|
|
|
Nama :
Drs.H. M. Effendi Anas, M.Si
Lahir :
Denpasar, 26 Agustus 1953
Agama :
Islam
Suku :
Jawa
Istri :
dr. Farida (Lahir di Jakarta, 31 Desember 1954,
Agama : Islam Suku :
Betawi Pekerjaan:
Dokter Uyankes Balaikota DKI Jakarta)
Anak :
1. Mohammad Zakky Eka Prawira (14 April 1982)
2. Mohammad Ilham El Suthonugraha (8 Agustus 1984)
3. Ahmad Chanief Elha Kusuma (16 September 1985)
Pendidikan :
Pasca Sarjana-Universitas Indonesia. Thn. 1998.
Sarjana IAIN Surabaya
Jabatan :
Kepala Bagian Kesra Jakarta Pusat Thn.1989 sd 1990
Kepala Kantor Sospol Jakarta Pusat Thn.1990 sd 1995
Kasubdit Binumas Dit Sospol Prop.DKI Jkr Thn.1995 sd 1999
Kepala Biro Bintal Prop.DKI Jakarta Thn.1999 sd 2001
Kepala Badan Kesbang Prop. DKI Jakarta Thn.2001 sd 2003
Walikotamadya Jakarta Utara. 22 Mei 2003 s/d sekarang
Alamat Rumah :
JI. Berdikari No.5
Kelurahan Rawa Badak Utara
Jakarta Utara
Alamat Kantor :
Kantor Walikota Jakarta Utara
Jl.Yos Soedarso No.27-29
Jakarta Utara
|
|
Drs Effendi Anas, MSi
Sipil Pertama Pengganti Militer
Jabatan Walikota Jakarta Utara biasanya dipegang oleh kalangan militer,
terutama dari Angkatan Laut. Effendi Anas adalah orang sipil pertama yang
memegang jabatan walikota Jakarta Utara. Namun, soal mengganti jabatan
yang sebelumnya dipegang oleh militer, ternyata bukan kali ini saja. Ia
juga pernah menjadi orang sipil pertama yang menjadi Kepala Kantor Sosial
Politik Jakarta Pusat menggantikan tentara. Juga, menjadi Kepala
Direktorat Sospol DKI, yang sebelumnya menjadi langganan militer.
Terhadap jabatannya mengganti peran militer ini ia berujar, “Pada saat
sekarang ini yang penting adalah profesionalitas, komitmen untuk mengabdi
kepada rakyat secara tulus dan menjalankan tugas dengan penuh tanggung
jawab. Bukan karena dia sipil atau militer.”
Drs Effendi Anas, MSi dalam usianya yang
masih relatif muda, 40 tahun, telah dipercaya menjadi Walikota Jakarta
Utara. Padahal, Jakarta Utara dikenal sebagai kawasan hitam, yang memiliki
cukup banyak titik rawan kriminal, namun di lain pihak memiliki potensi
ekonomi yang sangat besar. Adanya Pelabuhan Tanjung Priok, kawasan wisata
Ancol, berbagai pabrik dan pemukiman mewah, tersebar di Jakarta Utara.
Namun, lingkungan kumuh di sekitar pelabuhan dan tempat lainnya menjadi
masalah yang harus diselesaikan.
Effendi Anas lahir di Denpasar, Bali, 26 Agustus 1963. Ayahnya adalah
seorang tentara yang selalu berpindah tempat tugas. Ia masuk Sekolah
Rakyat (SR) di Malang, tetapi lulus SR di Manado Sulawesi Utara. Di kota
ini pula ia menyelesaikan pendidikan SMP. Sedangkan SLTA ditempuhnya di
Madiun hingga lulus. Setelah lulus SLTA, ia kuliah di IAIN Surabaya.
Pendidikan S2 dengan spesialisasi Public Administration ditempuh di
Universitas Indonesia, Jakarta.
Dengan perpindahan tersebut, ia menemukan suatu nilai yang sangat berharga
dan memperkaya dirinya, karena mampu mengenal dan menjalani kehidupan
dalam lingkungan yang kulturnya sangat bervariasi. Kultur masyarakat Jawa
dengan Manado cukup berbeda. Menurut Effendi, masyarakat Manado itu
memiliki budaya yang lebih bebas seperti budaya Eropa dibanding masyarakat
Jawa, yang cenderung tertutup, tertib, dan memiliki banyak aturan atau
tata krama.
