|
C © updated 24012004 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
►e-ti/ jer |
|
|
Nama:
Prof. Dr. Mubyarto
Lahir:
Yogyakarta, 3 September 1938
Meninggal:
Yogyakarta, 24 Mei 2005
Agama:
Islam
Isteri:
Sri Hartati Widayati
Anak:
Empat orang
Jabatan Terakhir:
- Guru Besar FE-UGM
- Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gadjah Mada
Pendidikan:
SM Gadjah Mada 1959
S2 Vanderbilt, 1962
S3 Iowa State, 1965
Publikasi:
> Pemberdayaan Ekonomi Rakyat & Peranan Ilmu-ilmu Sosial, 2002
Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi, Aditya Media, 2001
> Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi,
BPFE, 2001
> Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, 2000
> Reformasi Politik Ekonomi, Aditya Media, 1999
> Reformasi Sistem Ekonomi, Aditya Media, 1999
> Kembali ke Ekonomi Pancasila, Aditya Media, 1998
> Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Aditya Media, 1998
> Ekonomi Pancasila: Lintasan Pemikiran Mubyarto, Aditya Media, 1997
> Kisah-kisah IDT (Penyunting), Aditya Media, 1997
> Ekonomi dan Keadilan Sosial, Aditya Media, 1995
> Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES, 1987
> Ekonomi Pancasila : Gagasan dan Kemungkinan, LP3ES, 1981
> Politik Pertanian dan Pembangunan Perdesaan, Sinar Harapan, 1980
> Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, 1972
Alamat Kantor:
FE-UGM, Bulaksumur Yogyakarta 55281
Telepon: (62-274) 548510-15 ext 200
Alamat Rumah:
Sawitsari C-10 Yogyakarta 55283
Telepon (62-274) 885165
Email:
mubyarto@indo.net.id
Sumber:
Dari berbagai sumber antara lain Jurnal Ekonomi Rakyat Th. I - No.
11 - Januari 2003 http://www.ekonomi-rakyat.org/mubyarto
|
|
|
|
|
|
|
== 01
02 ==
Prof. Dr. Mubyarto (1938-2005)
Pakar Ekonomi Kerakyatan
Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, ini meninggal dunia
di Rumah Sakit Umum Dr Sardjito Yogyakarta, Selasa 24 Mei 2005 pukul
13.49. Pakar ekonomi kerakyatan kelahiran Yogyakarta, 3 September
1938, itu meninggalkan seorang istri, Sri Hartati, empat anak dan enam
cucu.
Prof Dr Mubyarto yang akrab dipanggil Muby itu sempat
dirawat secara intensif selama empat hari karena menderita paru-paru
basah dan serangan jantung ringan. Jenazah disemayamkan di rumah duka
Perumahan Dosen UGM, Sawitsari C-10 Condongcatur, Depok, Sleman.
Untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari civitas academica UGM,
jenazah disemayamkan lebih dulu di Balairung UGM Rabu 25 Mei 2005 pukul
11.00. Kemudian dikebumikan di Makam Keluarga UGM di Sawitsari, sekitar
pukul 13.00.
Berbagai kalangan datang melayat ke rumah duka di Kompleks Sawit Sari
C-10. Di antaranya mantan Dirjen Dikti dan Dubes Unesco Prof Dr Bambang
Suhendro dan mantan Rektor UNS Prof Dr Kunto Wibisono. Juga mantan Ketua
MPR RI Amien Rais. Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tengah
berada di Yogyakarta membuka Rakerda Partai Golkar juga menyempatkan
diri melayat ke rumah duka bersama Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) Sultan Hamengku Buwono X, Surya Paloh, dan Prof Dr Muladi.
Pakar Ekonomi Kerakyatan
Guru Besar FE-UGM dan Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (PUSTEP-UGM),
ini dikenal paling konsern pada ekonomi kerakyatan. Ekonom kelahiran
Yogyakarta, 3 September 1938, ini juga konsern terhadap Sistem Ekonomi
Pancasila. Hampir setiap kesempatan ia berbicara tentang sistem ekonomi
Pancasila itu. Dalam renungan akhir tahun 2003, sekaligus
memperingati 1 tahun Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM, Selasa
(9/12/03), ia mengatakan semangat nasionalisme bangsa Indonesia beberapa
tahun terakhir sudah sangat mengendur. Kendurnya nasionalisme ini karena
telah dibekukan prestasi “keajaiban ekonomi” selama 32 tahun pembangunan
ekonomi Orde Baru yang selalu ditonjolkan.
