produktivitas tanpa diimbangi pascapanen.
Jeli memanfaatkan peluang, inilah yang sedang dilakukan oleh Bulog untuk mengembangkan kegiatan bisnisnya. Bulog telah menetapkan akan membentuk tiga divisi, yaitu industri, perdagangan dan jasa. Ketiga sektor ini nantinya dibangun dengan membentuk anak-anak perusahaan Bulog.

Fungsi komersial harus dijalankan karena Bulog juga harus menjalankan opersional perusahaan secara mandiri. Dulu, untuk operasional Bulog bisa menikmati anggaran negara. Namun sejak, Januari 2004 semua itu dicabut. Gaji karyawan sebanyak 6000 orang sepenuhnya ditanggung Bulog. Untuk operasional rutin saja selama satu tahun, harus disediakan anggaran satu tahun Rp 400 miliar. “Biaya-biaya itu harus bisa dikejar dari pendapatan Bulog. Saya tidak mungkin mengatakan nol diakhir tahun,” tukasnya lugas.

Sebagai organisasi bisnis, Bulog sangat menjanjikan mencari profit. Dari segi asset boleh dibilang cukup melimpah. Jumlah gudang 1.160 yang tersebar di seluruh Indonesia, kantor cabang membuat Bulog mampu menjadi raksasa bisnis. Masalahnya, banyak gudang dari segi lokasi tidak ekonomis.

Tetapi, soal ini bisa diatasi dengan pengkajian aset. Hal ini juga sekaligus untuk menetapkan status asset Bulog yang sebelumnya banyak mengambang. Aset ini umumnya diperoleh dari sitaan atas kredit macet mitra Bulog. Menampung aset berada pada wilayah abu-abu itu, Bulog khusus membentuk unit manajemen untuk mengelolanya.

Evaluasi aset penting bagi Bulog sebagai permulaan neraca awal guna mengetahui berapa sebenernya penyertaan modal negara. Evaluasi aset selesai, ujar Widjanarko, dipastikan tinggal dalam dua atau tiga bulan lagi.

Satu hal yang ditegaskannya, tidak akan ada penjualan aset Bulog. Pemanfaatan aset yang ada akan dimaksimalkan untuk kepentingan bisnis melalui kerjasama dengan pihak lain. Bisnis Bulog tidak jauh dari core bisnis, yaitu pangan sehingga bisa memanfaatkan non performing asset yang ada

Untuk memanfaatkan gudang misalnya, Bulog telah merancang untuk mendirikan pusat perkulakan pangan dan bisnis pergudangan. Kegiatan bisnis Bulog juga akan merambah pada usaha transportasi, perdagangan gula pasir, eceran, survei dan pemberantasan hama.
Dalam soal perdagangan, ditargetkan Bulog tampil menjadi pemain internasional tidak hanya sekadar lingkup lokal. Hal ini sudah dimulai dengan adanya imbal dagang antara Indonesia dan Rusia yang memperdagangkan pesawat tempur Sukhoi dengan 30 komoditi. Jangka panjang, Widjanarko berkeinginan Bulog memiliki kantorcabang di luar negeri. “Dalam imbal dagang Bulog leading. Itu tidak lepas karena nama Bulog dikenal sangat baik di luar negeri,” aku Widjanarko.

Komoditas Strategis
Meski izin impor gula putih telah dipreteli dari Bulog, tidak menyurutkan langkah Bulog dalam industri dan perdagangan gula. Dengan menggandeng Queensland Sugar Industries Bulog akan mendirikan pabrik gula. Cuma, Widjanarko masih tutup mulut soal lokasi pabrik gula ini.

Bulog, tegasnya, tetap akan menjalankan bisnis gula pasir. Lebih jauh, Widjanarko menekankan Bulog bebas melakukan kegiatan apapun sejauh tidak melanggar PP Nomor 7 Tahun 2003. Jadi tidak boleh ada keputusan menteri yang mengkebiri peranan Bulog.
Dalam bisnis beras, Bulog sudah menanamkan investasi pada usaha penggilingan. Tercatat Bulog memiliki 50 penggilingan gabah dan tahun ini bertambah lagi menjadi 100 usaha penggilingan.

