|
C © updated 01092002 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/ti |
|
|
Nama:
Dr.
Muchtar Pakpahan, SH, MA
Lahir:
Pematang Siantar, 21 December 1953
Pendidikan:
S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, 1981
S-2 Program Pascasarjana Universitas Indonesia
S-3, Program Pascasarjana Universitas Indonesia
Jabatan:
Ketua Umum DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
Ketua Umum Majelis Pertimbangan Pusat Partai Buruh Sosial Demokrat
Vice Presiden of World Confederation of Labor, ILO, Geneva
Penghargaan:
1. George Meany Award from AFLCIO-USA 1997
2. RULE of Law Award from ABA-USA, 1997
3. Peace of Justice Award, from rainbow Push Coalition, 1997
4. Honoris Causa, from Dickenson College, 1997
5. Quizenpenning from Netherlands. March, 1998
6. Labor Defender Right Award, from CLC-Canada, June 1998
7. Human Right. Defender, from the President of France when celebrating 50
years Human Right Declaration, December 1998
8. Labor Right Award, from CNV-Netherlands, May, 1999
|
|
|
|
|
|
|
MUCHTAR PAKPAHAN |
|
|
Dr. Muchtar Pakpahan, SH, MA
Buruh Membutuhkan Partai
Nasib kaum buruh Indonesia di mata Ketua Umum Partai Buruh Sosial Demokrat
(PBSD) Dr Muchtar Pakpahan selalu tidak jelas. Mereka menjadi objek dalam
kegiatan dunia usaha. Kesejahteraan buruh sebagian besar memprihatinkan.
Padahal kaum buruh memiliki andil sangat besar dalam memajukan perusahaan
dan memberi devisa bagi bangsa.
Bukan sekarang saja Pakpahan berpikir bahwa kaum buruh memerlukan wadah
untuk memperjuangkan nasibnya. Sudah sejak lama ia berkecimpung di bidang
perburuhan. Ia adalah pendiri sekaligus ketua umum Serikat Buruh Seluruh
Indonesia (SBSI). Lembaga ini kerap melakukan aksi demo bukan hanya untuk
meningkatkan kesejahteraan, tetapi menuntut perlakuan yang lebih adil dan
demokratis terhadap kaum buruh.
Terbukanya era reformasi membuatnya memiliki kesempatan untuk
memperjuangkan kaum buruh pada tingkat politik praktis. Ia bersama aktivis
buruh di SBSI pun membentuk Partai Buruh Nasional (PBN). Partai ini ikut
dalam Pemilu 1999, namun sayangnya tidak mendapat suara yang cukup untuk
menempatkan wakilnya di lembaga legislatif. Saat itu ia masih bisa
berharap dengan beberapa aktivis buruh yang bergabung dengan partai besar
dan duduk di lembaga legislatif dapat memperjuangkan nasib buruh.
Kebutuhan terhadap partai politik ini semakin terasa ketika selesai pemilu,
menghasilkan 6 partai pemenang Pemilu. Dari pengalaman tiga tahun bersama
para anggota MPR dari hasil pemilu itu, tidak ada partai politik yang
tertarik dengan aspirasi buruh. “Hal ini jelas terlihat dari ketika kami
mengajukan reformasi undang-undang bidang perburuhan, tidak ada satu pun
yang tertarik. Juga, ketika terdapat kasus-kasus yang dihadapi buruh,
tidak ada anggota DPR dari parpol yang tertarik. Kemudian masalah
pengangguran yang semakin mendesak, dan tidak ada satu konsep pun dari
mereka yang peduli untuk mengatasi pengangguran kecuali semakin sibuk
dengan urusannya masing-masing. Dilihat dari tiga fakta itu Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia (SBSI) atau buruh khususnya membutuhkan partai,”
paparnya kepada Tokoh Indonesia dotcom.
