|
C © updated 11062007 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
► e-ti/pontianakpos |
|
|
Nama:
Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo
Lahir:
M
Agama:
Islam
Ayah:
Mayor Jenderal Purnawiran Sutoyo Siswohardjo
Jabatan:
Deputi Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi
(UKP3R)
Jabatan Terakhir di TNI:
Kepala Staf Teritorial TNI
Jabatan Politik:
Wakil Ketua MPR RI
Pendidikan:
Lulusan Akabri 1970
|
|
|
|
|
|
|
AGUS WIDJOJO HOME |
|
|
Agus Widjojo
Konsern atas Reformasi TNI
Deputi Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R), Mantan Kepala Staf Teritorial TNI dan
Wakil Ketua MPR RI Agus Widjojo, seorang perwira tinggi militer
berpangkat
Letnan Jendral TNI (Purnawirawan) yang terbilang konsern dan konsisten
dalam hal reformasi TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Anak dari Pahlawan Revolusi Mayor Jenderal Purnawiran
Sutoyo Siswohardjo ini juga aktif sebagai Senat Fellow pada CSIS dan Senior Advisor pada
UNSFIR (United Nation Support Facility for Indonesian Recovery). Dia
lulusan Akabri 1970, seangkatan dengan Jenderal Tyasno Sudarto dan
Jenderal Subagyo HS.
Berikut ini kami sajikan pandangannya tentang
Reformasi TNI yang telah dipublikasikan di
http://www.imparsial.org:
Reformasi TNI berjalan sejalan dengan dilancarkannya reformasi nasional,
sebagai wujud proses demokratisasi sistem politik Indonesia. Proses
demokratisasi memberi tantangan bagi TNI untuk mendapatkan posisi dan
peranan sesuai dengan kaidah demokrasi. Oleh karenanya tolok ukur yang
digunakan untuk menilai perubahan yang dilakukan oleh TNI adalah dengan
mengajukan pertanyaan : apakah perubahan yang dilakukan telah sesuai
dengan kaidah demokrasi? Mengapa posisi dan peran TNI perlu di refomasi?
Reformasi TNI bukanlah untuk membalas dendam atas tindakan TNI di masa
lalu, tetapi untuk menempatkannya sejalan dan dapat
dipertanggungjawabkan oleh kaidah demokrasi. Hal ini disebabkan karena
tatanan yang kita warisi sampai dengan pemerintahan Orde Baru menyangkut
tatanan yang kita warisi dari keadaan darurat yang menjangkau jauh ke
belakang sampai tahun 1945, yang merupakan bentuk pemerintahan darurat
militer dan hadir dalam sebuah sistem politik yang bercirikan kekuasaan
memusat, dengan kontrol yang lemah.
Pada masa tersebut secara faktual TNI menempati posisi yang dekat dengan
pusat kekuasaan dan memainkan peran yang meluas melintasi batas peran
tradisional militer profesional sebagai instrumen pertahanan nasional.
Pada saat itu, praktis TNI mengklaim dirinya memainkan peran sebagai
penjaga bangsa ( The guardain of the nation). Peran tersebut tidak
sepenuhnya sejalan dengan kaidah demokrasi, karena peran TNI banyak
memasuki wilayah di luar pertahanan dan keputusan TNI dapat berimpit dan
identik dengan keputusan politik.
Setelah reposisi peran TNI dalam Reformasi ini, maka TNI bergerak hanya
atas dasar keputusan politik yang dibuat oleh otoritas politik, di dalam
peran sebagai instrumen Pertahanan Nasional dan sesuai dengan kewenangan
yang diberikan oleh konstitusi.
Dalam perjalanan mengawali reformasinya, TNI telah merumuskan Paradigma
Baru TNI, namun jarang diketahui bahwa terdapat dua rumusan Paradigma
Baru yang berbeda esensinya satu sama lain, dan menunjukkan pentahapan
perkembangan reformasi TNI.
Reformasi internal TNI diawali dengan perumusan Paradigma Baru Peran
Sospol TNI yang diterbitkan oleh Markas Besar TNI dan ditandatangani
oleh Jendral TNI Wiranto pada tanggal 5 Oktober 1999. Dari nama saja
telah dapat kita fahami bahwa Paradigma Baru tersebut diterbitkan ketika
TNI masih menganut doktrin Dwifungsi, karenanya TNI masih memainkan
peran sospol.