Si Anak Nakal
Masa kecil Effendi yang dijalani di Manado tidaklah dapat dikatakan baik.
Sebagai anak tentara, ia mengaku sangat nakal untuk anak seusianya. Ketika
masih duduk di kelas 5-6 SD ia sudah ikut pergaulan orang dewasa di kota
itu. Ia pun mulai belajar main judi yang menjadi kebiasaan sebagian warga
Manado.
Meskipun nakal, ternyata jika masuk ke rumah, Effendi menjadi anak manis
dan mengaku takut terhadap ayahnya. Ia sering tidak pulang karena takut
dimarahi dan kalau pulang bersembunyi di atap. Adiknyalah yang membawakan
nasi ke tempat persembunyiannya. Tak hanya sampai di situ, ia juga sering menggunakan
mobil dinas dan menambrak got dan lain sebagainya. Ia sendiri mengaku heran waktu itu kenapa berani sekali.
Menurutnya, mungkin karena ia memiliki ayah yang seorang perwira tinggi.
Jadi Kodim itu tidak berani marah kepadanya. Saking bandelnya, sampai ia
dipaksa masuk sekolah agama. Ia didaftarkan orang tuanya di IAIN Surabaya, padahal ia
tidak menghendakinya. Itu karena keluarga amat menyayanginya dan ingin
ia berubah menjadi anak yang baik. Selama kuliah di IAIN, ia dititipkan
pada pamannya. Selama 6 bulan tidak boleh keluar rumah kecuali hanya untuk
kuliah. Setiap pulang dari kuliah, harus langsung pulang ke rumah, masuk
kamar, dan dikunci dari luar kamar. Di kamar ia tinggal sendirian.
Meskipun tinggal dengan pamannya, namun mereka tidak pernah makan bersama.
Keluarga sang paman merasa takut karena ia adalah orang yang pemarah. Maka,
ia lebih sering makan di kamar yang letaknya dekat garasi sendirian. Ia
benar-benar dikucilkan.
Tetapi karena semua 'pembinaan' itulah, ia menemukan dunianya. Effendi yang suka
berantem, bandel didaftarkan di sekolah agama. Namun, di situlah ia
menemukan nilai kehidupan. Ia pun akhirnya cepat dewasa dan mulai memahami
hidup.
Ketika tinggal dengan pamannya, banyak sekali menyelesaikan
masalah hanya dengan menangis, karena tidak bisa keluar rumah, tidak punya
uang. Tugas harian mencuci mobil, tetapi tidak pernah naik mobil. Ia
mendapat pelajaran berharga dengan hidup dalam disiplin yang cukup ketat.
Tapi sekarang ini ia menemukan kebahagian atas masa lalunya itu. Maka
ketika kini ia
bertemu dengan orang bandel ia pun berkata, “Ah, belum apa-apa”.
Perjalanan Karir
Pengalaman masa lalunya itu dipandangnya cukup menyenangkan. Ia juga
bersyukur bisa bekerja di lingkungan Pemda.
Karirnya sebagai birokrat di pemerintahan DKI Jakarta dimulai dari bawah,
yaitu sebagai staf urusan kesejahteraan rakyat, tahun 1978.
Dua tahun
kemudian ia mendapat promosi menjadi kepala seksi di tempatnya karena
kepala seksi yang lama melanggar PP 10 tentang perkawinan, yang membuat
jabatannya dicopot. Ia terpilih karena ketika masuk ke jajaran birokrasi
dengan bekal ijazah sarjana. Jabatan itu dipegangnya selama dua tahun.
Kemudian naik menjadi Kepala Sub Bagian (Kasubag) dan akhirnya mendapat
promosi kembali menjadi kepala bagian. Seluruh karirnya saat itu
dilaluinya di kantor Walikota Jakarta Pusat.
Effendi mengungkapkan, mengapa
bisa bekerja di Kesra, itu karena ijazahnya sebagai lulusan IAIN di Pemda
hanya lakunya di situ, karena di situ ada sektor agamanya. Itu juga yang
menyebabkannya menjadi Kepala Biro Bina Mental. Tetapi, S2 di UI dengan
spesialisasi Public Administration membuat karirnya menjadi lebih terbuka
dan bisa ke mana-mana.