Tampaknya, pegawai negeri akan menjadi sasaran market Bulog kembali. Dulu pegawai negeri adalah captive market Bulog, tetapi kemudian dicabut oleh pemerintah. Hanya saja, beras yang diterima pegawai negeri kualitasnya jauh lebih baik dari sebelumnya. “Penggilingan itu akan memproduksi beras-beras kualitas super. Itulah yang akan dijual ke pegawai negeri,” ujarnya.

Bulog telah diminta oleh Menteri Pertanian menangani empat komoditi pangan strategis, yaitu beras, gula, kedelei dan jagung. Untuk kedua komoditi terakhir, Bulog juga menjamin pembelian seluruh produksi dari satu lahan. Mirip dengan pengadaan gabah, hanya bedanya kedua komoditi ini cuma dibeberapa daerah tertentu dan harga sesuai mekanisme pasar.

Lahan perkebunan jagung yang disiapkan kerjasama dengan Bulog adalah di Lampung, Banten, Jawa Timur, Sumetera Utara dan Gorontalo. Di lima wilayah ini akan digalakkan penanaman jagung untuk kebutuhan pakan ternak dalam negeri. Untuk itu, dibutuhankan 400.000 hektare yang akan disiapkan dengan jenis jagung hibrida. Bulog ini akan melakukan kontrak dengan perusahaan pakan ternak dalam negeri untuk bisa menjamin pasar yang disiapkan.

Raksasa Perdagangan
Bisa dibayangkan, Bulog akan muncul sebagai organisasi dagang terbesar di Indonesia. Betapa tidak, omset perdagangan Bulog saja mencapai Rp11 triliun. “Apa ada perusahaan lebih besar dari omset itu?” tanyaWidjanarko.

Tak berlebihan bila obsesi Widjanarko membawa Bulog sebagai price leader komoditi pangan. Dengan demikian, kalau bicara komoditi pangan maka acuannya adalah Bulog. Bulog yang diajak bicara. Hal itu tidak bermaksud ingin melakukan monopoli kembali.
Disayangkan, saat nama Bulog cukup baik diluar negeri, justru di dalam negeri banyak dikebiri. Lembaga-lembaga di luar negeri berlomba-lomba memberikan pinjaman kepada Bulog. “Saya cuma mau bilang kita ini lembaga yang dipercaya dan kaliber dunia. Jadi kalau orang mau bicara pangan maka bicara Bulog. Bulog bukan perusaahan swasta yang baru lahir, usianya sudah 35 tahun,” tegas lagi.

Keyakinan akan kemampuan Bulog dengan segala infrastruktur yang dimiliki, Widjanarko optimis Bulog survive dalam industri dan perdagangan pangan. Tentu saja, harus disertai pengelolaan yang profesional dan tidak dikotori oleh segala macam bentuk korupsi. (SH/sjarifuddin/naomi siagian)


Bulog Menanggung Risiko Imbal Dagang Sukhoi

Imbal dagang pesawat tempur Sukhoi dari Rusia dengan 30 jenis komoditi dari Indonesia merupakan peristiwa paling populer bagi Bulog pada 2003. Bagaimana tidak, imbal dagang senilai US$ 192,9 juta itu menuai banyak protes dan kecaman karena dianggap menyalahi prosedur penggunaan APBN.

Bulog yang kebagian tugas sebagai pelaksana, menjadi “sasaran tembak” oleh berbagai pihak terutama DPR yang merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan imbal dagang.
Sebagai orang yang cukup lama berkecimpung dalam politik, Widjanarko sangat tahu menghadapi kondisi seperti itu. Ketika masalah imbal dagang memanas, Widjanarko bolak-balik harus ke DPR menghadapi kegusaran para anggota dewan.