Ia bilang, ekonomi Indonesia telah mencapai pertumbuhan
ekonomi luar biasa, yaitu rata-rata 7 persen/tahun. Padahal, dalam
realitas yang terjadi adalah penghisapan oleh pemerintah pusat dan
investor asing. Akibatnya, kata kakar ekonomi kerakyatan dari UGM ini,
ekonomi nasional menjadi sangat timpang meski rata-rata pendapatan
nasional sudah melebihi US$ 1000.
Ekonom Indonesia, kata lulusan S3 Iowa State, 1965, ini telah
keblinger, tidak merasa terpedaya oleh keajaiban ekonomi yang menipu.
Nyatanya, mereka sekarang tetap saja berbicara perlunya pertumbuhan
ekonomi yang tinggi (6-7 persen/tahun) sebagai satu-satunya jalan menuju
“pemulihan ekonomi”.
Ia juga menjelaskan, di masa Orba banyak daerah –terutama yang kaya sumber
daya alam – merasa dihisap oleh pemerintah pusat atau investor dari luar.
Contoynya, pada 1996, Provinsi Kaltim, Riau dan Irian Jaya (Papua) derajat
penghisapannya tinggi, masing-masing 87 persen, 80 persen dan 78 persen.
Artinya, dari setiap 100 nilai PDRB, bagian yang dinikmati penduduk
setempat hanya 13 persen (Kaltim), Riau 20 persen dan Papua 22 persen.
Selebihnya dinikmati investor dari luar.
“Akibatnya ekonomi Indonesia kembali terjajah oleh ekonomi asing. Inipun
pada 1988 sebenarnya sudah diperingatkan, namun rupanya diabaikan oleh
para teknokrat kita.
Berikut ini kami petik Makalah Kuliah Umum
Ekonomi Pancasila di Universitas Negeri Semarang (UNNES), Semarang, 9
Januari 2003, berjudul: “Pelaksanaan Sistem Ekonomi Pancasila Di Tengah
Praktek Liberalisasi Ekonomi di Indonesia”
Sistem Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan ekonomi atau
hubungan-hubungan ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang didasarkan pada
etika atau moral Pancasila dengan tujuan akhir mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Etika Pancasila adalah landasan moral dan kemanusiaan yang dijiwai
semangat nasionalisme (kebangsaan) dan kerakyatan, yang kesemuanya
bermuara pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Intisari Pancasila (Eka Sila) menurut Bung Karno adalah gotongroyong atau
kekeluargaan, sedangkan dari segi politik Trisila yang diperas dari
Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (monotheisme), sosio-nasionalisme,
dan sosio-demokrasi.
Praktek-praktek liberalisasi perdagangan dan investasi di Indonesia sejak
medio delapanpuluhan bersamaan dengan serangan globalisasi dari
negara-negara industri terhadap negara-negara berkembang, sebenarnya dapat
ditangkal dengan penerapan sistem ekonomi Pancasila. Namun sejauh ini
gagal karena politik ekonomi diarahkan pada akselerasi pembangunan yang
lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi tinggi ketimbang pemerataan
hasil-hasilnya.
Trilogi Pembangunan
Sebenarnya sejak terjadinya peristiwa “Malari” (Malapetaka Januari) 15
Januari 1974, slogan Trilogi Pembangunan sudah berhasil dijadikan “teori”
yang mengoreksi teori ekonomi pembangunan yang hanya mementingkan
pertumbuhan . Trilogi pembangunan terdiri atas Stabilitas Nasional yang
dinamis, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan Pemerataan Pembangunan dan
hasil-hasilnya. Namun sayangnya slogan yang baik ini justru terkalahkan
karena sejak 1973/74 selama 7 tahun Indonesia di”manja” bonansa minyak
yang membuat bangsa Indonesia “lupa daratan”. Rezeki nomplok minyak bumi
yang membuat Indonesia kaya mendadak telah menarik minat para investor
asing untuk ikut “menjarah” kekayaan alam Indonesia. Serbuan para investor
asing ini ketika melambat karena jatuhnya harga minyak dunia , selanjutnya
dirangsang ekstra melalui kebijakan deregulasi (liberalisasi) pada
tahun-tahun 1983-88. Kebijakan penarikan investor yang menjadi sangat
liberal ini tidak disadari bahkan oleh para teknokrat sendiri sehingga
seorang tokoknya mengaku kecolongan dengan menyatakan:
Dalam keadaan yang tidak menentu ini pemerintah mengambil tindakan yang
berani menghapus semua pembatasan untuk arus modal yang masuk dan keluar.