Dalam brosur TNI Abad XXI, Reformasi; Reposisi dan Reaktualisasi Peran
TNI Dalam Kehidupan Bangsa tersebut dinyatakan bahwa Paradigma Baru
Peran Sospol TNI mengambil bentuk implementasi (1) merubah posisi dari
metode tidak selalu harus di depan ,(2) merubah dari konsep menduduki
menjadi memengaruhi, (3) merubah dari cara-cara memengaruhi secara layak
menjadi tidak langsung, dan (4) melakukan political and role sharing
dengan komponen bangsa lainnya.
Paradigma Baru Peran Sospol TNI ini, pada hakikatnya ketika itu
dimaksudkan untuk mencari bentuk peran sosial politik yang lebih sesuai
dengan perkembangan lingkungan.
Paradigma Baru Peran Sospol TNI berakhir ketika pada tanggal 20 April
2000, ketika dalam rapat pimpinan TNI, Panglima TNI yang dijabat oleh
Laksamana TNI Widodo AS menyatakan bahwa TNI akan memusatkan diri pada
tugas pokok pertahanan dan tidak lagi mengemban fungsi sosial politik.
Sebagai rujukan dalam perannya dalam pertahanan nasional, TNI
selanjutnya merumuskan Paradigma Baru Peran TNI.
Dalam Paradigma Baru Peran TNI tersebut yang diterbitkan pada tanggal 5
Oktober 2001, dan ditandatangani oleh Laksamana TNI Widodo AS dinyatakan
bahwa : (1) pelaksanaan tugas TNI senantiasa adalah dalam rangka tugas
negara dan dalam masa transisi diarahkan dalam rangka pemberdayaan
institusi fungsional. (2) (peran TNI) dilaksanakan atas kesepakatan
bangsa. (3) Bersama komponen bangsa lainnya, (4) sebagai bagian dari
sistem nasional, (5) melalui pengaturan secara konstitutional.
Awal pemikiran terhadap reformasi TNI didasarkan kepada pertimbangan
terhadap kepentingan bangsa menghadapi kancah persaingan antarbangsa
dalam era globalisasi. Hanya sistem nasional yang efisien yang mampu
bersaing dalam era global. Efisiensi antara lain ditentukan oleh
penentuan kewenangan yang jelas kepada institusi fungsional yang dapat
mencegah terjadinya duplikasi, sedangkan implementasi dwifungsi dari
masa lalu, secara sengaja atau tidak, banyak mengakibatkan tumpang
tindih fungsi pada berbagai institusi.
Esensi Reformasi TNI
Lantas apa sebenarnya esensi dari reformasi TNI. Esensi reformasi TNI
adalah penempatan peran dan kewenangan TNI sesuai dengan kaidah
demokrasi. Implementasi reformasi TNI diwujudkan dalam bentuk (1) secara
bertahap meninggalkan peran sosial politik (2) untuk memusatkan
perhatian kepada tugas pokok pertahanan nasional (3) melepaskan tanggung
jawab utama keamanan dalan negeri dan pembinaan sumber daya nasional di
masa damai (4) meningkatkan implementasi doktrin gabungan, dan (5)
meningkatkan kinerja manajemen internal TNI.
Reformasi TNI bukanlah untuk mendemokrasikan TNI, karena TNI sebagai
alat pertahanan nasional yang secara sah diberi kewenangan konstitional
memegang senjata, akan selalu mempunyai ciri sebuah organisasi militer
yang bersifat hirarkris komando.
Reformasi TNI yang menempatkan TNI sebagai bagian dari sistem nasional
yang demokratis, harus lebih diartikan bahwa, pengerahan dan penggunaan
TNI mengikuti prosedur seperti yang ditetapkan oleh konstitusi,
transparan dan harus senantiasa dapat dipertanggungjawabkan kembali
kepada rakyat melalui prosedur konstitional.
Karena rakyat telah memilih wakilnya di DPR dan pemimpin melalui
pemilihan umum, maka pejabat yang dipilih oleh rakyat inilah yang
mempunyai akuntabilitas politik atas pengerahan setiap instrumen
kekuatan nasional, termasuk TNI. Karena TNI hadir sebagai alat
pertahanan, dan pertahanan selalu menjadi kewenangan pemerintah pusat
yang tidak pernah didelegasikan kepada daerah, maka pejabat yang
mempunyai otoritas politik untuk mengerahkan dan selebihnya memegang
akuntabilitas politik untuk mempertanggungjawabkan pengerahan TNI adalah
Presiden.