Menanggapinya, penggemar olahraga bio energy ini, hanya menegaskan Bulog diberi tugas oleh pemerintah melaksanakan imbal dagang. Bulog tidak pernah meminta-minta terlibat dalamnya. Bulog hanya pelaksana tok.

Namun, setelah imbal dagang berjalan dan target mendapatkan empat pesawat tempur Sukhoi dan dua helikopter tempur terlaksana, Bulog seolah ditinggalkan oleh institusi lain yang terlibat. Bulog harus membereskan sendiri semua proses imbal dagang.

Padahal agar bisa mendatangkan empat pesawat Sukhoi dan dua helikopter tempur ke Indonesia, Bulog mengeluarkan Bank Guarranted senilai US$ 155 juta sebagai jaminan kepada pihak Rusia. Tanpa Bank Guarranted, pesawat tidak mungkin bisa didatangkan. Di lain pihak, Bulog harus menanggung pembayaran bunga bank sedangkan untuk menagih ke APBN baru bisa dilakukan akhir tahun.

Sebagai pembayaran tahap pertama ketika itu, Bulog langsung menyediakan dana sebesar US$ 26 juta yang diperoleh dari bank Bukopin dengan jaminan deposito Bulog.
“Kita sudah nyemplung, gak mungkin keluar. Banyak hal yang masih harus dibereskan. Tapi Bulog sudah membuktikan mampu menjalankannya,” ujar kolektor lukisan ini.

Dia mencontohkan, bagaimana Bulog harus menangani sendiri imbal dagang tersebut. Bulog dalam rangka imbal dagang ditugaskan membeli komoditi untuk dijual ke luar negeri, akan tetapi dalam transaksi Bulog tetap membayar PPN 10 persen.

Usulan Jadi Agen
Sebenarnya, Widjanarko telah meminta kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S Soewandi agar Bulog hanya bertindak sebagai agen, pedagang yang mengekspor langsung ke Rusia. Tetapi permintaan itu tidak ditanggapi.
“Saya sudah kirim surat kepada Menperindag, agar Bulog tidak sebagai pembeli hanya sebagai agen saja, tapi tidak ada jawaban. Lisan sih ditanggapi baik, tapi tidak pernah dijawab secara formal,” tegasnya.

Mau tidak mau, Bulog terpaksa menanggung modal yang harus dikeluarkan. Sedangkan modal itu tidak mungkin ditagih dari APBN. Inilah yang membuat Widjanarko merasa Bulog menghadapi banyak risiko dalam pelaksanaan imbal dagang.

Menurutnya, seharusnya pemerintah dalam memberikan penugasan harus mau menanggung beserta implikasinya. “Saya merasa Bulog ini diceburin, disuruh mengerjakan sesuatu dan menyelesaikannya sendiri,” ujarnya.

Dalam soal keuntungan pun, imbal dagang tidak banyak yang bisa diharapkan. Bulog bahkan mengeluarkan anggaran khusus untuk membentuk unit bisnis counter trade. Para ahli dari luar direkrut, seperti ahli komoditi, ahli hukum untuk mengisi unit itu mengingat imbal dagang membutuhkan teknik berbeda dengan kegiatan ekspor biasa.

Karena itu, ujar Widjanarko dalam imbal dagang membutuhkan biaya yang sangat besar. Imbal dagang ibarat transaksi tunai karena modal harus ditalangi lebih dulu. Namun karena ini adalah misi pemerintah yang bertjuan mendorong ekspor non migas maka Bulog harus menjalankannya.

“Kita ini babak belur dengan imbal dagang. Kalau ada perusahaan lain yang mau menangani imbal dagang, alamdullilah. Perusahaan lain itu harus punya modal, dan itu tidak mudah,” kata Widjanarko menandaskan.

Apabila Bulog diminta kembali menangani imbal dagang, Bulog dikatakannya akan bersikap lebih tegas. Semua pihak terkait, terutama Departemen Pertahanan dan Keamanan sebagai leading sector harus bersedia menanggung segala risikonya. (isf/mis) ►tsl


*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)