Undang-undang Indonesia yang mengatur arus modal, dengan demikian menjadi
yang paling liberal di dunia, bahkan melebihi yang berlaku di
negara-negara yang paling liberal. (Radius Prawiro. 1998:409)
Himbauan Ekonomi Pancasila
Pada tahun 1980 Seminar Ekonomi Pancasila dalam rangka seperempat abad FE-UGM
“menghimbau” pemerintah Indonesia untuk berhati-hati dalam memilih dan
melaksanakan strategi pembangunan ekonomi. Ada peringatan “teoritis” bahwa
ilmu ekonomi Neoklasik dari Barat memang cocok untuk menumbuhkembangkan
perekonomian nasional, tetapi tidak cocok atau tidak memadai untuk
mencapai pemerataan dan mewujudkan keadilan sosial. Karena amanah
Pancasila adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
maka ekonom-ekonom UGM melontarkan konsep Ekonomi Pancasila yang
seharusnya dijadikan pedoman mendasar dari setiap kebijakan pembangunan
ekonomi. Jika Emil Salim pada tahun 1966 menyatakan bahwa dari Pancasila
yang relevan dan perlu diacu adalah (hanya) sila terakhir, keadilan sosial,
maka ekonom-ekonom UGM menyempurnakannya dengan mengacu pada
kelima-limanya sebagai berikut:
Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial,
dan moral;
Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial
yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi
dan kesenjangan sosial;
Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi mekin jelas adanya
urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri;
Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan
usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat;
Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional
dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan
bertanggungjawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Sebagaimana terjadi pemerintah Orde Baru yang sangat kuat dan stabil,
memilih strategi pembangunan berpola “konglomeratisme” yang menomorsatukan
pertumbuhan ekonomi tinggi dan hampir-hampir mengabaikan pemerataan. Ini
merupakan strategi yang berakibat pada “bom waktu” yang meledak pada tahun
1997 saat awal reformasi politik, ekonomi, sosial, dan moral.
Globalisasi atau Gombalisasi
Dalam 3 buku yang menarik The Globalization of Poverty (Chossudovsky,
1997), Globalization Unmasked (Petras & Veltmeyer, 2001), dan
Globalization and Its Discontents (Stiglitz, 2002) dibahas secara amat
kritis fenomena globalisasi yang jelas-jelas lebih merugikan negara-negara
berkembang yang justru menjadi semakin miskin (gombalisasi). Mengapa
demikian? Sebabnya adalah bahwa globalisasi tidak lain merupakan pemecahan
kejenuhan pasar negara-negara maju dan mencari tempat-tempat penjualan
atau “pembuangan” barang-barang yang sudah mengalami kesulitan di pasar
dalam negeri negara-negara industri maju.
Globalization is … the outcome of consciously pursued strategy, the
political project of a transnational capitalist class, and formed on the
basis of an institutional structure set up to serve and advance the
interest of this class (Petras & Veltmeyer. 2001: 11)
Indonesia yang menjadi tuan rumah KTT APEC di Bogor 1994, mengejutkan
dunia dengan keberaniannya menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010 dengan
menyatakan “siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus ikut globalisasi
karena sudah berada di dalamnya”. Keberanian menerima jadwal AFTA dan APEC
ini, kini setelah terjadi krismon 1997, menjadi bahan perbincangan luas
karena dianggap tidak didasarkan pada gambaran yang realistis atas
“kesiapan” perekonomian Indonesia. Maka cukup mengherankan bila banyak
pakar Indonesia menekankan pada keharusan Indonesia melaksanakan AFTA
tahun 2003, karena kita sudah committed. Pemerintah Orde Baru harus
dianggap telah terlalu gegabah menerima kesepakatan AFTA karena
mengandalkan pada perusahaan-perusahaan konglomerat yang setelah terserang
krismon 1997 terbukti keropos.
Peran Negara dalam Program Ekonomi dan Sosial
Meskipun ada kekecewaan besar terhadap amandemen UUD 1945 dalam ST MPR
2002 yang semula akan menghapuskan asas kekeluargaan pada pasal 33, yang
batal, namun putusan untuk menghapus seluruh penjelasan UUD sungguh
merupakan kekeliruan sangat serius. Syukur, kekecewaan ini terobati dengan
tambahan 2 ayat baru pada pasal 34 tentang pengembangan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan pemberdayaan masyarakat lemah dan tidak
mampu (ayat 2), dan tanggungjawab negara dalam penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (ayat 3). Di
samping itu pasal 31, yang semula hanya terdiri atas 2 ayat, tentang
pengajaran sangat diperkaya dan diperkuat dengan penggantian istilah
pengajaran dengan pendidikan. Selama itu pemerintah juga diamanatkan untuk
menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang mampu meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan untuk semua itu negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari nilai APBN dan APBD.
