|
|
|
Nama :
Hendrawan
Tempat/Tgl Lahir :
Malang, 27 Juni 1972
Agama :
Kristen
Alamat :
PB PBSI, Cipayung
Tinggi/Berat badan :
170 cm/65 kg
Nama Isteri:
Sylvia Anggraeni
Anak:
Josephine Sevilla
Nama Ayah :
Sugianto
Nama Ibu :
Susilowati
Anak ke :
3 dari 4 bersaudara
Pendidikan :
SMA
Mulai main Bulu tangkis :
usia 10 tahun
Masuk pelatnas :
1993
Prestasi :
1994
- Perempat finalis Singapura Terbuka
- Pereempat finalis Malaysia Terbuka
1995
- Semifinalis Korea Terbuka
- Runner up Swiss Terbuka
- Runner up Denmark Terbuka’
- Juara Rusia Terbuka
- Babak III All England
1996
- Perempatfinalis Swedia Terbuka
- 16 besar All England
- Perempat finalis Denmark Terbuka
- 16 besar Jerman Terbuka
1997
- 16 besar Taiwan Terbuka
- 16 besar India Terbuka
- 16 besar Indonesia Terbuka
- 16 besar Singapura terbuka
- Runner up Kejuaran Asia
- Semifinalis Kejuaran Nasional
- Babak III Cina Terbuka
- Juara Thailand Terbuka
1998
Runner up Asian Games, Bangkok
Juara Singapura Terbuka
Anggota Tim Piala Thomas (Indonesia Juara)
2000
-anggota Tim Piala Thomas (Indonesia Juara)
- Medali perak Olimpiade Sidney 2000
- Runner up Jepang Terbuka
2001
- Juara Kejuaraan Dunia Piala Sudirman
2002
-anggota Tim Piala Thomas (Indonesia Juara)
|
|
Hendrawan
Berprestasi untuk Bangsa
Berprestasi dan menjunjung tinggi nama bangsa dan negara, tetapi tetap
sulit menjadi WNI. Sampai akhirnya dia mengeluh soal itu, sehingga
Presiden Megawati turun tangan, barulah nasib kewarganegaraannya diperoleh.
Berita-berita olahraga kerap tenggelam oleh riuh rendahnya pertikaian
politik dan krisis ekonomi. Untunglah di tengah kegalauan menghadapi
berbagai persoalan muncul sosok Hendrawan dan Tim Piala Thomas Indonesia.
Mereka memboyong Piala Thomas untuk ke-13 kalinya ke Indonesia. Sekaligus
mengukir rekor lima kali berturut-turut merebut piala grup bulutangkis
bergengsi itu.
Satu tahun lalu, Juni 2001, saat Indonesia cukup lama paceklik prestasi
dunia di cabang olahraga bulu tangkis, pria kelahiran Malang, Jawa Timur,
ini juga membawa kabar gembira dengan memenangi juara tunggal putra dalam
ajang Piala Sudirman, di Sevilla, Spanyol. Hendrawan mengalahkan pemain
nomor satu dunia, Peter Gade Christensen dari Denmark. Sangat wajar bila
saat itu prestasi Hendrawan ini membuat banyak pihak bersyukur dan bangga.
Sebab prestasi itu pastilah mengharumkan nama bangsa dan negera.
Tapi, prestasi ini tidak membuat Hendrawan besar kepala. Dia atlet yang
rendah hati. Yang paling membuat kita sebagai bangsa pantas malu, ternyata
masalah status kewarganegaraan Hendrawan masih belum jelas. Padahal, dia
lahir di Indonesia, bahkan ayahnya juga lahir di Indonesia. Namun, masalah
kewarganegaraan ini tidak membuat Hendrawan patah hati. Dia bahkan makin
giat berlatih untuk bisa meraih prestasi demi kebesaran bangsa dan negara
Indonesia.
Cermin buat Kita
Hendrawan, sekali lagi membuktikan bahwa dia tulus dalam tekad memberikan
sesuatu demi kebanggaan bangsa dan negaranya, Indonesia!
Para pemirsa Indonesia, ketika menyaksikan siaran langsung final Piala
Thomas melalui Trans TV, hari Minggu (19/5/2002), pasti merasa bangga
melihat penampilan Hendrawan yang menentukan kemenangan Indonesia.