Sebelumnya pernah terbentuk partai yang bertekad memperjuangkan buruh,
yaitu Partai Buruh Nasional (PBN). Namun dalam pemilu tidak berhasil
menempatkan wakil di lembaga legislatif. Walaupun demikian, ada beberapa
orang SBSI yang mewakili PDI-P. “Kami pikir mereka dapat menjadi saluran
aspirasi buruh, tapi ternyata tidak, bahkan banyak orang-orang PDI-P yang
menganiaya anggota SBSI, seperti juga yang dilakukan oleh Pemuda Pancasila
pada masa Golkar berkuasa. Dari fakta itu, SBSI melihat harus ada wakilnya
di DPR. Pertama, untuk memperbaiki kondisi negara. Sebab jika kondisi
negara tidak baik kondisi buruh tentu juga tidak baik. Sebab apapun
kebijakaan negara pasti menyangkut nasib buruh. Kedua, untuk
memperjuangkan nasib buruh itu sendiri. Itulah yang melatarbelakangi
pendirian dari Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD),” jelasnya.
Ditambahkan Pakpahan, PBSD ini tumbuh dari masyarakat bawah yang telah
kecewa oleh idolanya. Ia mencontohkan, secara pribadi sangat mengidolakan
Megawati, lalu banyak juga dari para buruh mengidolakan Megawati yang
kebetulan di PDI-P. Ketika PDI-P mengecewakan aspirasi buruh, secara
otomatis Megawati juga mengecewakan. Dorongan-dorongan inilah yang datang
dari bawah. Kemudian Pakpahan menyebutkan kendala-kendala yang ada dalam
membentuk sebuah partai adalah partai tersebut harus didukung dalam tiga
kekuatan. Kekuatan massa, tokoh, dan uang. PBSD diakui memiliki massa dan
tokoh yang bisa diandalkan. Tetapi untuk soal uang, PBSD mengaku belum
punya.
“Partai kami masih hidup dengan sistem pendanaan sendiri. Namun dalam
berpolitik, hanya dengan menggunakan hati nurani tanpa uang, itu sangat
sulit. Contohnya penyosialisaian visi dan misi partai. Jika disebutkan
kendala kami yaitu pendanaan,” jelasnya.
Meskipun PBSD menggunakan kata sosial, Pakpahan mengatakan hal itu bukan
berarti berada di sayap kiri, namun merupakan pemain politik yang pernah
di kiri dan sekarang berada di tengah. Hal itu terlihat dengan menggunakan
kata demokrat. Ia mencontohkan, di seluruh dunia, setiap gerakan buruh
memang berasal dari kiri. Dalam sidang ILO, pengusaha menempati tempat
duduk di kanan, kaum buruh di sebelah kiri, dan pemerintah berada
tengah-tengahnya. “Kami berada di tengah untuk melahirkan dan menggagasi
gagasan jalan tengah, win-win solution, antikekerasan, tidak percaya
revolusi namun percaya pada sistematika demokrasi itulah sosial demokrat (Setiap
orang punya harga namun tidak menjadi miskin),” lanjutnya.
Partai politik yang mengatasnamakan perwakilan buruh di Indonesia saat ini
dua. Kalau terlalu banyak partai buruh, ia pun khawatir suara mereka akan
terpecah yang berakibat buruk pada peraihan kursi wakil rakyat dari
kalangan buruh. Ia memandang jalan yang terbaik adalah terjadinya
persatuan di antara partai buruh yang ada. Namun saat ini, katanya, PBSD
lebih banyak menerima orang-orang dari partai lain daripada melakukan
peleburan partai.
Kondisi bangsa saat ini dinilainya secara umum semakin memprihatinkan.
Presiden Megawati tampak tidak memperlihatkan kebijakan strategis untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, kecuali di bidang militer. Dalam bidang
politik pun, Mega dianggap Pakpahan mengambil kebijakan yang irasional.
Kebijakannya sulit diterima masyarakat. Salah satunya adalah tentang
pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Patut dipertanyakan mengapa Megawati lebih
mendukung Sutiyoso dibandingkan kader dari PDI-P sendiri. Padahal Sutiyoso
bukanlah kader PDI-P, bahkan dicurigai terlibat peristiwa 27 Juli, yang
mengakibatkan beberapa kader PDI dan pendukung Mega terluka parah.
Sementara kepemimpinan nasional sebelumnya di bawah Abdurrahman Wahid
alias Gus Dur dianggapnya memiliki kemampuan dalam membawa Indonesia ke
dalam wacana demokrasi. Namun, karena kelemahan fisiknya, belakangan ia
dipengaruhi oleh orang-orang terdekatnya sendiri. Pakpahan menilai,
orang-orang yang terdekatnya inilah yang harus bertanggung jawab atas
jatuhnya Gus Dur dari kursi presiden.