Demikian jika ketentuan-ketentuan baru dalam penyelenggaraan
program-program sosial ini dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik,
sebenarnya otomatis telah terjadi koreksi total atas sistem perekonomian
nasional dan sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial kita yang tidak
lagi liberal dan diserahkan sepenuhnya pada kekuatan-kekuatan pasar bebas.
Penyelenggaraan program-program sosial yang agresif dan serius yang
semuanya dibiayai negara dari pajak-pajak dalam APBN dan APBD akan
merupakan jaminan dan wujud nyata sistem ekonomi Pancasila.
Ekonomi Rakyat, Ekonomi Kerakyatan, dan Ekonomi Pancasila
Sejak reformasi, terutama sejak SI-MPR 1998, menjadi populer istilah
Ekonomi Kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di
Indonesia, yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh
kekuatan ekonomi rakyat. Mengapa ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat
atau ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah karena kata ekonomi rakyat
dianggap berkonotasi komunis seperti di RRC (Republik Rakyat Cina),
sedangkan ekonomi Pancasila dianggap telah dilaksanakan selama Orde Baru
yang terbukti gagal.
Pada bulan Agustus 2002 bertepatan dengan peringatan 100 tahun Bung Hatta,
UGM mengumumkan berdirinya Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) yang
akan secara serius mengadakan kajian-kajian tentang Ekonomi Pancasila dan
penerapannya di Indonesia baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah.
Sistem Ekonomi Pancasila yang bermoral, manusiawi, nasionalistik,
demokratis, dan berkeadilan, jika diterapkan secara tepat pada setiap
kebijakan dan program akan dapat membantu terwujudnya keselarasan dan
keharmonisan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.
Sistem Ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu
pada ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam Sistem Ekonomi
Pancasila, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi
rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan
kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis yang
melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati
oleh semua warga masyarakat.
Penutup
Ekonomi Indonesia yang “sosialistik” sampai 1966 berubah menjadi
“kapitalistik” bersamaan dengan berakhirnya Orde Lama (1959-1966). Selama
Orde Baru (1966-1998) sistem ekonomi dinyatakan didasarkan pada Pancasila
dan kekeluargaan yang mengacu pasal 33 UUD 1945, tetapi dalam praktek
meninggalkan ajaran moral, tidak demokratis, dan tidak adil. Ketidakadilan
ekonomi dan sosial sebagai akibat dari penyimpangan/penyelewengan
Pancasila dan asas kekeluargaan telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi
dan kesenjangan sosial yang tajam yang selanjutnya menjadi salah satu
sumber utama krisis moneter tahun 1997.
Aturan main sistem ekonomi Pancasila yang lebih ditekankan pada sila ke-4
Kerakyatan (yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan) menjadi slogan baru yang diperjuangkan sejak reformasi.
Melalui gerakan reformasi banyak kalangan berharap hukum dan moral dapat
dijadikan landasan pikir dan landasan kerja. Sistem ekonomi kerakyatan
adalah sistem ekonomi yang memihak pada dan melindungi kepentingan ekonomi
rakyat melalui upaya-upaya dan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat.
Sistem ekonomi kerakyatan adalah sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila,
yang diharapkan mampu meredam ekses kehidupan ekonomi yang liberal.
Daftar Pustaka
Chossudovsky, Michel, 1997. The Globalization of Poverty: Impacts of IMF
and World Bank Reforms. Penang Malaysia, Third World Network.
MacEwan, Arthur. 1999. Neo-Liberalism or Democracy?: Economic Strategy,
Marketss, and Alternatives for the 21st Century, Pluto Press.
Mubyarto & Daniel W. Bromley. 2002. A Development Alternative for
Indonesia. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Mubyarto, 2002. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta, BPFE-UGM.
Keen, Steve, 2001. Debunking Economics : the naked emperor of the social
science. Annandale NSW, Pluto Press Australia Limited.
Petras, James & Henry Veltmeyer, 2001. Globalization Unmasked:
imperialisem in 21st century. New York USA, Zed Books Ltd.
Radius Prawiro, 1998. Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme
dalam Aksi. Jakarta, Elex.
Stiglitz, Joseph E., 2002. Globalization and Its Discontents. New York,
W.W. Norton & Company, Inc.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) |
|