Ketika itu, khalayak Indonesia sudah sport jantung. Posisi 1-2 untuk
keunggulan tim Malaysia. Dua poin terakhir adalah partai keempat ganda
kedua dan partai kelima yang mempertandingkan tunggal ketiga. Untunglah
peluang kemenangan itu kemudian dibuka oleh pasangan "gado-gado" Halim
Haryanto yang murni pemain ganda putra dengan Trikus Harjanto yang
spesialis ganda campuran. Posisi menjadi 2-2.
Situasi benar-benar genting. Partai terakhir akan menghadapkan Hendrawan
(30) dengan Roslin Hashim. Keduanya pemain reli. Roslin dikenal up and
down permainannya, sementara Hendrawan dikenal agak "enggan" dengan sistem
skor 5x7-yang diartikan oleh banyak pemain sebagai permainan yang "menyerang"-sama
sekali bukan "tipe Hendrawan". Set pertama partai penentu itu benar-benar
menggedor jantung. Karena Hendrawan yang unggul 4-1 akhirnya malah
tertinggal 4-6.
Begitu menyaksikan permainan Hendrawan di set kedua, dan melihat permainan
Roslin, pencinta bulu tangkis melihat seorang Hendrawan yang bertanding
bak macan luka. Permainannya taktis, cerdas, dan menyengat. Ibaratnya, "Siapa
pun akan kalah kalau Hendrawan bermain seperti itu." Seperti diungkapkan
beberapa pelaku bulu tangkis sambil berdecak kagum.
Belum lagi keringatnya kering, Hendrawan seakan terlahir kembali menjadi "pahlawan",
istilah yang buru-buru ditolaknya. "Saya bukan hero, I'm not a hero.
Jangan lupa ini even beregu dan kemenangan bukan ditentukan saya seorang,"
tuturnya saat diwawancara secara langsung oleh jaringan China Central
Television. "Saya berada di sini berkat suport dan dukungan rekan-rekan
saya yang lain dan para pengurus, Ketua PB PBSI," ujarnya sambil tersenyum.
Bapak satu anak, Josephine Sevilla, dari istrinya Sylvia Anggraini ini,
tampil cool meskipun sebelum berangkat dia mendapat masalah dalam
pengurusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI)-nya.
Karena dia adalah warga keturunan Tionghoa. Masalah ini terselesaikan
setelah Presiden Megawati Soekarnoputri membacanya di media massa. "Persoalan
ini tidak akan mengganggu penampilan saya nanti di Guangzhou," janjinya
saat itu.
Jika diurut kronologis perkembangan prestasi Hendrawan, harus diakui dia
telah berkata sejujurnya. Dia tidak mengklaim sukses itu sebagai miliknya
sendiri, karena, putaran final Piala Thomas tahun ini sangat berbeda
dengan empat tahun lalu ketika dia membuka peluang kemenangan tim
Indonesia di Hongkong dengan merebut poin kedua bagi Indonesia-mengalahkan
Yong Hock Kin dari Malaysia. Prestasi Indonesia saat itu membawa kembali
kehormatan bangsa ini-yang terkoyak akibat kerusuhan Mei yang membawa
banyak korban terutama kaum keturunan Cina.
(Komentar Indra Gunawan, pelatihnya ketika itu, "Terima kasih Hendrawan
telah memecahkan teka-teki dari mana satu angka dari tunggal itu
dihasilkan"-karena dua ganda Indonesia ketika itu adalah ganda-ganda
terkuat dunia). Juga berbeda dengan dua tahun lalu ketika dia menjadi
ujung tombak tim.
Tahun ini pertandingan dilakukan dengan sistem skor 5x7 yang "menjadi
momok" bagi Hendrawan. Bahkan, dia meminta tambahan waktu untuk
mempertimbangkan apakah akan ikut turun di Piala Thomas atau tidak. Dia
merasa tidak yakin dengan kemampuannya bermain dengan sistem baru itu.
Apalagi, dia gagal berangkat ke Korea Terbuka, yang semula akan dijadikan
ajang mengukur diri bagi Hendrawan, apakah dia "mampu" menyesuaikan diri
dengan sistem baru tersebut atau tidak.
Yang pasti, Hendrawan membekali dirinya dengan tekad bulat, dengan
kesiapan untuk mengubah diri, mengubah style, mengubah sistem latihannya,
untuk lahir sebagai "Hendrawan baru"-yang lebih attacking. Pada dasarnya,
Hendrawan adalah pemain yang "berbahaya" dan "ditakuti" lawan-lawannya.