Dengan terbentuknya PBSD, ia berharap bisa menyumbang tenaga untuk
memperbaiki negara dan bangsa dari keterpurukan. Menurut pandangannya,
secara konseptual untuk membangun wellfare state membutuhkan moralitas
pemimpin yang adil. Dengan moralitas yang dimilikinya, ia mengaku siap
bersaing dan mengikuti pemilihan umum dan siap dipilih menjadi presiden.
Wellfare state merupakan salah satu hal yang diperjuangkan oleh masyarakat
buruh di seluruh dunia. Untuk itu ia memiliki strategi dalam menciptakan
impian masyarakat. Menurutnya, yang pertama dilakukan untuk membangun
kembali bangsa ini adalah mengangkat orang-orang atau individu yang tepat
sehingga dapat melahirkan sebuah sistem yang benar untuk dapat dilanjutkan
oleh orang-orang yang benar juga.
Ia juga berharap bisa mengikuti senior pejuang partai buruh di dunia yang
telah sukses. Ia memiliki idola tokoh buruh dunia yang lurus dan tidak mau
korupsi. Mereka adalah mantan Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandella,
mantan Presiden Filipina Cory Aquino, mantan Presiden Cekoslawakia Vaclav
Havel, Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung, dan Lech Walesa.
Pakpahan lahir pada tanggal 21 Desember 1953 dari keluarga petani. Pada
usia 11 tahun ayahnya meninggal. Ketika menanjak pada usia 18 tahun,
giliran ibunya yang meninggalkannya untuk selama-lamanya. Ia besar di desa
Banjang, Bukit Dua, Tana Jawa, Simalungun, Sumatera Utara.
Untuk bisa sekolah hingga kuliah, ia menghidupi dirinya dengan cara
menarik becak sejak tahun 1969. Dengan pengalaman hidup dalam kesusahan
itu membuatnya menjadi mudah prihatin ketika melihat orang lain menderita.
Ia juga mengaku sering melihat orang kecil yang menjadi objek penganiayaan,
dan ia selalu memihak kepada orang yang teraniaya. Setelah tamat dari
kuliah hukum USU 1978, saat itu ia bernazar untuk memberikan hidupnya
kepada orang miskin dan jika nanti memilki seorang anak pertama laki-laki,
akan dibimbingnya untuk menjadi seorang pendeta. Dan saat ini anaknya,
Binsar Pakpahan, sudah hampir tamat dari kuliah dan kemungkinan menjadi
pendeta tahun ini atau paling lama tahun depan. Sejak tahun 1978 hingga
sekarang ia mengaku hidupnya tetap miskin, miskin harta dunia namun kaya
nama baik.
Sepanjang hidunya ia mengaku ada empat orang yang mempengaruhi pemikiran
dan langkahnya.
Pertama adalah sang ibu. Ibu menjadi tempat untuk mencurahkan isi hatinya
dan mampu menjadi orang yang menerima aspirasi dan menjaga rahasia orang.
Kedua adalah abangnya yang tertua. Ia mengaku belajar tanggung jawab
darinya yang sejak usia muda ia telah menempatkan diri dalam keluarga
sebagai ayah. Sehingga ia tidak begitu merasa sangat kehilangan sosok ayah
yang meninggal, karena sosok tersebut dapat dilihat dari kehidupan
abangnya.
Orang ketiga yang memiliki pengaruh pada dirinya adalag Bung Karno.
Buku-buku Bung Karno tentang patriotisme dan nasionalisme dibaca habis
sehingga memperdalam kecintaannya pada bangsa dan negara.
Dan yang keempat adalah seorang pemikir Kristen yaitu Bapak TB. Simatupang.
Simatupang mengajarkan kepadanya untuk senantiasa “berkata yang benar apa
adanya.” Di luar itu, ada kemungkinan masih terdapat orang yang
mempengaruhi jalan hidupnya secara tidak langsung. Namun, empat orang
itulah yang dianggap Pakpahan telah mempengaruhi jalan hidupnya secara
langsung.
Isterinya bernama Roseintan br Marpaung, anak seorang polisi. Dulu,
mertuanya pernah mengingatkan dirinya untuk memperjuangkan keberadaan
polisi agar keluar dari ABRI. Kini, memang polisi telah keluar dari
struktur militer. * ►e-ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|