Waktu pun terus berjalan. Setelah dirasakan cukup menjabat kepala bagian,
Effendi kemudian mendapat penugasan sebagai Kepala Kantor Sosial Politik
Jakarta Pusat. Saat itu ia adalah satu-satunya kepala kantor sospol yang
berasal dari kalangan sipil di Indonesia. Ia menggantikan seorang tentara
yang sebelumnya menjabat Kakansospol.
Pengangkatannya sebagai Kakan Sospol itu karena prestasinya di
Kabag Kesra. Padahal, menurutnya, Kabag Kesra sebenarnya sama sekali tidak
berhubungan dengan Sospol. Kesra mengurusi pendidikan, agama, sosial, dan
budaya. Pada waktu itu belum ada Trantib, pariwisata, dan yang lain,
sehingga urusan WTS di situ, urusan MTQ di situ, ulama juga di situ. Tapi
ia merasa enjoy melaksanakan tugasnya, sehingga berbagai komunitas pendidikan, generasi muda
banyak berkoordinasi dengannya. Kedekatannya dengan tokoh-tokoh masyarakat,
menjadi kunci baginya menjadi Kakan Sospol yang sebelumnya
dikepalai oleh seorang tentara.
Kemudian setelah selesai tugasnya menjadi Kakansospol, suami dari dr
Farida ini mendapat promosi untuk menduduki jabatan di tingkat provinsi.
Awalnya ia berkantor di Sub Bidang Pembinaan Masyarakat, Provinsi DKI.
Selanjutnya ia diangkat menjadi Kepala Biro Bina Mental dan Spiritual
Provinsi DKI Jakarta, yang menangani bidang pendidikan, olahraga,
kebudayaan, dan agama.
Di tempatnya itu ia dapat memperkaya wawasannya. Di
sana ia bergaul dengan berbagai suku dan golongan masyarakat, mulai dari
golongan yang miskin hingga berada, penyandang masalah sosial, atlet,
sampai ulama. Pendalamannya terhadap masalah yang berkembang di masyarakat
itu kemudian menjadi masukan bagi gubernur dalam membuat kebijakan.
Kemudian karirnya naik lagi menjadi Kepala Badan Kesbang DKI Jakarta,yang
sebelumnya lembaga yang dipimpinnya ini bernama Direktorat Sosial Politik. Sekali
lagi, posisinya kali ini menggantikan peran militer yang biasa menjadi
Kepala Direktorat Sospol selama masa Orde Baru. Ia adalah orang sipil
pertama di Kesbang (Dit Sospol).
Saat jabatan Walikota Jakarta Utara yang lama berakhir, ia ditugaskan
untuk menggantikan posisi tersebut. Jabatan walikota Jakarta Utara
biasanya dipegang oleh militer dari Angkatan Laut. Ia pun kembali menjadi
orang sipil pertama yang menggantikan jabatan yang biasa dipegang militer
setingkat walikota.
Untuk menduduki kursi walikota dibutuhkan bekal kemampuan dan pengalaman
yang cukup, sehingga dapat menjalankan program dan pengabdian kepada
masyarakat secara sempurna. Effendi mengaku, dengan bekal karir yang
dirintisnya dari bawah, bergaul dengan berbagai kalangan yang demikian
luas, memiliki kesempatan belajar manajemen dengan baik, semuanya merupakan
pengalaman yang berharga dalam mendukung tugasnya saat ini dan di masa mendatang.
Meskipun terkesan cepat perjalanan karirnya, namun bukan tanpa sandungan.
Ia pada awal bekerja di Pemda tidak punya meja sendiri selama 6 bulan. Jadi
bergantian jika ingin menggunakan meja.
Semua jabatan dijalaninya dengan penuh dedikasi. Ia bertekad selalu
mencari kepuasan dalam bekerja, dan untuk itu harus punya prestasi. Tidak
semua pekerjaan bisa ditanganinya. Ia menyadari hal itu. Dan, sebagai
manusia, ia tahu betul ada batas kemampuannya. Namun, ia juga tahu apa
kelebihannya. Kelebihan itulah yang harus ditunjukan dan akhirnya meraih
prestasi.