Namun TNI sebagai aset bangsa di luar fungsi pokoknya dalam pertahanan
nasional, sesungguhnya dapat digunakan untuk tugas apapun untuk
kepentingan bangsa, dengan syarat harus didasarkan kepada keputusan
politik, dan tidak ditujukan untuk mempertahankan kekuasaan (yang dengan
sendirinya telah berarti bukan untuk kepentingan bangsa).
Tugas-tugas inilah yang dikenal sebagai operasi militer selain perang.
Dalam hal ini wujud konkrit tugas-tugas yang dapat dilaksanakan oleh TNI
dalam bentuk civic-mission (kecuali tugas sosial politik) mungkin tidak
berbeda dari tugas yang dilaksanakan TNI sebelum reformasi. Hal yang
membedakan antara tugas-tugas yang dilaksanakan TNI sebelum dengan
sesudah reformasi dalam bentuk civic-mission adalah dalam hal prosedur.
Ketika sebelum reformasi, TNI praktis dapat menentukan sendiri tindakan
yang dirasa perlu diambil oleh TNI, dan terkadang memasuki wilayah
kewenangan institusi lain. Dalam masa purna reformasi, tindakan apapun
yang dilakukan TNI harus didasarkan kepada keputusan politik yang dibuat
oleh Presiden. TNI tidak mempunyai akuntabilitas politik langsung kepada
rakyat, karena Panglima TNI tidak dipilih oleh rakyat. Kaidah demokrasi
menentukan bahwa akuntabilitas politik dimiliki hanya oleh pejabat
publik yang dipilih oleh rakyat, sedangkan TNI merupakan alat di tangan
Presiden.
Keadaan ini menentukan pembagian kewenangan yang tegas antara lapis
otoritas politik yang dipegang oleh Presiden sebagai pejabat publik yang
dipilih oleh rakyat, dan TNI sebagai instrumen kekuatan nasional yang
berada pada lapis institusi pelaksana profesional. Otoritas politik akan
menentukan (1) bilamana TNI digunakan, (2) untuk tujuan apa TNI
dikerahkan (3) pada tingkat kekerasan bagaimana TNI digunakan dan (4) ke
arah mana TNI dibangun dan dikembangkan kemampuannya sebagai alat
pertahanan nasional.
Di sisi lain TNI bertugas untuk (1) membina dan membangun kekuatan
pertahanan nasional sesuai dengan kebijakan nasional, (2)
menyelenggarakan operasi militer dan kegiatan lain sesuai dengan
keputusan politik, dan (3) menentukan cara atau strategi yang disepakati
oleh otoritas politik dalam rangka pencapaian tujuan politik nasional.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa reformasi TNI tidak
dapat diserahkan kepada TNI saja karena sebagi konsekuensi memasuki
tatanan demokrasi, kekuasan politik untuk menenetukan kebijakan nasional
telah berada pada elit politik pejabat publik yang dipilih oleh rakyat,
termasuk kebijakan tentang fungsi pertahanan sesuai dengan kewenangan
yang telah ditentukan oleh konstitusi.
Pengesahan UU TNI oleh DPR merupakan langkah maju dalam reformasi TNI.
Disadari bahwa wujud UU TNI tersebut masih jauh dari sempurna dan banyak
mengandung ”wilayah abu-abu” dalam berbagai istilah dan pengertian yang
digunakan. Disadari bahwa proses pengesahan UU TNI tersebut merupakan
sebuah proses kompromi politik. Namun kemajuan dapat dilihat dari bentuk
UU TNI yang disahkan telah jauh berubah dari rancangan yang diajukan
oleh Pemerintah Megawati yang bersifat konservatif.
UU TNI pada sisi positif, telah memuat beberapa materi progresif seperti
perlunya Panglima TNI berada dalam Departemen Pertahanan, penentuan
reformasi badan usaha militer dalam kurun waktu 5 tahun sampai dengan
2009 serta penghapusan penggunaan istilah teritorial. Namun sebaliknya
hal-hal yang positif tersebut belum diganti dengan ketentuan yang
bersifat mengatur kewenangan secara definitif sebagaimana layaknya isi
sebuah undang-undang. Hal ini dapat menyebabkan kembali multitafsir yang
dapat dimanfaatkan bagi pemikiran konservatif dan dapat menghambat gerak
maju jalanya reformasi TNI.
Kalau dipertanyakan mengapa Reformasi TNI mengalami perlambatan
dibandingkan hasil yang telah dicapai dalam kurun waktu 1998-2002,
kiranya dapat dikatakan bahwa belum ada kemauan dan komitmen yang
ditujukan oleh otoritas sipil untuk mereformasi TNI.