Tahun 1996, ketika Hendrawan masih "bukan siapa-siapa", juara All England
1995, Poul-Erik Hoyer Larsen-yang kemudian menjadi juara Olimpiade
1996-menyatakan, "Saya mendapat drawing sulit karena ada Hendrawan".
Hendrawan? Siapa dia? "Dia pemain berbahaya, dia pemain bagus. Saya pernah
kalah di Rusia Terbuka 1994. Dia bisa menjadi pemain besar suatu kali
nanti. Dia berbahaya," ujar Hoyer-Larsen.
Keberhasilan Hendrawan mencapai kualitas permainan seperti sekarang
merupakan hasil kerja keras bertahun-tahun karena dia menyadari dirinya
tidak terlalu berbakat. "Dia mengakui bukan seperti Hariyanto Arbi atau
Taufik Hidayat yang punya pukulan yang luar biasa," tutur Indrawati
Sugianto, kakak kandung Hendrawan.
Kepada Indrawati, Hendrawan sering mengadu bahwa dirinya harus bisa
menguras otak, mental, dan fisiknya untuk mengatasi segala kekurangan yang
dimiliki. Sejak mulai bermain bulu tangkis di usia 10 tahun, disiplin
menjadi modal Hendrawan untuk bertahan di bulu tangkis. Pulang sekolah,
Hendrawan tidak langsung ke rumah tetapi berlatih lari mengelilingi
stadion Malang.
Hendrawan juga bukan manusia setengah dewa yang sempurna. Saat dikirim ke
klub Jarum Kudus karena ayahnya, Sugianto sadar anaknya tidak akan bisa
berkembang di Malang, Hendrawan malah jadi seperti kuda lepas dari kekang
kendali. Tidak jarang Sugianto memperoleh laporan tentang kenakalan
Hendrawan. Misalnya, pada saat tidur siang, dia lebih suka main
layang-layang di atas atap asrama. "Tidak heran prestasinya melorot.
Prestasinya jadi tidak ada yang menonjol," tambah Indrawati.
Keprihatinan Sugianto atas kemerosotan prestasi Hendrawan, terutama
ketahanan fisiknya membuat wiraswastawan itu menyempatkan diri terus
mengontrol anaknya. Setiap Sabtu sore, dia pergi ke Kudus menumpang bus
malam agar bertemu Hendrawan pagi harinya di Stadion Kudus. Di sana
Sugianto mendampingi Hendrawan untuk menambah latihan fisik. Usai latihan,
Sugianto kembali ke Malang dengan menumpang bus. "Kenangan atas Papa yang
membuat Wawan (nama panggilan Hendrawan-Red) tidak tega mengundurkan diri
dari bulu tangkis saat masa-masa sulit di pelatnas di mana dia tak kunjung
berhasil meningkatkan prestasi di arena internasional," kenang Indrawati.
***
Kisah sukses ini seperti kata Hendrawan, bukan miliknya seorang. Kerja
keras juga bukan hanya miliknya. Ironisnya, kerja keras pemain bulu
tangkis yang hari Minggu (19/5) lalu itu berhasil mencetak rekor dengan
lima kali berturut-turut dan membawa Sang Saka Merah Putih berkibar di
Tianhe Gymnasium itu tidak diimbangi dengan sebuah pengakuan bahwa dia
adalah seorang warga negara Indonesia, karena dia keturunan Tionghoa.
Sebuah "ketidakadilan" negara terhadap warganya terjadi dengan korban
Hendrawan dan harus diselesaikan langsung melalui tangan Presiden.
Sebelumnya, hanya dari bulu tangkis saja ada sederetan nama seperti Tan
Joe Hock, Ivana Lie, Tong Sin Fu-pelatih yang berjasa melahirkan
ganda-ganda putri dan pemain tunggal putra, dan pemain-pemain generasi
muda sekarang seperti Halim, Candra, dan yang lain. Lagi-lagi karena
mereka keturunan Tionghoa. Padahal, generasi orang tua mereka telah lahir
di Indonesia.
Apa yang ditawarkan oleh negara ini kepada mereka-mereka yang telah "berjasa"?
Melihat pada kasus Hendrawan, ternyata: nyaris tidak ada. Belum lagi jika
kita bicara tentang mereka-mereka yang lain, keturunan Tionghoa lainnya
yang dikatakan "tidak berjasa"-mereka yang "orang-orang biasa". Hendrawan,
penentu kemenangan yang sederhana itu menjadi cermin betapa "tidak
pastinya hukum di negeri ini". (Tokoh Indonesia, dari Kompas dan
berbagai sumber)
|
|