Kebetulan waktu itu ia suka menulis dan membaca, sehingga sejak
di kantor walikota menjadi konseptor pidato walikota. Ketika Gubernur
menyampaikan pandangan sosial dan politik, ia juga yang menjadi
koseptornya. Untuk membuat kata sambutan dianggapnya merupakan beban yang
cukup besar. Kadang–kadang sampai tengah malam harus mengerjakannya dan
besoknya harus masuk. Sejak zaman Suryadi Soedirdja, dirinyalah yang
mengerjakan setiap bahan-bahan pidato gubernur.
Ia juga punya kemampuan membaca peta sosial politik karena ia cukup lama mengurusi
politik di bagian sospol. Apalagi pada waktu di Orde Baru, posisi di
kantor Sospol dianggap sebagai “jagoan”-nya wilayah di bidang politik.
Jika ada komponen masyarakat yang macam-macam maka Sospol yang turun.
“Pada masa itu memang kekuatan infrastruktur politik harus tunduk kepada
kebijakan negara. Semua komponen politik harus kita rangkul dan itu bagi
saya harus mempunyai seni tersendiri,” terangnya.
Doa Sang Ibu
Kunci kesuksesan hidup Effendi tidak lepas dari keikhlasan doa orangtua.
Setelah ayahnya meninggal, sang ibulah yang banyak membimbing dan
mengarahkannya. “Pada waktu saya nakal, ibulah yang menyadarkan saya. Ibu
yang terus mengarahkan saya sekolah dan menggapai masa depan,” jelasnya.
Namun, tak dapat dipungkirinya, jenjang pendidikan yang tidak diduganya
sama sekali juga
menjadi titik tolak kesuksesannya. Jika saja ia tidak masuk IAIN, mungkin
ia tidak akan seperti sekarang ini. Ketika belajar di IAIN ia memahami
bahwa kunci kesuksesan seseorang itu tergantung kepada Tuhan dan
orangtua.
Maka, kini apapun keinginan ibunya, ia merasa wajib untuk memenuhinya.
Doa ibu yang mengalir terus-menerus, akan selalu dirasakannya. Kalau ia
melakukan sesuatu menyimpang, sang ibu pasti tahu dan merasakannya. Sang
ibu akan bertanya, “kamu koq begini, kamu koq begitu.”
Effendi juga merasakan ada suatu kekuataan spiritual yang dimiliki orang
tua dalam hal ini ibunya. Kekuatan spirtitual yang memberikan kepadanya
suatu kesempatan agar segala pintu dipermudah. Ada sisi
trandensial atau nilai-nilai Ilahiah yang mempermudah langkah-langkahnya
untuk terus maju mencapai cita-cita.
Isteri Effendi adalah seorang dokter yang juga pegawai negeri di
pemerintah daerah Jakarta Pusat. Kehidupan rumah tangga mereka dikaruniai
3 orang anak, laki-laki semua, dan ketiganya telah menjadi mahasiswa.
Padatnya jadwal kerja dan demikian banyaknya acara yang dimiliki seluruh
anggora keluarga itu membuat keluarga itu merasa sulit untuk bertemu. Jadi
kalau ada acara keluarga esok hari, hari ini perlu diinstruksi. “Besok jam
sekian semua sudah harus di rumah”. Kalau seperti itu semua menjadi tahu
dan akan berusaha hadir. Akan tetapi, kalau di tunggu-tunggu, tidak
mungkin datang, sebab semua anggota keluarga sudah punya acara.
Meskipun masing-masing anggota keluarga memiliki jadwal sendiri-sendiri,
namun Effendi sebagai kepala keluarga tidak pernah memaksakan kehendak. Ia
sadar betul bahwa kini semuanya zaman mobilitas tinggi. Namun, menurutnya,
yang terpenting adalah rumah tangga. “Cintailah rumah tanggamu” itulah
filsafat hidupnya dalam membangun keluarga. Sebab jika seorang pejabat
tidak mencintai rumahnya, rumah tangganya, berarti mencari rumah orang
lain.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), yayat,
atur,yusak
|
|