Apabila kita mengadakan kilas balik dalam sejarah bahkan hingga
menjangkau masa reformasi saat ini, kita melihat setiap kali bangsa ini
memiliki kesempatan memasuki proses demokratisasi, terdapat
kecenderungan bahwa kaum elit politik selalu mencoba menarik TNI
mendukung kekuasaanya, sekaligus berarti mengundang TNI memasuki wilayah
politik, seolah politisi sipil menggunakan standar ganda bahwa
”Dwifungsi itu buruk bila saya tidak didukung, bahkan menjadi korban
kekuasaan TNI, tetapi Dwifungsi perlu dan baik, bila kekuasaan saya
mendapat dukungan politik TNI”.
Bencana alam Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 juga telah menunjukkan
betapa publik masih ambivalen terhadap TNI. TNI seolah diharap punya
kewenangan penuh untuk bertindak otomatis ketika kita berhadapan dengan
ketidakberdayaan, tanpa menyadari bahwa dengan mengambil sikap seperti
itu kita seperti menempatkan TNI sebagai negara dalam negara dan kembali
kemasa Dwifungsi. Tidak ada peran apapun yang dapat dilakukan secara
otomatis oleh TNI tanpa Keputusan Politik.
Bila kita kilas balik memandang ke belakang, telah cukup signifikan
langkah-langkah reformasi internal TNI yang telah dilakukan.
Langkah-langkan ini meliputi: (1) Perumusan paradigma baru peran TNI
sebagai rujukan, (2) pemisahan Polri dari TNI, (3) secara bertahap
meninggalkan peran sosial politik dan tidak terlibat dalam kegiatan
partisan, (4) pengakiran doktrin kekaryaan sehingga tidak ada lagi
prajurit TNI dalam status aktif menduduki jabatan sipil (5) likuidasi
instisusi sosial politik dalam struktur TNI, (6) netralitas TNI dalam
pemilihan umum sebatas dalam fungsi aparat keamanan yang membantu Polri,
(7) refungsionalisasi hubungan antara institusi TNI dengan berbagai
organisasi Keluarga Besar TNI menjadi hubungan fungsional dan
kekeluargaan, (8) penempatan pembinaan Korpri TNI kembali dalam fungsi
pembinaan personel, (9) perumusan refungsionalisasi dan restrukturisasi
teritorial sebagai fungsi pemerintah (10) membuka manajemen badan usaha
yang bernaung di bawah berbagai yayasan TNI terhadap transparansi,
profesionalisme manajemen berdasarkan kaidah manajemen profesional badan
usaha yang menganut transparansi (11) meningkatkan pemahaman sadar hukum
dan hak asasi manusia kepada prajurit secara keseluruhan, (12)
penghapusan F-TNI/Polri dari DPR dan DPRD, dan (13) memandang masalah
kebangsaan dari pendekatan peran TNI dan Kewenangan sebagai instrumen
pertahanan nasional.
Sebagai penutup, kiranya kita dapat menyimpulkan :
1. Reformasi TNI merupakan penyesuaian terhadap peran dan kewenangan TNI
dari peran TNI sebagai penjaga bangsa dalam kapasitas tentara perjuangan
dalam tatanan darurat, menjadi peran TNI sebagai instrumen peratahan
nasional dalam kapasitas tentara profesional sebagai bagian dari sistem
politik demokratis.
2. Keberhasilan reformasi TNI tidak dapat dilepaskan dan digantungkan
kepada TNI saja, karena keputusan untuk menentukan peran dan kewenangan
TNI merupakan keputusan politik sesuai dengan amanat konstitusi, Oleh
karenya keberhasilan reformasi TNI akan sangat ditentukan oleh
keberhasilan reformasi pada tingkat dan lingkup nasional khususnya dalam
bidang politik.
3. Reformasi TNI berarti mendudukan dalam posisi segaris antara kaidah
demokrasi seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945, penentuan peran dan
kewenangan TNI, serta dukungan anggaran dalam tatanan kebijakan, agar
tugas apapun yang diberikan kepada prajurit TNI akan senantiasa dijamin
oleh kewenangan yang diberikan oleh konstitusi.
4. Kondisi reformasi saat ini tidak dapat dilepaskan dari keadaan
transisi demokrasi sertas pemahaman dan implementasi utuh demokrasi
dalam masyarakat. ►e-ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
|
|